Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Opini

Kekuasaan dan Pemimpin, Sebuah Catatan Kritis

Seorang pejabat harus berani menggebrak, untuk kemudian berpikir kritis-etis atas tindakannya di hadapan orang-orang yang dipimpinnya

Dokumentasi Pribadi
Ambrosius M Loho M.Fil, Dosen Filsafat Unika De La Salle Manado dan Pegiat Filsafat 

Oleh:
Ambrosius M Loho M.Fil
Dosen Filsafat Unika De La Salle Manado
Pegiat Filsafat

TULISAN ini menguak sebuah fakta yang pernah penulis publikasikan beberapa tahun lalu yang berjudul ‘Memerintah berarti Meluruskan’. Intinya dikatakan bahwa menjadi pemimpin/pimpinan atau katakanlah ‘yang dijadikan tokoh [penting] sebuah kelompok, harus menjadi panutan. Tindakan dalam artinya segala sesuatu yang dia lakukan, terutama harus berorientasi untuk kesejahteraan semakin banyak orang. Pendek kata, seorang pemimpin harus berorientasi pada ‘berkarya untuk banyak orang’.

Fakta ini tentu secara sangat jelas sudah diketahui oleh kita semua. Namun toh sudah diketahui, hemat penulis, perlu terus digaungkan dan diberi penekanan pada sisi ‘bagi kesejahteraan banyak orang’.

Tak jarang kita temui bahwa ada saja pemimpin yang berorientasi pada kekuasaan, untuk melanggengkan, bilang saja, kepentingan pribadinya, kelompoknya, atau aliran berpikirnya. Sering pula kita dapatkan bahwa ada pemimpin yang mengorientasikan pelaksanaan (program) sebuah kegiatan yang hanya: ‘sekadarnya’, ‘ala kadarnya’, dan atau ‘yang penting sudah dilaksanakan’, entah hasilnya akan seperti apa.

Pemimpin adalah orang-orang yang harus berpikir bijakasna, taktis, dan strategik. Seorang pemimpin, sebagaimana diajarkan oleh Plato, sesungguhnya adalah tidak disengaja mencari kekuasaaan. Mereka menjadi pemimpin di luar kemauannya, dan kalau akhirnya mereka menjadi pemimpin, itu dilatarbelakangi atau pula disebabkan oleh karena mereka diikuti oleh sekelompok orang, dan didaulat oleh zamannya. (Wibowo 2017: 97).

Menjadi pemimpin berarti memberikan diri demi kepentingan banyak orang. Manusia pada dasarnya egois, motif utama kekuasaan umumnya adalah melayani kepentingan sendiri. Hanya kondisi keterpaksaan yang memastikan bahwa orang berkuasa ’demi orang lain’. Apa arti dari penegasan ini?

Tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa ada pemimpin yang tidak sangat peduli pada kepentingan banyak orang. Tidak tendensius juga jika dikatakan bahwa ada pemimpin yang berorientasi pada program yang sepihak. Ketika ada pendanaan untuk banyak orang, justru yang diperjuangkan adalah sekelompok orang saja. Maka harus diakui fakta ini amat bertolak belakang dengan fakta yang diajarkan oleh Plato.

Sebagaimana uraian yang pernah penulis publikasikan sebelumnya, bertajuk ‘Memerintah berarti Meluruskan’, dikaitkan dengan judul di atas, sangat jelas keterhubungannya. Konfusius pernah mengatakan bahwa politik adalah persoalan etis. Dan masalah etis dalam politik (yang amat terkait dengan mentalitas seorang pemimpin), etika publik itu?

Haryatmoko seorang sosiolog dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta mengatakan bahwa etika publik adalah refleksi tentang standar atau norma, yang menentukan baik-buruk dan benar-salah perilaku, tindakan dan keputusan untuk mengarahkan kebijakan publik dalam rangka menjalankan tanggung jawab pelayanan publik. (Haryatmoko 2015: 13).

Fokus etika publik adalah tiga hal: Pertama, pelayanan publik yang berkualitas dan relevan; kedua, fungsi etika publik yang berperan sebagai bantuan dalam menimbang pilihan sarana kebijakan publik; ketiga, alat evaluasi bagi setiap kebijakan publik dan menjembatani norma moral (apa yang harus dilakukan) dan tindakan faktual dalam ranah publik. (Ibid).

Pelayanan publik, sebagai poin pertama yang menjadi fokus etika publik, menurut Haryatmoko di atas, menjadi inti pokok kajian penulis, dengan menyinergikannya dengan kerangka pemikiran Konfusius tentang seorang pemimpin.

Dalam praktik para pejabat publik terutama pejabat politik, faktor terpenting terletak pada adanya sikap dan tindakan yang mengedepankan sisi etis. Hal ini pada akhirnya akan menjadi dasar juga bagi perilaku para warga, atau orang yang dipimpinnya. Apa yang dikatakan oleh Konfusius, sebagaimana yang diuraikan oleh Martin Suryajaya dalam Sejarah Pemikiran Politik Klasik 2016, bahwa seorang pemimpin yang beretika, menjadi pemimpin yang berperan untuk memerintah, dan memerintah bagi Kongzi berarti, meluruskan. (Suryajaya 2016: 300).

Menjadi pelayan publik pada hakekatnya penting bagi setiap pemimpin. Pelayanan publik pun serta merta harus dilandasi oleh etika publik. Peran dari pemimpin yang bertindak berdasarkan tindakan etis, juga harus menunjukan sikap sebagai pemimpin yang memerintah sekaligus mampu ‘meluruskan’, sebagaimana diuraikan oleh Konfusius dalam pemikiran politiknya. Jadi, seorang pemimpin yang berperan memerintah, juga berarti meluruskan jalan kelompok yang dipimpinnya.

Dengan ini dimaksudkan bahka fungsi pemerintahan, bagi Konfusius adalah untuk menumbuhkembangkan moral warganya. Tatanan politik yang baik, baginya, harus bertopang pada suatu landasan etis. Tatanan politik bertolak pada fondasi etis perilaku, baik oleh pemimpin maupun warganya. (ibid).

Bertolak dari dua poin ini, kelompok atau negara yang dipimpin oleh pemimpin yang mengambil kebijakan berdasarkan pada landasan etis (etika publik), politik yang baik akan terselenggara, ketika semua orang menjalankan fungsinya masing-masing sesuai dengan posisinya dalam masyarakat. Dengan demikian, tujuan utama sebuah negara, misalnya, keadilan sosial, persatuan dan kebersamaan, akan tercapai.

Halaman
12
Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Ketika Penegak Jadi Pemeras

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved