Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Kasus Ferdy Sambo

Akademisi: Putusan Pidana Mati Ferdy Sambo Atas Pembunuhan Berencana Brigadir J Dinilai Kurang Tepat

Eksaminasi Putusan Pidana Mati Ferdy Sambo Atas Pembunuhan Berencana Brigadir J Dinilai Kurang Tepat.

Editor: Frandi Piring
Tribunnews.com
Akademisi melakukan Eksaminasi Putusan Pidana Mati Ferdy Sambo Atas Pembunuhan Berencana Brigadir J Dinilai Kurang Tepat. Potret Ferdy Sambo saat mengikuti sidang. 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Sebanyak delapan akademisi melakukan eksaminasi atas putusan kasus pembunuhan berencana yang dilakukan mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri Ferdy Sambo terhadap mantan ajudannya, Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat.

Diketahui, Ferdy Sambo mendapatkan vonis hukuman mati dalam sidang putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan beberapa waktu lalu.

Putusan pidana mati atas kasus pembunuhan berencana kepada Ferdy Sambo tersebut menuai sorotan.

Kabar terbaru, delapan akademisi ahli hukum melakukan eksaminasi atas putusan hukuman Ferdy Sambo.

Salah satu hal yang dieksaminasi adalah soal penggunaan pasal 340 tentang pembunuhan berencana yang dinilai kurang tepat.

Eksaminasi merupakan pengujian atau pemeriksaan terhadap surat dakwaan dari jaksa atau putusan pengadilan yang putuskan hakim.

“Untuk Pak Ferdy Sambo ada tujuh isu, pertama apakah perbuatan Ferdy masuk dalam 340 atau 338.

Memang secara umum mengatakan bahwa ini sebenarnya tidak tepat untuk Pasal 340, tapi lebih tepat Pasal 338.

Karena apa? Keadaan tenang itu tidak terbukti,” ujar Pakar Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mahrus Ali dalam keterangannya seperti dikutip, Minggu (11/6/2023).

Mantan Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo kini resmi mengajukan kasasi atas kasus dugaan pembunuhan berencana terhadap ajudannya, Brigadir J.
Mantan Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo kini resmi mengajukan kasasi atas kasus dugaan pembunuhan berencana terhadap ajudannya, Brigadir J. (Kolase Tribun Manado/Foto Istimewa)

Sebagaimana diketahui, pada (13/2/2023), Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan telah menjatuhkan vonis hukuman mati bagi Ferdy Sambo.

Tim eksnaminasi, kata Ali, menjelaskan bahwa putusan Ferdy Sambo hanya memiliki satu keterangan saksi yakni saksi pelaku atau justice collaborator (JC), Bharada Richard Eliezer.

Putusan Ferdy Sambo pun dinilai kurang tepat jika hanya berdasarkan pada satu keterangan saksi.

Apalagi, keterangan Richard juga disebut bertentangan dengan saksi lainnya.

Ali mengatakan, eksaminasi juga membahas soal motif. Dalam perkara Ferdy Sambo, hakim mempertimbangkan dua motif dari versi jaksa dan penasehat hukum.

Pihak penasehat hukum Sambo menyebut motifnya adalah faktor pemerkosaan.

Sementara jaksa mengatakan bahwa motifnya adalah perselingkuhan.

Namun, lanjut Ali, majelis hakim menolak kedua motif itu dan mengatakan motifnya adalah kecewa meski tak dijelaskan lebih lanjut alasannya.

“Jadi di situ, eksaminator mengatakan hakim itu bahasa kasarnya itu melakukan proses halusinasi.

Dia membuat fakta-fakta yang itu tidak ada di persidangan, dan itu menjadi dasar hakim salah satunya menjatuhkan pidana mati,” ucap Ali.

Menurut Ali, tim eksaminator menilai pidana mati tidak tepat dijatuhkan dalam perkara Sambo.

