Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Opini

Kebebasan Akademis dan Merawat Demokrasi

Kebebasan akademik adalah jantung dari kehidupan universitas dan kebebasan berpikir dari semua insan intelektual

Editor: David_Kusuma
Dok Tribun Manado
Adi Tucunan 

Oleh : Adi Tucunan (Akademisi Unsrat)

KEBEBASAN akademik adalah jantung dari kehidupan universitas dan kebebasan berpikir dari semua insan intelektual.

Penggalan kalimat tersebut adalah sebuah keniscayaan yang menjadi pilar dari kehidupan kampus untuk merawat tegaknya fundamentalisme keilmuan yang merawat demokrasi. Negara harusnya merasa diuntungkan dengan adanya kemandirian berpikir dari para ilmuwan yang menjunjung tinggi kebenaran sebagai produk dari keilmuan itu sendiri, bukannya mematikan alam berpikir kritis dari para akademisi dalam menyuarakan kebenaran.

Residu dari berpikir kritis tersebut adalah berkembangnya ilmu pengetahuan dan nilai-nilai etika dan moral dalam kehidupan berbangsa dan negara karena universitas sebagai pabrik para pemikir dan pendobrak kebekuan sejarah, serta merupakan mercusuar yang menerangi kegelapan.

Kepercayaan ini telah terawat selama berabad-abad, dan para cerdik cendekia telah memainkan peran sejarah yang menggairahkan dunia dengan mewarnai semua kehidupan di dalamnya.

Sejarah telah membuktikan bahwa dunia ini dikendalikan dan dikembangkan oleh para pemikir dan kaum intelektual yang mengambil peran sebagai akademisi yang mempertanyakan segala hal yang terjadi di muka bumi, dan sering mengambil sikap skeptis terhadap semua fenomena, dan itu ditunjukkan dengan bergeraknya para intelektual itu jika terdapat keadaan yang mendorong mereka turun gunung dari menara gadingnya untuk mempertanyakan segala kekacauan yang terjadi.

Situasi negeri ini yang nampaknya sedang mengalami turbulensi akibat residu pemilu yang diduga oleh sebagian kalangan terjadi kecurangan terstruktur, sistematis dan masif, adalah jalan menuju pada kritik bertubi-tubi pada upaya pemberangusan demokrasi di Indonesia.

Ketidakpercayaan kepada pimpinan negara dalam hal ini Presiden sebagai lembaga negara yang bertanggungjawab terciptanya chaos di tengah peristiwa demokrasi, telah meluas sampai kepada para akademisi. Sudah lebih dari 100-an universitas di seluruh Indonesia menyampaikan kritik dan kekuatirannya atas ketidakberesan yang terjadi di Indonesia hari ini. Begitu banyak fakta pendukung yang memperlihatkan kita sedang di ambang kehancuran demokrasi, karena cara-cara yang melanggar etika dan moral, dengan terang benderang direkayasa sedemikian rupa untuk memenangkan kontestasi pemilu.

Suara para akademisi termasuk para guru besar, yang setiap hari memberi diri mendidik anak-anak negeri seharusnya menjadi peringatan untuk kita semua. Mereka bukan partisan tapi kaum cendekia yang menyuarakan suara kebenaran karena melihat ancaman nyata bagi keberlangsungan hidup bangsa dan negara ini.

Suara mereka adalah murni demi menyelamatkan negara, tidak boleh dilihat sepihak oleh mereka yang tidak mampu berpikir jernih hanya karena kegilaan terhadap kekuasaan dan jabatan, atau hanya sekedar mengkultuskan individu.

Data dari Freedom House menyatakan bahwa indeks demokrasi Indonesia turun dari poin 62 tahun 2019 menjadi poin 53 tahun 2023. Demikian pula, kebebasan pers di Indonesia menurun dari poin 63,23 tahun 2019 menjadi poin 54,83 tahun 2023. Tranparency International Indonesia menyampaikan dalam laporannya bahwa pemberantasan korupsi di era Presiden Jokowi kembali ke titik nol, artinya presiden gagal me,bernatas korupsi di Indonesia.

Corruption Perception Index (CPI) Indonesia berada pada angka 34 dari skala 100, itu artinya sangat rendah dan kita berada pada urutan 115 dari 180 negara yang disurvei tahun 2023. Salah satu contoh pembungkaman demokrasi adalah saat kritik dari para mahasiswa terhadap Presiden, membuat 2 tokoh utama mahasiswa saat itu yaitu ketua BEM UI dan BEM UGM, yang mendapat intimidasi terhadap diri mereka dan keluarganya adalah pertanda kuat bahwa telah terjadi genosida intelektual di kampus.

Biang keladi dari menurunnya kualitas berdemokrasi di Indonesia adalah politik dinasti dan oligarki yang ingin menguasai negara ini dalam jangka panjang.

Presiden harus bertanggungjawab terhadap kehancuran demokrasi di negeri ini, karena membiarkan dan bahkan diduga menjadi otak di balik layar kekacauan Pemilu yang penuh kecurangan, karena cawe-cawe politiknya yang terlalu bergairah untuk menjadikan keluarganya sebagai penguasa negeri ini. Sulit diterima dengan akal sehat, bahwa seorang pimpinan negara yang masih aktif, menjadikan anaknya sebagai penguasa baru di negeri ini.

Kasus ini mungkin hanya terjadi di Indonesia. Tentu saja, semua ini melahirkan tirani baru karena penggunaan aset negara yang begitu dominan dan terstruktur memanfaatkan uang rakyat untuk menjadikan keluarga presiden sebagai penguasa. Atas nama demokrasi, mereka memanfaatkan semua kebebasan ini dengan melanggar konstitusi untuk tidak terlibat dalam KKN, dan mereka selalu mengatakan justru sebaliknya bahwa ini tidak melanggar konstitusi.

