Opini
Menguatkan Tradisi, Meleburkan Imaji: Membangun IAIN Manado dari Pinggiran
Catatan dari Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam ini dalam rangka menyambut suksesi Rektor IAIN Manado.
Oleh: Dr. Rosdalina Bukido, M.Hum
Dekan Fak. Ekonomi & Bisnis Islam (FEBI) IAIN Manado
KALAU tidak ada aral yang melintang pukang, sebentar lagi pergantian prosesi kepemimpinan di IAIN Manado, kampus Negeri berbasis agama di Sulawesi Utara segera dimulai.
Prosesi pesta demokrasi pemilihan rektor di kampus multikutural tersebut akan ramai menjadi perbincangan civitas akademika, baik di dalam maupun di luar kampus.
Bagi saya sebagai salah satu bakal calon Rektor IAIN Manado periode 2023-2027 menjadi ajang uji kemampuan dan kompetensi sebagai bagian pengabdian puncak di kampus yang saya cintai tersebut.
Saya menyadari, sebagai perempuan saya memiliki double minority identity, yang kadangkala ruang publik kita, yang terkesan 'patriarki' masih meragukan kemampuan seorang 'perempuan' dalam memimpin.
Meskipun, tidak bisa dipungkiri ada banyak succes story kepempinan perempuan di ruang-ruang publik.
Yang ingin saya sampaikan, dalam ruang terbatas ini, bahwa perempuan sejatinya harus dilihat dari kapasitasnya, bukan identitas gendernya. Lain kesempatan saya akan menulis ini lebih lengkap.
Kembali ke suksesi Rektor IAIN Manado, ada banyak hal yang sudah mengalami transformasi di kampus IAIN Manado.
SDM dosen dan pegawai yang sudah lebih dari cukup. Infrastruktur bangunan kampus yang megah. Aktivitas mahasiswa yang menggeliat, tentu tidak bisa dinafikan.
Baca juga: KH Ahmad Rajafi Daftar Bakal Calon Rektor IAIN Manado 2023-2027
Sebagai Dekan FEBI, yang saat ini masih aktif menjabat, geliat mahasiswa FEBI dengan jumlah mahasiswa yang tiap tahun bertambah, dengan penyumbang UKT tertinggi di Kampus IAIN Manado adalah bukti nyata.
Tentu ini atas dedikasi tim kerja saya di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam atau FEBI IAIN Manado.
Lalu apa yang saya maksud 'menguatkan tradisi'. Harus diakui, tradisi keilmuan dengan core value 'keagamaan' di IAIN Manado, masih belum teridentifikasi dengan sangat jelas.
Motto Kampus Multikultural menurut saya, perlu ditafsirkan ulang dalam bentuk operasionalisasi epistemologi keilmuan yang bisa menjadi distingsi IAIN Manado dengan kampus lain.
Karena itu dibutuhkan semacam 'Ideologi Keilmuan' yang tidak hanya untuk kepentingan pemenuhan borang akreditasi sembilan kriteria, tetapi lebih jauh dari itu yakni semua civitas akademika (dosen, pegawai, mahasiswa, tendik, cs dan security) mengilhami ideologi keilmuan tersebut di dalam gerak langkah, nafas-kejiwaan keseharian mereka, baik di dalam mapun di luar kampus.
Dengan demikian, imaji kita tentang masa depan, dasarnya adalah 'ideologi keilmuan' tersebut.
Pertanyaan kemudian, bagaimana mengoperasionalisasi ‘ideologi keilmuan’ ini dalam konteks tata kelola kampus IAIN Manado ke depan?
Menurut saya, ada beberapa poin-poin penting yang bisa menjadi alas pikir. Pertama, perlunya konsolidasi internal: penguatan internal dibutuhkan untuk me-redesign ulang kesemrautan internal kampus yang tidak memiliki arah tata kelola yang jelas.
Civitas akademika harus kembali sadar dengan fungsi dan tujuannya berada di dalam kampus. Ini tentu tidak mudah.
Perlu ada reformasi birokrasi dari zona nyaman ke zona bahagia. Kedua, perlunya financial planning yang adil dan tepat sasaran.
Baca juga: Akademisi IAIN Manado: Akar Rumput Cenderung Pilih Calon yang Bisa Beri Untung Langsung di Pilpres
Perencanaannya seharusnya dimulai dari kebutuhan program studi (prodi). Karena prodi-lah yang menjadi ujung tombak dari segala aktivitas akademik.
Ketiga, penguatan capacity building mahasiswa. Life skill dan kecakapan digital sangat dibutuhkan mahasiswa saat ini.
Apapun prodinya, tanpa life skill dan kecakapan digital, dipastikan akan suram masa depannya. Tentu semua ini dibingkai dengan kekuatan akhlak dan moralitas.
Keempat, penguatan jaringan lokal dan internasional IAIN Manado. Sejatinya perlu lebih banyak berkontribusi bagi pengembangan pembangunan daerah.
Hal ini bisa dilakukan, jika sekiranya kampus punya hubungan emotional-interconnection dengan pemerintah daerah.
Tanpa supporting dari pemerintah daerah, jangan harap kampus bisa maju.
Lebih jauh dari itu, international connections dibutuhkan tidak hanya networking, tetapi kemampuan civitas akademika meyakinkan pihak luar untuk mau bekerjasama dengan kampus kita.
Tentu, ini butuh upaya yang serius, terutama supporting anggaran terkait networking access.
Baca juga: Cerita Non-muslim Lulusan Pertama IAIN Manado, Herkulaus Mety: Jika Saling Kenal Tak Ada Prasangka
Saya kira secara ringkas, keempat alas pikir di atas bisa menjadi semacam pengantar visi perjuangan saya ketika menjadi Rektor IAIN Manado ke depan.
Tentu, masih banyak hal yang perlu dilakukan nantinya ke depan. Saya menyadari bahwa menjadi Rektor IAIN Manado bukan hal yang mudah dan gampang.
Saya perlu dukungan tim kerja yang mumpuni di bidangnya masing-masing. Saya meyakini, kapasitas dan kompetensi kolega saya di IAIN Manado tidak bisa diragukan.
Oleh karena itu, saya optimis dan penuh keyakinan dan keikhlasan.
Dengan tangan terkepal dan maju kemuka, saya akan memenangkan pertarungan ini. wallahul muwafiq ila aqwamith thariq. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.