Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Kasus Ferdy Sambo

Akademisi: Putusan Pidana Mati Ferdy Sambo Atas Pembunuhan Berencana Brigadir J Dinilai Kurang Tepat

Eksaminasi Putusan Pidana Mati Ferdy Sambo Atas Pembunuhan Berencana Brigadir J Dinilai Kurang Tepat.

Editor: Frandi Piring
Tribunnews.com
Akademisi melakukan Eksaminasi Putusan Pidana Mati Ferdy Sambo Atas Pembunuhan Berencana Brigadir J Dinilai Kurang Tepat. Potret Ferdy Sambo saat mengikuti sidang. 

Selanjutnnya, tim eksaminasi kasus Ferdy Sambo juga menyorot soal pasal turut serta yang dinilai tidak tepat dalam vonis mantan Kadiv Propam itu.

Ali menambahkan, pasal turut serta sebenarnya tidak tepat diberikan, tetapi harusnya menganjurkan.

Akan tetapi, pasal tentang penganjuran itu tidak masuk dalam dakwaan jaksa penuntut umum (JPU).

“Pasal tentang penganjuran itu tidak masuk dalam surat dakwaan.

Hakim nanti terjebak kira-kira dengan cara pandang dia, karena sejak awal hakim sudah mengklaim ini adalah turut serta,” ujarnya.

Terakhir, tim eksaminator juga membahas soal isu jeratan obstruction of justice terhadap Ferdy Sambo.

Ferdy Sambo divonis hukuman mati atas kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J di PN Jakarta Selatan, Senin (13/2/2023). Tak ada hal meringankan
Ferdy Sambo divonis hukuman mati atas kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J di PN Jakarta Selatan, Senin (13/2/2023). Tak ada hal meringankan (KOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO)

Menurut Ali, Profesor Eddy juga mengatakan, bahwa obstruction of justice itu seharusnya ditujukan bukan kepada pelaku kejahatan, tetapi kepada orang yang membantu menghalang-halangi pelaku atau saksi.

“Jadi Prof Eddy mengatakan tidak tepat kalau dalam perkara a quo, Sambo juga dikenakan pasal tentang obstruction of justice karena dia adalah pelaku dalam perkara a quo,” tuturnya.

Adapun Ali mengatakan delapan akademisi yang mengeksaminasi putusan Sambo di antaranya Profesor Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej yang saat ini menjabat Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham).

Kemudian, ada tujuh profesor lain yaitu Marcus Priyo Gunarto, Amir Ilyas, Koentjoro, Chairul Huda, Mahmud Mulyadi, Rocky Marbun, dan Agustinus Pohan.

Ali mengklaim, eksaminasi itu dilakukan para akademisi murni sebagai kajian akademik.

"Karena ini adalah eksaminasi, maka jelas kajiannya doktrinal karena dibatasi kepada dokumen yang tertulis.

Dokumen itulah dikaji para eksaminasi," kata Ali.

Baca juga: Masih Ingat Ferdy Sambo, Kini Para Pakar Kupas Pertimbangan Hakim Jatuhkan Vonis Mati

Artikel ini telah tayang di Kompas.com

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved