Digital Activity
Mengenal Dekat Sosok Pdt DR Marhaeni Mawuntu, Ungkap Teori Turbelensi Sosial Minahasa
Pdt Marhaeni merupakan Ketua TeLu Lembaga Pendampingan Perempuan Anak sekaligus Aktivis tergabung dengan organisasi Gerakan Perempuan Sulut.
Penulis: Ryo_Noor | Editor: Rizali Posumah
Manado, TRIBUNMANADO.CO.ID - Tribun Podcadt kembali kedatangan tamu spesial.
Sosok Pendeta GMIM, seorang dosen Teologia UKIT dan aktivis perlindungan perempuan dan anak.
Sosok perempuan tangguh ini bernama Pdt DR Marhaeni Mawuntu.
Pdt Marhaeni merupakan Ketua TeLu Lembaga Pendampingan Perempuan Anak sekaligus
Aktivis tergabung dengan organisasi Gerakan Perempuan Sulut.
Pdt Marhaeni membeber perjalanan hidupnya dalam tribun bakudapa dengan tema
Memimpin, Melayani, dan Mendidik.
Podcast kali ini dipandu host Aswin Lumintang, disajikan dengan format tanya jawa
Apa yang menginspirasi kemudian anda terjun jadi dosen di Teologia?
Itu kan 1987 saya selesai SMA, itu lagi panas-panasnya persekutuan doa. Saya rajin mengikuti kegiatan itu.
Saya jurusan fisika, bercita-cita awalnya kuliah di kedokteran atau teknik arsitektur, dan orang tua juga mendukung. Pengaruh kuat hingga mendorong lahirnya keinginan lain.
Tanpa sepengetahuan orang tua mendaftar di Fakultas Teologi dan diterima, tesnya dulu termasuk ketat. Saya ambil jurusan filsafat kristen. Ketika diterima baru diberitahukan ke orang tua.
Setelah berkecimpung, cita-cita waktu itu apa ingin jadi dosen atau /pendeta?
Memang ada perubahan-perubahan di jalan hidup. Begitu selesai kuliah, rencana ikut vikaris, sudah ikut di Minut, Kaasar, Sawangan. Sudah diproses ditentukan terima atau tidak.
Ada penjelasan dari wilayah, bahwa belum akan menerima tenaga vikaris.
Di masa itu ada dosen perwalian saya mengatakan, jangan dulu jadi pendeta, studi S2 dulu.
Saya putuskan ambil S2 di Satya Wacana Jurusan Sosiologi Agama. Saya kemudian merasa tidak cocok jadi pendeta, melanglang buana di lembaga yang konsern di lintas agama, itu 1995-1996.
Terpengaruh juga tugas pelayanan itu tidak harus jadi pendeta. Memang terlibat di kegiatan mulai peduli terkait perempuan dan anak.
Mulai kajian-kajian persoalan riil terkait perempuan dan anak, kesetaraan gender di studi di Salah Tiga dan Jogjakarta. Hal-hal menarik di Jogjakarta.
Menjalani perjalanan hidup diproses sedemikian oleh Tuhan, lalu satu waktu saya bersedia jadi vikaris pendeta.
Masih kurang master teologi. Jadi asisten dosen Pdt Richard Siwu, ketika itu Wakil Ketua Bidang Misi Oikumene, dan saya vikaris di bidang itu. Pelayanan juga vikaris jemaat.
Setelah kembali ke Sulut, bisa ceritakan proses anda untuk tetap berkecimpung sebagai aktivis perempuan dan anak?
Kita melihat di masyarakat Minahasa tidak terlalu kentara ketidaksetaraan perempuan dan laki-laki, karena culture kita yang sangat egaliter meskipun sekarang perlu dikaji ulang apa benar, tapi di Jawa sangat kentara sekali.
Sejak itu saya konsern pada apa selama ini kurang diperhatikan oleh masyarakat dan lembaga keagamaan.
Perlu sekian banyak orang untuk konsern dan memberi diri terhadap mereka terpinggirkan, kenapa setelah selesai diteguhkan pendeta dan dosen, saya mulai terlibat kegiatan konkrit terkait dengan persoalan perempuan dan anak.
Anda menjabat Ketua TeLu, bagaimana kisahnya?
Ketika diangkat dosen UKIT, 5 tahun kemudian saya dizinkan belajar ambil S3.
Saya ambil S3 di Satya Wacana, ketika itu status saya dosen tetap dan pekerja GMIM lalu diizinkan tugas belajar.
2015 awal diminta Ketua Panitia Konsultasi Perempuan Berpendidikan Teologi di Tondano.
Dari situ banyak kajian, kemudian sepakat dirikan lembaga nantinya selain kajian dan edukasi, harus ada action ke korban.
Kami masuk di Kaum Ibu, Kaum Bapa, Remaja untuk sosialisasi khusus hasil -hasil kajian.
Mereka sadar bahwa egaliter budayanya kita, belum tentu begitu diterapkan dalam konteks sekarang.
Laku berdirilah TeLu disahkan secara hukum, Torang ada 11, 8 pendeta dan 2 aktivis anak perempuan.
Lama kelamaan TeLu harus berhadapan dengan orang datang melapor minta pendampingan.
Torang tidak punya kelengkapan itu. Hanya pendeta dan aktivis anak dalam lingkungan GMIM yang belum pernah menangani kasus riil.
Sudah harus menangani. Kami minta advice teman-teman, dengan tertatih-tatih kami mulai melakukan pendampingan.
Lalu kemudian, mulai praktek, dirasa ada kelengkapan khusus, kita ke Rifka Anisa di Jogja itu lembaga khusus untuk melatih pendampingan korban. Bagaimana berpihak korban, jangan bertanya macam-macam.
