Digital Activity
Mengenal Dekat Sosok Pdt DR Marhaeni Mawuntu, Ungkap Teori Turbelensi Sosial Minahasa
Pdt Marhaeni merupakan Ketua TeLu Lembaga Pendampingan Perempuan Anak sekaligus Aktivis tergabung dengan organisasi Gerakan Perempuan Sulut.
Penulis: Ryo_Noor | Editor: Rizali Posumah
Kita hanya meminjam pola Dia (Yesus), banyak mahasiswa yang kemudian tertarik, ada yang terlibat di lembaga perlindungan anak.
Bagi saya itu membahagiakan, kemudian kadang bikin pusing kepala, kasus dilaporkan itu korban mengatakan tolong bantu sekarang sementara saya ada mata kuliah mulai jam 7 pagi sampai jam 7 malam, di mana ini celah untuk keluar.
Saya telepon Dinas Perempuan dan Perlindungan Anak. Ada hal memuaskan ketika semua selesai.
Kami pernah mendampingi kasus penatua yang melakukan pelecehan seksual ke remaja, dapat pidana 15 tahun.
Itu kami yang mendampingi. Itu bukan hal yang ringan karena ini sesama pelayan.
Harus ada sikap tegas, Sinode menopang proses hukum, tidak mau campur tangan tentang keputusan sidang. Banyak unik-unik.
Bisa anda terangkan, sempat tadi menyangsikan masyarakat minahasa masih egaliter?
Saya mulai dari disertasi saya menyangkut redefinisi dan rekonstruksi Tou, konsep Minahasa tentang manusia dan kosmologi.
Ini berangkat dari realitas yang saya lihat, bahwa dengan polarisasi di masyarakat tentang asli, bukan asli, pendatang dan bukan pendatang, kekerasan perempuan anak yang meningkat, saya merasa nilai-nilai egaliter di Minahasa sedang sekarat.
Kita perlu meredefinisi dan merekonstruksi nilai kultural yang memberi kontribusi kepada kita masyarakat untuk bagaimana menghadapi realitas yang bagi saya ini turbulensi sosial berubah sedemikan cepat tidak terprediksi, jika kita tidak sadar maka kita akan betul-betul mengalami alenansi di trngah konteks masyarakat yang berubah.
Kalau kita tidak paham bahwa ada nilai dipertahankan untuk menata kehidupan bersama yang damai.
Apa yang berubah?
Pertama, soal klaim asli dan bukan asli. Itu sangat signifikan, itu kemudian berimbas polarisasi masyarakat.
Lebih parah itu yang asli Minahasa kristen. Jika Minahasa sudah agama lain maka sudah bukan asli.
Padahal kalau belajar mitologi Minahasa itu semua pendatang, leluhur berbagai tempat dan waktu berbeda.
Kita tidak bisa mengklaim dari tempat tertentu. Ada yang bilang keturunan Han, okey lah. Tapi ada juga dari tempat lain.
Jika ada yang klaim asli dan bukan asli, itu melanggar apa yang menjadi dasar konstruksi masyarakat disebut Minahasa.
Karena kita pendatang membangun masyarakat ini dalam keragaman, itu bagi saya yang jika tidak disadari dan disikapi dengan cepat akan merusak banyak hal, kerukunan kita.
Kita dapat penghargaan daerah rukun, tapi jika tidak dipelihara satu waktu akan jadi bom waktu.
Itu turbulensi sosial. Perubahan begitu cepat, misalnya digitalisasi berkembang.
Kita hidup tanpa kelengkapan-kelengkapan, dengan sendirinya kita yang akan tergeser oleh yang memilki kelengkapan-kelengkapan menghadapi dunia semakin canggih.
Jika tidak menanggapi secara serius perkembangan kasus kekerasan perempuan dan anak satu waktu generasi apa yang kita harap mewarisi nilai yang kita bangun.
Generasi cacat yang mentalitasnya rusak. Tidak punya penghargaan terhadap diri dan orang lain.
Saya yakin agama-agama masih bisa memainkan fungsi sosial dan harus bekerja sama dengan lembaga yang konsern tentang itu. (ryo)
• Kecelakaan Maut Pukul 11.30 Wita, Seorang Pelajar SMP Tewas, Motor Korban Tabrakan dengan Truk
• Sosok Brigjen TNI Kosasih, Jabat Danrem Hanya 5 Bulan Kini Ditarik Jadi Karopeg Setjen Kemhan
• Ramalan Zodiak Cinta Besok Jumat 8 April 2022, Ada yang Harus Jalan-jalan dengan Kekasihnya
