Opini
PILREK UNSRAT, ANTARA MERITOKRASI DAN OLIGARKI
Adakah kepentingan yang lebih besar dalam upaya menjaring pemimpin Unsrat selain meritokrasi?
Penulis: Adi Tucunan
* Pengamat Sosial Kemasyarakatan
* Alumnus Unsrat
ADAKAH kepentingan yang lebih besar dalam upaya menjaring pemimpin Unsrat selain meritokrasi? Pertanyaan ini harus diarahkan kepada semua civitas akademika (bukan hanya anggota senat Unsrat yang akan memilih), karena kita semua yang terlibat di dalam kepentingan Unsrat ke depan harus bersama-sama menyuarakan suara dan keprihatinan kita terhadap isu ‘money politic’ yang dilakukan dalam proses suksesi Rektor Unsrat. Isu ‘money politic’ sebenarnya bukan hal baru di Unsrat karena sudah pernah ada pengalaman dalam suksesi Rektor sebelumnya yang diwarnai dengan ‘money politic’ juga, jadi kita seperti mengalami Déjà vu dalam momen Pilrek saat ini.
Perdebatan antara boleh tidaknya seseorang dijadikan pemimpin walaupun diperoleh dengan cara-cara yang tidak bermartabat karena melawan meritokrasi itu sendiri, jarang pernah menjadi diskursus dalam setiap suksesi kepemimpinan; yang lebih penting adalah bagaimana segala cara dihalalkan untuk memperoleh kekuasaan. Yang menarik dari setiap momen pemilihan rektor adalah bagaimana terjadi ‘bargaining’ dari setiap kandidat rektor dengan berusaha menarik sebanyak mungkin suara pemilih dengan melepas besaran nominal rupiah yang diberikan.
Sekali lagi, model ‘money politic’ ini bukan hal baru, tetapi ketika model ini memasuki dunia pendidikan yang sakral di mana moralitas dan etika harus mendapat tempat tertinggi, kita semua kehilangan sensitivitas terhadap persoalan ini dan menganggap ini adalah sebuah kewajaran padahal ini adalah bencana bagi proses demokrasi kita. Ruang untuk meritokrasi tiba-tiba mengalami konstriksi dan limitasi yang terlampau besar.
Isu keterlibatan kepala daerah dalam suksesi Rektor terlalu kuat terdengar dan itu juga berlaku di tempat lain bukan hanya Unsrat, pertanyaan besarnya adalah ada kepentingan apa mereka dengan Unsrat? Apakah mereka melihat ada keuntungan bisnis di Unsrat ke depan yang akan mereka kendalikan untuk menjadi pemilik kapital yang akan mendapat profit menggiurkan? Adakah kemungkinan mereka akan mengendalikan Rektor terpilih untuk memasukan jejaring bisnis mereka ke tempat ini? Kalau dugaannya menguat ke arah sana, kita sedang masuk perangkap untuk dikendalikan oleh oligarki kekuasaan, yang tujuannya hanya satu mencari keuntungan dengan menempatkan kaum elitis sebagai ‘pencari nafkah’ dengan mengorbankan kepentingan Unsrat yang lebih besar. Dan kecenderungannya, jelas terlihat akan ada KKN yang lebih besar lagi jika ini semua terjadi.
Kita berharap, masih ada upaya yang lebih baik dari sebagian besar anggota Senat Unsrat agar menggunakan logika, jiwa dan spiritualitas mereka; bukan hanya memikirkan kepentingan mereka sendiri dengan mengutamakan uang dan jabatan sebagai kendalinya. Semua civitas akademika Unsrat seharusnya bersatu untuk menolak setiap intervensi politik yang akan mendestruksi nilai-nilai pendidikan di Unsrat; kita harus lakukan perlawanan secara intelektual dan moral kepada mereka yang sudah kehilangan itu semua.
Sangat disayangkan, jika mereka yang dianggap terhormat dipercayakan untuk memimpin lembaga pendidikan lalu terjebak dengan ‘money politic’ sehingga mengaburkan sudut pandang mereka yang jernih untuk memilih, ini adalah sebuah dekadensi moral yang terlampau besar. Harganya terlalu mahal untuk dibayar, yaitu pengkhianatan terhadap filosofi Si Tou Timou Tumou Tou dan good governance.
Sebuah skandal moral di institusi pendidikan seperti Unsrat akan melululantahkan perjuangan untuk menjadikan slogan Unsrat ‘Unggul dan Berbudaya’ hanyalah sebuah retorika. Apakah perjuangan kita hanya mendapatkan keunggulan dari aspek ranking dan akreditasi serta semua pencapaian lain, lalu kita lupa membangun budaya intelektualitas dan moralitas yang tinggi? Kita harus mempertanyakan kembali, apakah kita serius membangun Unsrat dengan nilai-nilai fundamental yang bisa membangun anak didik generasi muda secara berkelanjutan ataukah hanya mencari keuntungan sepihak di Unsrat? Mereka yang tidak bisa berpikir jernih tentang persoalan masa depan dan hanya mementingkan segelintir orang untuk memberikan keuntungan, adalah kaum oportunis yang seharusnya tidak memimpin Unsrat.
Kita sudah muak dengan semua yang terdengar lewat permainan ‘money politic’ karena mereka yang terjebak di sana adalah bersifat imoral, sehebat apapun karir akademisnya. Sepanjang mereka tidak bisa menjaga sakralnya dunia pendidikan dari politik praktis dan transaksional itu, mereka tidak layak menyandang kehormatan dan kalau perlu dieliminasi dalam jabatan mereka.
Di negara-negara maju, mereka lebih mengedepankan meritokrasi bukan oligarki untuk memilih pimpinan Universitas, mereka yang benar-benar kompeten, berintegritas itulah yang akan dipilih. Kita di sini, ada banyak oknum pendidik dengan gelar yang sangat bergengsi tapi tidak memiliki modal integritas yang cukup baik, sehingga mereka kadang terlibat dalam skandal memalukan.
Unsrat yang dibangun oleh para pendirinya tidak pernah bertujuan untuk menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, tapi memberikan kebebasan akademis dengan menjunjung tinggi etika, moral dan integritas sebagai ilmuwan, bukan malah melawannya. Kita ada untuk membantu masyarakat sebagai mercusuar yang menjadi pemandu.
Tapi kalau mercusuar itu sudah padam, dia tidak akan lagi memberikan arah tapi akan dihina oleh orang luar. Ini tragedi bagi Unsrat, jika kita mendapat warisan kepemimpinan yang diperoleh dengan cara yang tidak bermartabat dan skandal moral. Kita semua harus mengawalnya, walaupun kita akan kalah dalam perlawanan melawan terlalu kuatnya pemilik modal, tapi setidaknya kita harus menyuarakan kebenaran.
Saya mendengar isu, sudah ada pemeriksaan pada beberapa anggota senat yang diduga menerima uang dari pencalonan di awal. Ini semua bertujuan baik, untuk menekan mereka yang diduga terlibat ‘money politic’ agar berhati-hati dalam proses pemilihan nantinya. Tapi pertanyaannya, sampai sejauh mana ini bisa mempengaruhi hati dan pikiran anggota senat? Apakah mereka masih merasa itu biasa saja dan tidak pernah terintimidasi? Ataukah institusi yang menjadi pemeriksa bisa berada di bawah tekanan dan pengaruh intervensi politik kepala daerah dan meloloskan skandal ini? Kita semua bisa menjadi pesimis tapi bisa juga optimis.