Pendeta memang punya kemampuan pastoral. Namun tidak serta merta cocok diterapkan ke korban. Ada model khusus.
Kasus apa yang pernah anda tangani mendampingi korban?
Kami pernah menangani kasus traficking, jadi anak 5 orang 13-15 tahun dijual ke Papua.
Ketika lapor ke torang, kita juga awalnya bingung mau tangani, ini kasus cukup berat. Kasus antar pulau.
Kami berjejaring dengan Badan Pendampingan Perempuan dan Anak, lalu bentuk tim.
Kerja-kerja seperti ini, kita kerja sama dengan lembaga terkait menolong supaya tuntas.
Dinamika seperti apa yang anda rasakan dengan kerja-kerja sebagai dosen sekaligus aktivis ini?
Kalau dosen berhadapan dengan mahasiswa biasanya sangat formal, tapi saya membangun relasi pertemanan dengan mahasiswa, tapi ada beberapa mahasiswa berminat dengan bidang ini karena dalam mata kuliah apapun saya sisipkan pengalaman riil.
Gereja tidak melulu pelayanan normatif, tapi gereja juga perlu masuk dalam lingkup seperti itu.
Pola kita kan polanya Yesus yang masuk dan menyentuh mereka yang termarjinalisir dalam kemasyarakatan. Dianggap najis, sakit dan segala macam tapi justru dirangkul.
Kita hanya meminjam pola Dia (Yesus), banyak mahasiswa yang kemudian tertarik, ada yang terlibat di lembaga perlindungan anak.
Bagi saya itu membahagiakan, kemudian kadang bikin pusing kepala, kasus dilaporkan itu korban mengatakan tolong bantu sekarang sementara saya ada mata kuliah mulai jam 7 pagi sampai jam 7 malam, di mana ini celah untuk keluar.
Saya telepon Dinas Perempuan dan Perlindungan Anak. Ada hal memuaskan ketika semua selesai.
Kami pernah mendampingi kasus penatua yang melakukan pelecehan seksual ke remaja, dapat pidana 15 tahun.
Itu kami yang mendampingi. Itu bukan hal yang ringan karena ini sesama pelayan.
Harus ada sikap tegas, Sinode menopang proses hukum, tidak mau campur tangan tentang keputusan sidang. Banyak unik-unik.
Bisa anda terangkan, sempat tadi menyangsikan masyarakat minahasa masih egaliter?
Saya mulai dari disertasi saya menyangkut redefinisi dan rekonstruksi Tou, konsep Minahasa tentang manusia dan kosmologi.
Ini berangkat dari realitas yang saya lihat, bahwa dengan polarisasi di masyarakat tentang asli, bukan asli, pendatang dan bukan pendatang, kekerasan perempuan anak yang meningkat, saya merasa nilai-nilai egaliter di Minahasa sedang sekarat.
Kita perlu meredefinisi dan merekonstruksi nilai kultural yang memberi kontribusi kepada kita masyarakat untuk bagaimana menghadapi realitas yang bagi saya ini turbulensi sosial berubah sedemikan cepat tidak terprediksi, jika kita tidak sadar maka kita akan betul-betul mengalami alenansi di trngah konteks masyarakat yang berubah.
Kalau kita tidak paham bahwa ada nilai dipertahankan untuk menata kehidupan bersama yang damai.
Apa yang berubah?
Pertama, soal klaim asli dan bukan asli. Itu sangat signifikan, itu kemudian berimbas polarisasi masyarakat.
Lebih parah itu yang asli Minahasa kristen. Jika Minahasa sudah agama lain maka sudah bukan asli.
Padahal kalau belajar mitologi Minahasa itu semua pendatang, leluhur berbagai tempat dan waktu berbeda.
Kita tidak bisa mengklaim dari tempat tertentu. Ada yang bilang keturunan Han, okey lah. Tapi ada juga dari tempat lain.
Jika ada yang klaim asli dan bukan asli, itu melanggar apa yang menjadi dasar konstruksi masyarakat disebut Minahasa.
Karena kita pendatang membangun masyarakat ini dalam keragaman, itu bagi saya yang jika tidak disadari dan disikapi dengan cepat akan merusak banyak hal, kerukunan kita.
Kita dapat penghargaan daerah rukun, tapi jika tidak dipelihara satu waktu akan jadi bom waktu.
Itu turbulensi sosial. Perubahan begitu cepat, misalnya digitalisasi berkembang.
Kita hidup tanpa kelengkapan-kelengkapan, dengan sendirinya kita yang akan tergeser oleh yang memilki kelengkapan-kelengkapan menghadapi dunia semakin canggih.
Jika tidak menanggapi secara serius perkembangan kasus kekerasan perempuan dan anak satu waktu generasi apa yang kita harap mewarisi nilai yang kita bangun.
Generasi cacat yang mentalitasnya rusak. Tidak punya penghargaan terhadap diri dan orang lain.
Saya yakin agama-agama masih bisa memainkan fungsi sosial dan harus bekerja sama dengan lembaga yang konsern tentang itu. (ryo)
• Kecelakaan Maut Pukul 11.30 Wita, Seorang Pelajar SMP Tewas, Motor Korban Tabrakan dengan Truk
• Sosok Brigjen TNI Kosasih, Jabat Danrem Hanya 5 Bulan Kini Ditarik Jadi Karopeg Setjen Kemhan
• Ramalan Zodiak Cinta Besok Jumat 8 April 2022, Ada yang Harus Jalan-jalan dengan Kekasihnya
