Opini
Lindungi Hakim Peran Seluruh Lapisan Masyarakat
Komisi Yudisial melahirkan Peraturan Komisi Yudisial Nomor 08 Tahun 2013 tentang Advokasi Hakim sebagai landasan dalam mengambil langkah hukum
Penulis: Valery D Lubis, Cindy C Adilang, Ardila PA Mandak, Vandi Raropa, Yudi Ujung (Mahasiswa Fakultas Hukum Unsrat)
KEJAHATAN di Indonesia tidak hanya terjadi di antara masyarakat, kejahatan masyarakat terhadap hakim adalah suatu hal yang lumrah sampai saat ini, ketidaktaatan masyarakat terhadap hukum menjadi salah satu indikator kenapa sampai pada saat ini masih begitu banyak kejahatan, bahkan kejahatan di ranah peradilan menjadi salah satu yang paling populer karena juga faktor ketidakpercayaan masyarakat terhadap para penegak hukum termasuk dalam penegakannya.
Kita semua harus mengetahui hakim merupakan jabatan yang mulia karena merupakan wakil Tuhan yang ada di dunia (peradilan) untuk mengadili dan menegakkan keadilan sekaligus merupakan representasi atau identitas negara hukum.
Oleh sebab hal inilah Komisi Yudisial memiliki peran yang bukan hanya mengawasi hakim, tetapi juga sebagai pelindung hakim manakala terjadi perbuatan merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim.
Komisi Yudisial melahirkan Peraturan Komisi Yudisial Nomor 08 Tahun 2013 tentang Advokasi Hakim sebagai landasan dalam mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim.
Meskipun begitu masih banyak masyarakat Indonesia yang belum memahami mengenai hal tersebut sehingga masih banyak kasus penghinaan terhadap hakim hingga kekerasan. Sehingga bisa dikatakan aturan saat ini belum mampu meminimalisir oleh karenanya perlu pengadvokasian terhadap masyarakat mengenai hal tersebut.
Tidak terlepas dari apa yang penulis sampaikan di atas, pun kita patut menyadari bahwa sebenarnya tidak hanya menjadi tugas daripada Komisi Yudisial untuk menjaga kehormatan dan keluhuran hakim, sebab seluruh lapisan masyarakat haruslah ikut terlibat di dalamnya.
Pekerjaan sebagai seorang hakim tentu membuat para hakim harus bertemu dengan banyak orang dari latar belakang pekerjaan yang berbeda-beda, oleh sebab itu setiap masyarakat perlu diberikan edukasi, agar sekiranya perbuatan merendahkan kehormatan dan keluhuran hakim dapat dicegah.
Akan muncul pertanyaan, siapa yang akan mengadvokasi masyarakat luar tentang PMKH? Komisi Yudisial harus turun langsung untuk memberikan sosialisasi? Tentu tidak sobat KEA. Saat ini masyarakat khususnya mahasiswa sebagai Agent of Change dituntut untuk berpikir kritis, kreatif serta mampu memunculkan ide di tengah masyarakat, karena mahasiswa diharapkan mampu menjadi setiap agen-agen pembawa perubahan yang nantinya akan memberikan dampak positif terhadap perkembangan Negara Indonesia khusunya dalam dunia peradilan.
Baca juga: Rio Dondokambey Pimpin para Petarung PDIP Sulut, Hillary Emban Misi Kembalikan Kursi yang Hilang
Mahasiswa merupakan calon-calon pemimpin pada masa yang akan datang diharapkan untuk bisa menjadi pemimpin tidak hanya kepada diri sendiri tetapi juga bisa memimpin masyarakat.
“Kejahatan terhadap hakim adalah kejahatan yang harus ditangani dengan serius, kita harus memberi pengetahuan kepada orang awam bahwa hakim itu juga harus dilindungi, menurutku itu adalah ketidaktahuan hukum, jadi cara paling sederhana kita harus mulai dari keluarga sendiri, lingkungan perumahan,” ujar Kristina Mahasiswi Unsam dalam wawancara(22/07/23).
“Intinya kita sebagai masyarakat harus tahu bagaimana cara menghargai hukum, contohnya jika kita tidak puas dengan putusan yang diberikan hakim, maka jangan kita merendahkan dan membahayakan, melainkan kita dapat mengajukan banding atau kasasi,” lanjutnya.
Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Hakim diatur dalam ketentuan Pasal 13 UU 18/2011 tentang Perubahan Atas UU 22/2004 tentang Komisi Yudisial. Selain kita perlu tahu regulasinya penting juga kita mengetahui beberapa perbuatan yang merupakan PMKH seperti kejadian di Jawa Timur dalam perkara perceraian, hakim dilempari kursi oleh tergugat ketika putusan selesai dibacakan; Pada perkara di Bengkalis, hakim diteror sampai ke rumah pribadinya; pada sidang kasus Hercules terjadi kericuhan yang membuat hakim merasa terancam; dan salah satu kasus besar 2 dekade yang lalu yaitu penembakan Hakim Agung oleh TS pada tahun 2001 karena diputus bersalah atas sebuah kasus.
Dalam rangka pengadvokasian kepada masyarakat oleh mahasiswa, Komisi Yudisial memberikan tugas yang luar biasa kepada mahasiswa sebagai Agent of Change. Komisi Yudisial bekerjasama dengan Fakultas Hukum dibeberapa Universitas di Indonesia, termasuk Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi Manado untuk melatih setiap mahasiswa yang mau dan/atau terpilih di dalamnya untuk menjadi calon-calon pemimpin pengemban profesi hukum di Indonesia yang luar biasa.
Klinik Etik dan Advokasi (KEA) menjadi bentuk nyata kerja sama KY dengan Fakultas Hukum pada beberapa Universitas. Para peserta Klinik Etik dan Advokasi ini dipandang dari berbagai prespektif yaitu pertama, sebagai sumber personil hukum dan peradilan Indonesia, karena tidak bisa pungkiri para mahasiswa ini tentu memiliki cita-cita untuk bisa menjadi hakim, advokat, jaksa yang merupakan penentu bagaimana kehormatan dan keluhuran martabat peradilan ditegakkan kedepannya.
Kedua, sebagai sumber ide dan inspirasi bagi KY. Tentu memiliki usia yang muda dan inovasi yang masih begitu banyak bisa membantu KY mengeksplorasi konten dan media yang efektif guna menjangkau berbagai target audiens kampanye dan komunikasi publik KY mengenai peradilan yang bersih, mandiri, dan bermartabat.
Ketiga, sebagai sumber kekuatan KY. Bersama dengan elemen masyarakat yang lain, para mahasiswa adalah pemangku kepentingan kunci bagi keberadaan dan kerjanya KY. Masyarakat Sobat KEA adalah masyarakat yang mau belajar dan taat hukum, saling melindungi dan mengadvokasi untuk masa depan Peradilan dan Negara yang lebih baik. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.