Catatan Wartawan
Nyepi dan Kemakmuran di Mopuya Bolmong Sulawesi Utara
Di hari raya nyepi, saya kerap teringat Mopuya.Desa di pedalaman Kabupaten Bolmong Sulawesi Utara ini mayoritas penduduknya beragama Hidu
Penulis: Arthur_Rompis | Editor: Chintya Rantung
Saya berjumpa dengan Made Gunung, salah satu transmigran generasi pertama.
Ia bercerita, mereka sekeluarga bermigrasi ke Bolmong pada tahun 1974.
"Waktu itu Bali sudah sangat padat, lahan sangat sempit, hingga ayah kami memutuskan menerima tawaran bertransmigrasi," kata dia.
Sebab lain, beber dia, adalah meletusnya gunung agung di Bali.
Made yang waktu itu baru berumur 11 tahun, naik kapal bersama ayah, ibu dan lima saudaranya.Malangnya, sang ibu wafat di kapal.
"Terpaksa jenazah ibu kami tinggalkan di Sulawesi Selatan," kata dia.
Dalam keadaan masih berduka, mereka mendarat di Inobonto.
Perjalanan menuju Dumoga memakan waktu hingga sehari.
"Kami naik truk tapi jalan waktu itu sangat sulit, banyak sungai kecil dan jembatan masih pakai batang kelapa," kata dia.
Ia bercerita, sebuah sungai harus dilewati dengan berenang.
Tiba di Mopuya, Made sekeluarga mendapati lahan yang dijanjikan masih hutan belantara.
"Masih hutan rimba, kami ditampung sementara di rumah seorang jawa yang lebih dulu bermukim di sana," kata dia.
Made menjelaskan, lahan untuk rumah maupun lahan pertanian yang diberikan pada warga sudah ditandai.
Persoalannya tak mudah mencarinya di tengah hutan belantara.
"Kami harus naik pohon yang tingginya puluhan meter untuk melihat di mana lahan kami," kata dia.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.