Yang saya khawatirkan, jangan-jangan mereka tidak cukup cerdas untuk melihat masa depan negeri ini, hanya karena ingin memuaskan nafsu dan kepentingan pribadinya, sehingga menghalalkan semua cara dengan melabrak secara terbuka konstitusi yang melarang mereka melakukan tindakan brutal seperti ini.

Kritik para akademisi tidak berada dalam ruang hampa, tapi sarat makna dan intelektualitas yang memberi ruang kepada kehidupan berbangsa dan bernegara. Kritik dari para intelektual ini adalah konstruksi berbangsa dan bernegara karena dilandasi dengan filosofi menyatakan kebenaran dan berbasis pada kebenaran ilmiah dan itu tidak bisa dikatakan sebagai partisan.

Mereka yang gagal paham selalu mengkritik balik para intelektual sebagai orang yang hanya mencari sensasi yang selama ini hanya berdiri di menara gading, padahal justru para ilmuwan memiliki peran besar dalam tridarma perguruan tingginya, yang selalu menuntun masyarakat untuk memberikan pencerahan, bukan hidup tanpa panduan dan melakukan semua aktivitas tanpa pertimbangan.

Pemerintah yang selama ini telah jelas melakukan penyalahgunaan jabatan, berarti telah melanggar sumpah jabatan dan amanah yang diberikan rakyat kepada mereka.

Korupsi kolusi dan nepotisme selalu erat dalam jabatan birokrasi dan mereka menciptakan otoriter baru dalam pemerintahan, sehingga menciderai sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini harus dikritik tentu saja secara terbuka, karena akan menghancurkan peradaban demokrasi yang selama ini dibangun agar negara menjadi sejahtera menuju welfare-state.

Hari ini kita melihat ada begitu banyak pelanggaran yang dilakukan oleh para pejabat negara termasuk Presiden dengan melanggar dan menabrak konstitusi, dan inilah yang menjadi inti dari substansi kritik kepada mereka oleh para akademisi. Menghalangi akademisi dengan melakukan intimidasi kepada mereka untuk menekan mereka agar tidak bersuara keras adalah upaya membungkam suara kebenaran dan menciptakan peradaban mulia.

Ini kesalahan dari negara jika tindakan supresif terus dilakukan di banyak perguruan tinggi dengan berbagai cara, kadang menjadi pertaruhan dari para ilmuwan adalah jabatan mereka di kampus dan ini membuat beberapa akademisi menjadi takut menyuarakan kritik karena terancam dari posisinya.

Tapi jika kritik itu adalah untuk kemaslahatan rakyat, seharusnya tidak ada keraguan dan ketakutan dari para akademisi untuk mengkritik tajam pemerintah yang sudah menjadi otoriter, demi menyelematkan masa depan demokrasi bangsa dan negara ini. Semakin banyak orang diam dan pembungkaman terus terjadi akan menjadi preseden buruk bagi matinya demokrasi kita. Kita akan menuju masa kegelapan jika ini tidak disuarakan dengan keras.

Kaum intelektual dan rakyat harus Bersatu untuk melawan semua kezaliman dan arogansi kekuasaan. Tidak ada kesejahteraan dan kemakmuran di negara yang otoriter. Mereka mengatakan bahwa kita adalah negara demokrasi tapi praktiknya sesungguhnya adalah otoritarian. Kita harus membantahnya dengan tegas bahwa demokrasi sedang terancam dan perlu dikembalikan pada posisi semula.

Demokrasi di Indonesia sedang tidak baik-baik saja hari ini, jika menggunakan begitu banyak kasus dari kacamata para intelektual, dan tentu saja ini bukan kabar baik untuk bangsa kita. Karena majunya pembangunan di suatu negara tergantung dari partisipasi rakyat yang lebih besar untuk membangun dan tidak dihalangi untuk melakukan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.

Tugas negara seharusnya melindungi para akademisi agar mereka bersuara keras untuk mengkritik pemerintah. Seperti yang terjadi di Jepang, ada sebuah forum intelektual yang dibentuk dan tugasnyan adalah mengkritisi semua kebijakan pemerintah dan mereka dibiayai untuk itu.

Artinya, negara bukannya alergi terhadap kritik dari para akademisi, tapi harus menampung semua kritik itu demi kemajuan sebuah bangsa. Menganggap kritik para akademisi sebagai ancaman terhadap kredibilitas pemerintah adalah sebuah perilaku konyol bahkan kalau boleh dibilang ini seperti badut yang memakau jubah birokrat.

Di negara-negara yang lebih maju dan beradab pemerintahannya, mereka sangat terbuka terhadap kritik itu dan para intelektual aman di sana untuk mengkritik keras kebijakan pemerintahnya, karena nilai etika dan moral sangat dijunjung tinggi.

Kita berharap bahwa Indonesia tidak terjerembab lebih jauh masuk ke jurang kehancuran demokrasi karena minimnya pengetahuan dasar tentang berdemokrasi dari pimpinan negara termasuk Presiden dan lembaga-lembaga tinggi negara.

Mereka bukan penguasa di negeri ini, tapi rakyatlah dengan bantuan para intelektual yang berkuasa untuk menopang negeri ini menuju kepada kesejahteraan dan kemakmuran yang diidamkan. Kita semua perlu merawat demokrasi karena itu adalah pilihan kita semua, jangan pernah kembali ke era sebelumnya yang membuat kita terus ketinggalan dari negara lain dalam banyak hal. (*)

Sumber: Tribun Manado
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Relawan Palsu dan Politik Rente

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved