Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Digital Activity

Mengenal Dekat Sosok Pdt DR Marhaeni Mawuntu, Ungkap Teori Turbelensi Sosial Minahasa

Pdt Marhaeni merupakan Ketua TeLu Lembaga Pendampingan Perempuan Anak sekaligus Aktivis tergabung dengan organisasi Gerakan Perempuan Sulut.

Penulis: Ryo_Noor | Editor: Rizali Posumah
Istimewa.
Pdt DR Marhaeni Mawuntu. 

Laku berdirilah TeLu disahkan secara hukum, Torang ada 11, 8 pendeta dan 2 aktivis anak perempuan.

Lama kelamaan TeLu harus berhadapan dengan orang datang melapor minta pendampingan.

Torang tidak punya kelengkapan itu. Hanya pendeta dan aktivis anak dalam lingkungan GMIM yang belum pernah menangani kasus riil.

Sudah harus menangani. Kami minta advice teman-teman, dengan tertatih-tatih kami mulai melakukan pendampingan.

Lalu kemudian, mulai praktek, dirasa ada kelengkapan khusus, kita ke Rifka Anisa di Jogja itu lembaga khusus untuk melatih pendampingan korban. Bagaimana berpihak korban, jangan bertanya macam-macam. 

Pendeta memang punya kemampuan pastoral. Namun tidak serta merta cocok diterapkan ke korban. Ada model khusus. 

Kasus apa yang pernah anda tangani mendampingi korban?

Kami pernah menangani kasus traficking, jadi anak 5 orang 13-15 tahun dijual ke Papua.

Ketika lapor ke torang, kita juga awalnya bingung mau tangani, ini kasus cukup berat. Kasus antar pulau.

Kami berjejaring dengan Badan Pendampingan Perempuan dan Anak, lalu bentuk tim.

Kerja-kerja seperti ini, kita kerja sama dengan lembaga terkait menolong supaya tuntas.

Dinamika seperti apa yang anda rasakan dengan kerja-kerja sebagai dosen sekaligus aktivis ini?

Kalau dosen berhadapan dengan mahasiswa biasanya sangat formal, tapi saya membangun relasi pertemanan dengan mahasiswa, tapi ada beberapa mahasiswa berminat dengan bidang ini karena dalam mata kuliah apapun saya sisipkan pengalaman riil.

Gereja tidak melulu pelayanan normatif, tapi gereja juga perlu masuk dalam lingkup seperti itu.

Pola kita kan polanya Yesus yang masuk dan menyentuh mereka yang termarjinalisir dalam kemasyarakatan. Dianggap najis, sakit dan segala macam tapi justru dirangkul.

Sumber: Tribun Manado
Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved