Kasus Sumbangan 2 Triliun
Deretan Pejabat yang Komentari Sumbangan 2 Triliun Keluarga Akidi Tio, Jusuf Kalla: Tak Masuk Akal
Seperti yang diketahui kasus sumbangan Rp 2 triliun ini memang menjadi perhatian karena jumlahnya yang fantastis.
Lalu heboh pers memberitakan dan publik geger juga.
Belakangan Cut Zahara ketahuan berbohong.
Ternyata suara bayi itu berasal dari suara tape recorder yang disembunyikan di perut.
Sekali lagi, Yenny meminta agar seluruh masyarakat di Indonesia untuk selalu mengedepankan rasionalitas.
"Memang pandemi Covid-19 ini membuat kita semua nyaris putus asa.
Tapi jangan sampai kita kehilangan akal sehat.
Mari kita berbuat sebisa kita membantu sesama dalam keadaan serba sulit saat ini," kata Yenny.
Mahfud MD
Menko Polhukam Mahfud MD tanggapi soal Sumbangan Rp 2 Triliun yang diduga bohong. (Kolase foto Istimewa/Tribun Sumsel)
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Mekopolhukam) Mahfud MD menyoroti soal hibah Rp 2 triliun keluarga almarhum Akidi Tio yang hingga saat ini belum jelas keberadaannya.
Mahfud MD mengaku dirinya sejak awal sudah tidak yakin sumbangan tersebut ada.
"Terkait Akidi Tio saya sejak awal sudah tak yakin itu ada karena petualang seperti itu sudah banyak memberi pelajaran pada kita," kata Mahfud MD dalam keterangan yang diterima, Selasa (4/8/2021).
Untuk itu ia menulis di akun Twitter-nya menyikapi sumbangan yang menjadi perhatian masyarakat tersebut.
Mahfud mengatakan cuitan "Mudah-mudahan itu nyata" dalam rangka menyindir kepada orang-orang yang percaya dengan keberadaan sumbangan Rp 2 triliun tersebut.
"Makanya ketika saya mencuit 'Mudah-mudahan itu nyata', Saya justru sama sekali tak berharap itu ada tapi saya nyindir kepada yang percaya dengan itu," ujarnya.
Menururnya, dari sejak dulu banyak orang yang seperti itu, mengaku mau menyumbang namun nyatanya hanya sebuah kebohongan.
"Sejak dulu banyak orang yang seperti itu, mengaku mau menyumbang, bisa menggali uang dengan kesaktian secara ajaib, bisa menemukan obat untuk 1000 penyakit, tapi semua bohong," ujar dia.
Mahfud pun mengaku dari awal mendukung mantan Menteri Hukum dan HAM RI Hamid Awaluddin yang tidak percaya begitu saja dengan sumbangan Rp 2 triliun keluarga almarhum Akidi Tio.
Diketahui, Hamid Awaluddin menuangkan pandangan terkait sumbangan tersebut yang diberi judul Akidi Tio, Rp 2 Triliun, dan Pelecehan Akal Sehat Para Pejabat.
"Saya mendukung Hamid Awaluddin yang tak mau percaya begitu saja dengan sumbangan Rp 2 triliun dari Akidi Tio itu," ujarnya.
Mahfud pun mengaku menulis berbagai pengalaman soal hal-hal serupa yang tentunya harus menjadi pengalaman bagi semua pihak di akun Twitternya.
Dalam cuitannya tersebut Mahfud menulis pernah ada orang mengaku menemukan harta karun peninggalan Majapahit tapi tak jelas juntrungannya.
Kemudian ada juga orang yang menunjukkan sertifikat pengakuan hutang miliaran dollar Amerika kepada Presiden Soekarno oleh sebuah Bank di Swiss bertahun 1962.
Lantas orang itu minta dicarterkan pesawat dan hotel selama seminggu untuk mencairkan uang itu bersama 5 orang.
Tapi setelah dicek Bank tersebut tidak ada.
"Ada juga yang membawa sekoper uang dollar Amerika yang perlembarnya bernilai 1.000 dollar, minta tolong dicairkan dalam bentuk rupiah ke BI dan 25% akan dihibahkan ke pemerintah.
Ketika ditanyakan ke BI malah ditertawakan karena Amerika tak pernah mencetak uang dollarnya dengan nilai $1000, paling tinggi cuma yang 100 dollar," beber Mahfud.
Dengan pengalaman-pengalaman tersebut, Mahfud menegaskan dari awal dirinya tidak percaya dengan berita sumbangan Rp 2 triliun Akidi Tio.
"Sejak awal saya tak percaya pada berita Akidi Tio itu karena sama modus bohongnya dengan yang sudah-sudah," ujarnya.
Bahkan sejak awal kabar sumbangan Akidi Tio tersebut mencuat, dirinya sempat bertanya kepada Gubernur Sumatera Selatan, Herman Daru.
Dalam pembicaraannya, ternyata gubernur Sumsel hanya diundang seremoni sebagai Forkompimda secara dadakan tapi tidak ada penyerahan barang atau dokumen apa pun.
"Makanya saya memposting tulisan Hamid Awaluddin sambil menceritakan pengalaman saya.
Itu untuk mengingatkan mereka yang percaya dan bersemangat pada hal yang tak rasional seperti itu," ujarnya.