“Karena apa? Karena pertimbangan hakim yang dipaparkan hakim di dalam dokumennya itu tidak lengkap,” sambungnya.

Selain itu, Ali mengatakan hasil eksaminasi membahas soal tes poligraf yang dijadikan pertimbangan hakim dalam membuat putusan.

Sedangkan, tim eksaminator berpandangan tes poligraf tidak layak dijadikan pertimbangan putusan karena tidak diatur dalam Pasal 184 KUHAP.

Lebih lanjut, tim eksaminator membahas soal pelaku penembakan Brigadir J.

Dalam perkara Sambo, ada 7 peluru yang bersarang di tubuh korban.

Baca juga: Sosok Trisha Eungelica, Anak Ferdy Sambo yang Tengah Berulang Tahun ke-22, Dapat Surat Cinta

Disebutkan, ada 5 peluru itu berasal dari senjata terdakwa Richard.

Sementara dua peluru tidak dapat diidentifikasi pemiliknya karena sudah berbentuk serpihan yang sangat kecil.

Majelis hakim, kata Ali, menyimpulkan 5 peluru itu berasal dari terdakwa Richard Eliezer.

Sementara, dua peluru lain disimpulkan milik Ferdy Sambo.

“Sehingga hakim mengatakan bahwa Ferdy juga ikut menembak walaupun pertimbangan majelis hakim ini bertentangan dengan bukti ilmiah,” tuturnya.

Selanjutnnya, tim eksaminasi kasus Ferdy Sambo juga menyorot soal pasal turut serta yang dinilai tidak tepat dalam vonis mantan Kadiv Propam itu.

Ali menambahkan, pasal turut serta sebenarnya tidak tepat diberikan, tetapi harusnya menganjurkan.

Akan tetapi, pasal tentang penganjuran itu tidak masuk dalam dakwaan jaksa penuntut umum (JPU).

“Pasal tentang penganjuran itu tidak masuk dalam surat dakwaan.

Hakim nanti terjebak kira-kira dengan cara pandang dia, karena sejak awal hakim sudah mengklaim ini adalah turut serta,” ujarnya.

Terakhir, tim eksaminator juga membahas soal isu jeratan obstruction of justice terhadap Ferdy Sambo.

Ferdy Sambo divonis hukuman mati atas kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J di PN Jakarta Selatan, Senin (13/2/2023). Tak ada hal meringankan
Ferdy Sambo divonis hukuman mati atas kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J di PN Jakarta Selatan, Senin (13/2/2023). Tak ada hal meringankan (KOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO)

Menurut Ali, Profesor Eddy juga mengatakan, bahwa obstruction of justice itu seharusnya ditujukan bukan kepada pelaku kejahatan, tetapi kepada orang yang membantu menghalang-halangi pelaku atau saksi.

“Jadi Prof Eddy mengatakan tidak tepat kalau dalam perkara a quo, Sambo juga dikenakan pasal tentang obstruction of justice karena dia adalah pelaku dalam perkara a quo,” tuturnya.

Adapun Ali mengatakan delapan akademisi yang mengeksaminasi putusan Sambo di antaranya Profesor Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej yang saat ini menjabat Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham).

Kemudian, ada tujuh profesor lain yaitu Marcus Priyo Gunarto, Amir Ilyas, Koentjoro, Chairul Huda, Mahmud Mulyadi, Rocky Marbun, dan Agustinus Pohan.

Ali mengklaim, eksaminasi itu dilakukan para akademisi murni sebagai kajian akademik.

"Karena ini adalah eksaminasi, maka jelas kajiannya doktrinal karena dibatasi kepada dokumen yang tertulis.

Dokumen itulah dikaji para eksaminasi," kata Ali.

Baca juga: Masih Ingat Ferdy Sambo, Kini Para Pakar Kupas Pertimbangan Hakim Jatuhkan Vonis Mati

Artikel ini telah tayang di Kompas.com

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved