Opini
Problem Demokrasi di Sulawesi Utara
5 Provinsi paling rawan praktik politik uang yakni Maluku Utara dengan skor tertinggi 100, Lampung 55,56, Jawa Barat 50, Banten 44,44, dan Sulut 38,89
Penulis: A.B. Rusli (Dosen IAIN Manado)
TRIBUNMANADO.CO.ID - Tulisan ini ingin mendiskusikan seperti apa kinerja Gubernur Olly Dondokambey-politisi senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)- dalam memutus mata rantai politik uang yang telah beredar di kalangan warga pada Pemilu Legislatif di 11 Kabupaten, 4 Kota, 171 Kecamatan, 332 Kelurahan dan 1.507 desa di Provinsi Sulawesi Utara.
Pertanyaan ini tentu sangat relevan sebab pada tahun 2023 Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menunjukkan 5 Provinsi paling rawan praktik politik uang yakni Maluku Utara dengan skor tertinggi 100, Lampung 55,56, Jawa Barat 50, Banten 44,44, dan Sulawesi Utara 38,89 (www.bawaslu.go.id).
Terpilihnya Yudhiawan Wibisono sebagai Kapolda baru di Sulawesi Utara menggantikan Setyo Budiyanto adalah tanda sirkulasi elite dikubu Polri bekerja dengan baik. Tapi, di sisi lain dia dituntut untuk menyelesaikan masalah korupsi di daerah ini sekaligus mengamankan Pemilu 2024.
Karena, Sulawesi Utara masuk daerah dengan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) tertinggi kedua se-Indonesia. Informasi ini tentu saja merupakan akumulasi dari kecurangan pada pesta demokrasi 2014 dan 2019.
Indonesia Corruption Watch (ICW) memandang Pemilu Legislatif 2014 sebagai pemilu paling brutal, massif, kapitalis, kanibal dan korup. Pandangan tersebut tentu akibat dari maraknya praktek politik uang di berbagai daerah. Krisis ini pun berlanjut pada Pemilu Legislatif 2019. Politik uang adalah patronase dan klientelisme yang bekerja dalam satu sistem sosial.
Patronase adalah materi yang didistribusikan oleh para politisi kepada pemilih atau pendukung dengan kontrak perjanjian suara. Sedangkan klientelisme adalah hubungan personal antara para politisi dengan pemilih atau pendukung berdasarkan aspek kekeluargaan (Aspinall&Sukmajati, 2015).
Indonesia Pasca-Soeharto adalah rezim oligarkis (Robison&Hadiz,2004). Dalam survei tahun 2013, ditemukan bahwa latar belakang aktor-aktor dominan di Sulawesi Utara khususnya Manado sebagai Ibukota Provinsi yang paling mempengaruhi arah kebijakan pemerintahan adalah kelompok pebisnis, pemimpin adat dan pejabat publik (Savirani, 2016).
Fenomena meningkatnya jumlah pebisnis dalam dunia politik nasional maupun lokal memang sangat signifikan sejak masa pemerintah Presiden Jokowi 2014-2024. Alasannya cukup sederhana karena biaya kampanye dan logistik dalam politik sangat mahal. Dengan demikian, perlu ada relasi antara partai dan pengusaha. Mereka saling mengamankan ‘amunisi’ dan ‘regulasi’. Implikasinya ialah perbuatan inkonstitusional. Hal ini sejalan dengan temuan Eve Warburton dalam Paying Bribes in Indonesia : A Survey of Business Corruption (2021).
Bagaimana Posisi GMIM?
Meskipun baru aktif memerintah pada 2016, namun sebagai seorang politisi profesional, Gubernur Olly Dondokambey perlu memperhatikan krisis politik uang di Sulawesi Utara yang terus berkembang. Pada 2014, mayoritas kandidat cenderung memakai jaringan kekerabatan dan agama sekaligus memanfaatkan dua lembaga sosial informal seperti GMIM dan birokrasi negara (Sumampouw, 2016).
Kunci sukses menjadi Gubernur di Sulawesi Utara adalah memiliki koneksi pribadi dengan Sinode GMIM dan itu artinya harus beragama Kristen Protestan. Politisi Muslim tidak pernah menjadi Gubernur di wilayah ini. Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) yang berdiri sejak 1943 diyakini sebagai pewaris sah dan utama dari misi Protestan abad-19.
GMIM membentuk fokus institusional yang sentral dari identitas etnis Minahasa. Setidaknya, GMIM berhasil mengumpulkan paling sedikit Rp40 miliar setiap tahun dalam bentuk dana sukarela yang berasal dari sumber-sumber warga lokal. GMIM sangat berpengaruh dalam percaturan politik provinsi. GMIM memiliki sekitar 650.000 anggota aktif, 800 sekolah, rumah sakit dan pendeta mereka didominasi oleh perempuan. (Henley,Schouten&Ulaen,2007). Di Sulawesi Utara, warga Kristen Protestan sebanyak 62,89 persen, Katolik 4,46%, Islam 31,86%, Hindu 0,56%, Budha 0,14%, dan Konghucu, 0,02%.
Mengapa Birokrasi Pragmatis?
Meskipun jaringan keluarga dan agama tersedia bagi semua kandidat, mereka yang paling berkuasa dan sukses biasanya juga memanfaatkan birokrasi pemerintah lokal untuk memberikan dukungan dibalik layar. Di Sulawesi Utara, mobilisasi dukungan birokrasi merupakan kunci kemenangan politik banyak kandidat apalagi mereka yang memiliki keluarga yang memegang jabatan senior di pemerintahan.
Sebagaimana penjelasan diawal, di tempat ini para birokrat-birokrat lokalnya seringkali juga mendominasi perekonomian dan mewakili sumber pengaruh politik yang kuat diberbagai Kabupaten/Kota. Maria J.C. Schouten dan David Henley mencatat pentingnya peran birokrat dalam membentuk elit baru pada masa kolonial di Minahasa (Sumampouw,2016).
Perlu diketahui juga bahwa intimidasi terhadap pilihan politik para Pegawai Negeri Sipil (PNS) daerah pun semakin menguat di Sulawesi Utara. Padahal, ini melanggar hak demokrasi personal. Mereka dipaksa untuk memilih calon tertentu sesuai dengan perintah birokrasi seperti Bupati atau Wali kota. Jika melawan, maka mereka otomatis akan kehilangan jabatan atau mutasi ke tempat yang kurang strategis. Birokrasi di Sulawesi Utara tidak pernah terlepas dari kepentingan politik praktis.
Memasuki tahun politik 2024, Gubernur Olly Dondokambey sempat menyampaikan kepada wartawan lokal jika tugas dan tanggungjawab kita semua adalah melaksanakan pemilu dengan aman dan damai. Oleh sebab itu, perlu dibangun sinergitas yang kuat di Sulawesi Utara untuk mensukseskan pesta demokrasi. Keberhasilan pemilu sangat bergantung dari partisipasi aktif seluruh elemen masyarakat melalui kesadaran politik yang tinggi (Manado Post, 2024).
Sampai di sini, saya kira penting bagi kita semua untuk mematuhi perintah tersebut sambil menunggu bagaimana sikap kritis Gubernur terkait fakta-fakta sosial yang memperlihatkan adanya keterlibatan langsung dan tidak langsung dari institusi keagamaan seperti GMIM dan institusi kenegaraan seperti birokrasi di kantor Bupati/Wali kota dalam melakukan tindakan patronase, klientelisme bahkan intimidasi pada proses Pemilu di Sulawesi Utara. Apakah ini semua sesuatu yang normal dalam proses politik lokal atau justru akan lebih memperburuk integritas para kaum agamawan, para birokrat atau kumpulan politisi senior Sulawesi Utara dimata generasi muda?
Masalah pencegahan politik uang dalam Pemilu Indonesia memang merupakan tugas Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mulai dari tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi hingga Pusat. Akan tetapi, Gubernur tetap memiliki peran sentral dalam memerangi tradisi suap-menyuap termasuk menghentikan intimidasi suara politik PNS daerah di seluruh wilayah kekuasannya.
Sebab, Gubernur dipilih langsung oleh rakyat yang menginginkan adanya perbaikan mutu demokrasi berdasarkan moral konstitusi. Bagi saya, seharusnya Provinsi Sulawesi Utara tidak perlu masuk daftar 5 Provinsi yang paling tinggi tingkat politik uangnya jika Gubernur benar-benar bekerja untuk mencerdaskan wawasan politik warga dan memerangi aktivitas-aktivitas korupsi yang dapat menghancurkan kualitas pemerintahan sebagaimana temuan Edward Aspinall & Ward Barenschot dalam Democracy for Sale : Elections, Clientelism and the State in Indonesia (2019).
Gambaran singkat mengenai problem demokrasi di Sulawesi Utara di atas ada baiknya menjadi perhatian serius kita semua. Sekian. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.