Anggota Komisi III DPR
Berbagai kalangan mengomentari soal sumbangan dengan jumlah fantastis itu, terlebih saat muncul isu sumbangan Rp2 Triliun adalah 'prank'.
Ditambah lagi status Heriyanti yang sempat dinyatakan sebagai tersangka lalu diklarifikasi bahwa masih sebagai saksi.
Terbaru, uang sumbangan yang digembor-gemborkan Rp2 Triliun itu ternyata jumlahnya tak cukup di bilyet giro yang sebelumnya disebutkan.
Anggota Komisi III DPR Supriansa menyayangkan kepolisian yang dengan mudahnya percaya terhadap rencana hibah Rp2 triliun.
"Sebenarnya geli melihat kasus itu, lucu, dan menggemaskan. Saya kira ini pelajaran bagi kita semua terutama kepolisian bahwa kalau ada yang berniat terlalu baik maka perlu ditelusuri dulu," kata Supriansa kepada wartawan, Rabu (3/8/2021).
Dia menyebut ada sejumlah pertanyaan yang perlu dipertanyakan dan ditelusuri lebih dulu.
Di antaranya, apakah memang keluarga Akidi Tio memiliki uang sebanyak Rp 2 triliun yang direncanakan akan dihibahkan untuk dana penanganan Covid-19.
"Uang itu berada di bank mana? Ada di dalam negeri atau di luar negeri? Kalau uang itu ada di dalam atau di luar negeri, maka sebaiknya ditelusuri di bank mana disimpan," kata Legislator F-Golkar tersebut.
Seharusnya, langkah-langkah penelusuran seperti itu yang kemudian dilakukan pihak berwajib.
"Polisi kan lebih hebat kalau menghadapi masalah tipu-tipu alias hoaks. Masa polisi kena prank di depan Gubernur," ujar Supriansa
Kemudian soal penetapan tersangka, Supriansa mengatakan hal itu menjadi wewenang dan ranah kepolisian.
Supriansa menuturkan, jika melihat segi pandang adanya niat baik keluarga Akidi Tio memang suatu hal yang patut disyukuri.
Ia menyebut niat baik sudah dihitung pahala.
"Namun kalau hanya niatnya memang mau ngerjain aparat penegak hukum, maka itu lain soalnya. Maka perlu dilihat dulu motivasi apa keluarga almarhum yang mau menyumbang itu. Saya kira kalau ini benar hoaks, maka anggaplah niat baik tak berbuah manis. Sabar saja," pungkasnya.
Kepala PPATK
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae lantang menyebut Akidi Tio bukanlah konglomerat Indonesia (Via tribunnews.com)
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae lantang menyebut Akidi Tio bukanlah konglomerat Indonesia.
Menurutnya, menjadi pertanyaan besar jika seseorang yang kemampuannya diragukan namun memberikan dana sumbangan untuk penanganan pandemi sebesar Rp 2 triliun.
“Coba saja tanya kepada kita semua, mungkin teman-teman ada yang mengetahui. Apakah Akidi Tio pernah masuk jajaran 10 besar majalah Forbes. Apakah pernah tercatat pembayar pajak terbesar. Itu kan sebenarnya mudah saja kita mencari kesimpulan,” kata Doktor Hukum Keuangan tersebut saat bincang dengan Tribun Network, Selasa (3/8/2021).
Dian menegaskan hal ini dapat dianggap sebagai ketidaksesuaian profil antar penyumbang dengan kondisi keuangannya.
“Memang perlu kita tuntaskan sehingga mendapatkan jawaban clear bagi masyarakat,” ucapnya.
Dian juga telah memerintahkan jajarannya untuk memantau profil penyumbang fantastis atas nama keluarga pengusaha Akidi Tio kepada Polda Sumatera Selatan.
"Sebagai lembaga intelijen keuangan tentu saja insting saya bukan praduga tak bersalah. Kita instingnya praduga bersalah jadi kita selalu bersikap hati-hati tetapi sambil melihat ke faktor-faktor mencurigakan untuk memastikan bahwa segala sesuatu berjalan dengan peraturan perundang-undangan," ucap dia.
Adanya keterkaitan pejabat negara sebagai penerima sudah otomatis membuat PPATK harus langsung turun.
Hal itu guna memastikan kebenaran dana serta dari mana sumber dana itu mengalir.
“Kalau tidak turun malah menurut undang-undang kami PPATK bersalah," tukasnya.
Dian menuturkan bahwa masyarakat perlu memeroleh informasi sejelas-jelasnya mengenai aspek yang terkait perkembangan kabar ini.
"Kita sangat cepat begitu berita masuk kita langsung masuk juga melakukan analisa," ucap Dian.
PPATK mengingatkan pejabat negara yang masuk dalam kategori Politically Exposed Persons (PEPs) agar tidak menerima dana bantuan.
Terlebih lagi jika bantuannya bernilai fantastis sehingga diperlukan langkah-langkah klarifikasi.
“Bukan apa-apa ini memang untuk memastikan, karena menjanjikan sesuatu ke masyarakat dan dilakukan sumbangan melalui pejabat negara tentunya ini bukan sesuatu yang bisa dianggap main-main. Ini perihal serius dan perlu dipastikan PPATK,” kata Dian.
(Tribunnews.com/Tribunsumsel)