Digital Activity
Mengenal Dekat Sosok Pdt DR Marhaeni Mawuntu, Ungkap Teori Turbelensi Sosial Minahasa
Pdt Marhaeni merupakan Ketua TeLu Lembaga Pendampingan Perempuan Anak sekaligus Aktivis tergabung dengan organisasi Gerakan Perempuan Sulut.
Penulis: Ryo_Noor | Editor: Rizali Posumah
Terpengaruh juga tugas pelayanan itu tidak harus jadi pendeta. Memang terlibat di kegiatan mulai peduli terkait perempuan dan anak.
Mulai kajian-kajian persoalan riil terkait perempuan dan anak, kesetaraan gender di studi di Salah Tiga dan Jogjakarta. Hal-hal menarik di Jogjakarta.
Menjalani perjalanan hidup diproses sedemikian oleh Tuhan, lalu satu waktu saya bersedia jadi vikaris pendeta.
Masih kurang master teologi. Jadi asisten dosen Pdt Richard Siwu, ketika itu Wakil Ketua Bidang Misi Oikumene, dan saya vikaris di bidang itu. Pelayanan juga vikaris jemaat.
Setelah kembali ke Sulut, bisa ceritakan proses anda untuk tetap berkecimpung sebagai aktivis perempuan dan anak?
Kita melihat di masyarakat Minahasa tidak terlalu kentara ketidaksetaraan perempuan dan laki-laki, karena culture kita yang sangat egaliter meskipun sekarang perlu dikaji ulang apa benar, tapi di Jawa sangat kentara sekali.
Sejak itu saya konsern pada apa selama ini kurang diperhatikan oleh masyarakat dan lembaga keagamaan.
Perlu sekian banyak orang untuk konsern dan memberi diri terhadap mereka terpinggirkan, kenapa setelah selesai diteguhkan pendeta dan dosen, saya mulai terlibat kegiatan konkrit terkait dengan persoalan perempuan dan anak.
Anda menjabat Ketua TeLu, bagaimana kisahnya?
Ketika diangkat dosen UKIT, 5 tahun kemudian saya dizinkan belajar ambil S3.
Saya ambil S3 di Satya Wacana, ketika itu status saya dosen tetap dan pekerja GMIM lalu diizinkan tugas belajar.
2015 awal diminta Ketua Panitia Konsultasi Perempuan Berpendidikan Teologi di Tondano.
Dari situ banyak kajian, kemudian sepakat dirikan lembaga nantinya selain kajian dan edukasi, harus ada action ke korban.
Kami masuk di Kaum Ibu, Kaum Bapa, Remaja untuk sosialisasi khusus hasil -hasil kajian.
Mereka sadar bahwa egaliter budayanya kita, belum tentu begitu diterapkan dalam konteks sekarang.
