Opini
Berpikir Kritis Vs Pragmatisme
Proses pemilihan pimpinan perguruan tinggi yang dilatarbelakangi oleh konflik kepentingan yang terlalu kental nuansa politik dan jabatan menjadi ironi
Penulis:
Adi Tucunan (Pengamat Pendidikan dan Sosial)
MICAHEL LeGault, penulis dan penerima banyak penghargaan dalam bukunya ‘THINK’ mengatakan bahwa dunia perguruan tinggi mulai kehilangan kemampuan berpikir kritisnya.
Dunia Pendidikan tinggi yang selalu diagungkan karena tempat para ilmuwan dan akademisi menyatukan ide dan gagasannya untuk kemaslahatan banyak orang, sekarang ini mulai mengalami degradasi yang cukup krusial dari cara mereka memandang manusia dan dunia sekitar mereka dari sudut pandang etika dan moral.
Proses pemilihan pimpinan perguruan tinggi yang dilatarbelakangi oleh konflik kepentingan yang terlalu kental nuansa politik dan jabatan menjadi sebuah ironi, di mana kemampuan berpikir kritis telah menjadi tumpul dan digantikan dengan pragmatisme sempit yang menghancurkan wibawa perguruan tinggi sebagai institusi pemandu moral dalam masyarakat.
Tentu saja, tolok ukur pertama dari sebuah proses menentukan dan memilih pimpinan adalah kemampuan melihat identitas dari banyak aspek dengan melibatkan pemikiran kritis tentang apa yang seharusnya dilakukan, siapa yang perlu dipilih dan bagaimana masa depan perguruan tinggi ke depan. Jika setiap akademisi tidak memandang pemikiran kritis sebagai sesuatu yang penting lagi, tapi hanya sekedar melihat keuntungan pribadi di atas segalanya, maka keraguan kita terhadap kompetensi keilmuan para akademisi itu mulai memudar dan kita bisa melakukan mosi tidak percaya kepada mereka.
Diskursus di sini tidak hanya tentang para senator yang memilih, tapi semua civitas akademika yang punya tanggungjawab moral mendorong kepada tradisi positif dalam konteks pemilihan menjadi sebuah ‘tradisi berhati nurani’. Jika kita semua tidak peduli mengambil bagian dalam mengoreksi setiap sistem termasuk ‘permainan kotor’ pemilihan rektor di perguruan tinggi, dan sebaliknya hanya diam dan malah mendukung ‘criminal mind’ di perguruan tinggi dengan semua politik transaksionalnya, maka kita sebenanrnya menjadi orang tercela dan seharusnya keluar dengan tidak terhormat dari kancah ilmuwan dan pemikir.
Idealnya, kita semua perlu memainkan peran masing-masing bahkan jika kita berada dalam situasi bahaya karena melawan kekuasaan, kita harus memilih untuk menjadi pelopor perubahan bukan takut dengan perubahan dan penguasa. Kecenderungan untuk tidak berbuat apa-apa hanya karena kuatir tidak mendapat jabatan, tidak mendapat keuntungan finansial, balas budi karena diberi jabatan dan tersisihkan dari kumpulan sosial, seharusnya tidak terjadi di perguruan tinggi.
Di perguruan tinggi, MAJIKAN kita adalah Kebenaran, Kejujuran,Etika dan Moralitas, seharusnya kita hidup sebagai orang merdeka untuk menyuarakan suara hati nurani. Sayang sekali, banyak yang tidak mau mengambil peran untuk mendorong sebuah perubahan karena dari dalam diri masing-masing kita tidak mau melawan ketidakberesan.
Para ilmuwan yang hanya mencari untung dan menyelamatkan dirinya sendiri seharusnya malu kepada publik karena mereka seharusnya menjadi mercusuar untuk menerangi bukan membawa kegelapan dengan menutup mata terhadap kejahatan di dalam perguruan tinggi.
Korupsi merajalela di mana-mana dalam bentuknya masing-masing, manajemen like and dislike diterapkan tanpa melihat aspek meritokrasi, paham radikalisme masuk ke wilayah orang-orang cerdas, kekerasan seksual di kampus terjadi di mana-mana; semua ini harusnya kita perangi dan singkirkan dari dunia kampus, tapi sebagian besar di antara kita memilih untuk menjadi tidak peduli, apalagi pemimpin perguruan tinggi.
Akar masalah dari semua hal yang terjadi di perguruan tinggi termasuk Unsrat adalah karena kita tidak membangun budaya kepemimpinan yang tangguh karena minimnya kemampuan berpikir kritis secara fundamental sampai di level bawah, para pemimpin hanya sibuk dengan urusan rangking universitas, akreditasi unggul dan serapan anggaran, siapa mendapat apa.
Perguruan tinggi seperti Unsrat harusnya peduli dengan setiap persoalan yang terjadi di semua sisi kehidupan kampus dan masyarakat, bukan sibuk dengan membangun pencitraan, menjilat dan berkomplot dengan pemerintah daerah atau politisi untuk mendestruksi nilai-nilai moral karena mengarahkan badut-badut politik dari model pragmatisme memimpin perguruan tinggi.
Kasus Rektor UI yang didemo mahasiswa karena memperkaya diri sendiri, serta kasus Rektor perguruan tinggi lain yang di-OTT karena korupsi, seharusnya menjadi peringatan keras kepada kita semua, bahwa perguruan tinggi tidak steril dari tindak kriminal; dan barangkali yang melakukan itu adalah kaum kriminal yang terjebak menggunakan jubah ilmuwan di institusi perguruan tinggi bukan mereka yang murni menjadi ilmuwan dan pendidik.
Kita harus mengembalikan kemampuan berpikir kritis kita bukan hanya dari aspek saintifik saja tapi yang paling utama adalah mengembalikan nilai-nilai universal kemanusiaan dan filosofi keilmuan yang terhilang dan disesatkan oleh mereka yang mengais rejeki atas nama ilmu pengetahuan. Menuju 2045 satu abad Indonesia, perlu mentalitas kejujuran dan berani menghadapi kesulitan dan itu harus diawali dengan paradigma berubah, bukan haus kekuasaan dan uang. Kita tidak benar-benar menjadi kaum intelektual jika pragmatisme sempit menjadi panduan kita. Tidak ada salahnya memiliki jabatan dan memiliki uang, tapi dengan cara yang Amanah dan Jujur; bukan dengan ‘merampok intelektualitas’ sehingga model berpikir kritis tidak mendapat tempat lagi karena sudah sesak dipenuhi dengan bumbu-bumbu pragmatisme ala politisi gadungan.