Tajuk Tamu
Memanusiakan Pendidikan di Indonesia
Ada begitu banyak catatan yang perlu kita lihat dari pendidikan kita mulai dari pendidikan dasar, menengah dan tinggi
Oleh : Adi Tucunan (Staf Pengajar FKM Unsrat Manado)
HARI ini kita memperingati hari pendidikan nasional, sebagai momentum kita mengingat, merenung dan berkontemplasi mendalam tentang apa yang telah terjadi dan dihasilkan dari dunia pendidikan kita di negeri ini.
Ada begitu banyak catatan yang perlu kita lihat dari pendidikan kita mulai dari pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Hari ini boleh dikatakan pendidikan kita tidak sedang baik-baik saja, dengan begitu banyak indikator yang memperlihatkan bahwa pendidikan kita hanya membawa sedikit kemajuan dan perubahan.
Bagaimana tidak, salah satu dasar argumentatif yang perlu dianalisis oleh insan pendidikan di Indonesia adalah produk dari pendidikan itu sendiri, mengapa kita begitu tertinggal dengan negara-negara lain yang sudah lebih maju? Jangankan mengkomparasi dengan negara-negara Amerika, Eropa, Jepang, atau Cina, dibandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura kita begitu ketinggalan.
Kita tertinggal dalam banyak hal, dari sumberdaya manusia yang tidak lebih disiplin dalam bekerja, intoleran, malas, koruptif dan masih banyak perilaku lain yang tidak bertanggungjawab. Saya tidak ingin memberikan banyak statistik tentang persoalan mendasar tentang sumberdaya manusia di Indonesia sebagai produk pendidikan yang kita jalani selama berpuluh-puluh tahun karena ada banyak data yang menggambarkan tentang situasi pendidikan kita di Indonesia, yang membuat kita semua prihatin akan kondisi ini.
Kita perlu banyak berefleksi tentang arti dan makna pendidikan secara filosofis, substantif, dan realitas di hari ini. Persoalan dunia pendidikan di Indonesia cukup kompleks dan kadang membuat kita turut kecewa.
Kasus terbaru di perguruan tinggi bagaimana Rektor Universitas Tadulako yang dicopot dari jabatan guru besar karena terlibat dalam skandal akademis dan kepegawaian, juga ada rektor Universitas Udayana yang terlibat dalam kasus korupsi uang masuk perguruan tinggi dan masih banyak catatan korupsi lain dari para pesohor perguruan tinggi yang belum diselesaikan dan tidak tersentuh oleh hukum.
Baca juga: Stunting dan Pragmatisme Politik
Ini sangat memalukan kita semua, bahkan disebutkan oleh salah satu LSM pegiat antikorupsi di Indonesia yang menyebutkan bahwa 60 persen koruptor di Indonesia berasal dari perguruan tinggi. Ini benar-benar mencoreng wajah pendidikan di negeri ini. Belum lagi, ada banyak dosen perguruan tinggi yang terlibat dalam kasus asusila pelecehan seksual sehingga menempatkan perguruan tinggi sebagai urutan ke-3 terjadinya kasus pelecehan seksual bagi perempuan di Indonesia.
Ini berada di luar nalar kita, institusi pendidikan yang seharusnya menjadi tempat bernaung dan perlindungan bagi insan-insan muda di negeri ini tapi mereka dijadikan sasaran para predator di perguruan tinggi.
Kasus perguruan tinggi lain juga melibatkan suap menyuap (money politic) anggota senator untuk memilih calon rektor tanpa mempertimbangkan aspek meritokrasi, apalagi keterlibatan pemerintah sebagai dalang permainan yang merujuk pada satu individu.
Belum lagi maraknya kasus penipuan dalam bentuk falsifikasi dan plagiarism di dunia perguruan tinggi, untuk kepentingan kenaikan pangkat dan jabatan fungsional beberapa di antara ilmuwan kita ditemukan memalsukan karya orang lain.
Semua ini adalah sebuah aib dan dosa di perguruan tinggi yang tidak diselesaikan dengan nilai demokrasi, etika dan adab yang tinggi, tetapi dijungkalkan dengan konflik kepentingan yang terlalu besar dan pertaruhannya adalah publik sebagai konsumen dari produk pendidikan.
Baca juga: dr Adi Tucunan: Perilaku LGBT Bisa Muncul Karena Pengaruh Lingkungan atau Trauma Masa Lalu
Di level sekolah dasar dan menengah kita menghadapi banyak jurang pemisah antara guru dan murid akibat budaya patriarkal yang dianut dalam budaya kita. Guru memegang kendali penuh bagi muridnya dengan semua disiplin dan kewajiban mengikat tanpa memberikan hak menyatakan pandangan terbuka dan kritis karena akan dianggap sebagai pembangkangan dan ketidaksopanan, dan jika ada murid yang sangat kritis dia akan dibungkam dengan instrumen ancaman nilai yang menjadi motivasi klasik di sekolah-sekolah kita.
Para murid kita tidak mampu berdikari dan memiliki kapasitas sebagai seorang murid yang dibutuhkan untuk masa depannya kelak. Survei dari Programme for International for Student Assesment (PISA), Indonesia memiliki peringkat yang sangat rendah dari aspek sains dan membaca.
Anak-anak kita cenderung terlibat dalam tawuran antar pelajar, terlibat dalam narkoba dan bullying yang menjadi dosa besar di dunia pendidikan; ditambah lagi dengan penggunaan kata-kata yang buruk dalam berkomunikasi, selain itu para murid kita tidak memiliki kepercayaan diri yang cukup tinggi untuk berkomunikasi dengan orang lain. Ini semua menjadi produk gagal dari pendidikan bernama sekolah formal.
Konsekuensi Pembatalan Presidential Threshold |
![]() |
---|
Patronase Birokrasi: Antara Netralitas dan Keterpaksaan ASN Bumi Nyiur MelambaiĀ |
![]() |
---|
Gerakan Alumni Peduli FK Unsrat: Seratus Ribu Berjuta Makna |
![]() |
---|
Manfaat Penggunaan QRIS untuk Pelaku UMKM di Manado Sulawesi Utara |
![]() |
---|
Peran Generasi Millenial, Smart Agriculture dalam Kedaulatan Pangan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.