Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

MTPJ GMIM

MTPJ 8 – 14 November 2020: “Janji Pemeliharaan Allah”

Janji pemeliharaan Allah (providensia) menjadi tema pelayanan gereja dalam bersekutu, bersaksi dan melayani jemaat

Editor: Aswin_Lumintang
Istimewa
Renungan Harian 

TEMA BULANAN :“Memelihara Keutuhan Ciptaan”

TEMA MINGGUAN : “Janji Pemeliharaan Allah”
BACAAN ALKITAB: Kejadian 9:1-17

ilustrasi
ilustrasi ()

ALASAN PEMILIHAN TEMA
TRIBUNMANADO.CO.ID - Janji pemeliharaan Allah (providensia) menjadi tema pelayanan gereja dalam bersekutu, bersaksi dan melayani jemaat dan masyarakat untuk mempertegas janji Allah Sang Khalik (Pencipta) kepada manusia khalikah (yang diciptakan). Allah memberi karunia-Nya yang menjamin kehidupan manusia dan gereja seperti pemeliharaan Allah pada manusia dan makhluk hidup serta anugerah keselamatan.

Tak dapat disangkal manusia seringkali ragu terhadap janji pemeliharaan Allah. Kemudian mengikuti kehendaknya sendiri dan tergoda dengan ajakan dunia yang bertentangan dengan kehendak Sang Khalik. Realita dalam kehidupan manusia yang ingin menang dan senang sendiri serta rakus/tamak sehingga melakukan perbuatan: Membunuh diri karena tidak terpe-nuhinya keinginan dan harapan pribadi, membunuh sesama manusia karena ingin mendapatkan barang milik sesama, membunuh sesama saudara/keluarga karena berselisih tentang harta warisan orang tua, merusak lingkungan (eksploitasi alam) tanpa memikirkan kelangsungan lingkungan alam yang sangat dibutuhkan manusia dimasa kini dan masa yang akan datang.
Melaksanakan pelayanan gereja sebagai lembaga ataupun pribadi kita harus menolak berbagai tindakan yang bertentangan dengan pengakuan dan penghormatan bahwa Allah Sang Khalik adalah Tuhan dari segala kehidupan dan ciptaan. Gereja tidak boleh menjadi sama seperti dunia ini (bnd. Roma 12:2a), tapi gereja harus hadir dalam kehidupan manusia yang terus menyuarakan dan melakukan kepercayaannya pada janji pemeliharaan Allah.

Alkitab
Alkitab (Netralnews.com)

PEMBAHASAN TEMATIS
Pembahasan Teks Alkitab (Exegese)
Kejadian pasal 1-11 merupakan pendahuluan isi Alkitab dengan latar belakang tanah dan kebudayaan Mesopotamia yang menekankan susunan narasi dengan pusat perhatian pada tokoh-tokoh seperti Adam, Habel, Nuh, Abraham, Ishak, Yakub dan Yusuf. Khusus Kejadian 9:1-17 mengisahkan tentang kehidupan manusia sesudah penghukuman dengan air bah oleh Allah karena bumi telah dipenuhi dengan kekerasan (Ibrani: khamas) yang bertentangan dengan aturan (misypat) dan kebenaran (tsedaqah) (bnd. Yeremia 22:3).

Itulah sebabnya pemulangan manusia (Nuh dan keluarganya) ke atas bumi hanyalah atas izin dan perintah istimewa dari pihak Allah (8:16). Memulai kehidupan di bumi yang baru mereka diberkati Allah dan diberi perintah istimewa yang mencakup: Kepemilikan bumi yang tak terbatas, penggunaan dari penghuninya (manusia) baik untuk makanan (flora dan fauna), menyediakan ruang lingkup kehidupan, kenikmatan hidup dan perkembangan kehidupan (ayat 1-3).

Penghormatan mutlak terhadap kehidupan manusia yang adalah gambar Allah, juga binatang (yang semuanya diserahkan kepada manusia) untuk diakui dan dihormati bahwa Allah yang adalah Tuhan dari segala kehidupan (ayat 4-6). Hidup dalam mengungkapkan gambar/citra Allah, mematuhi hukum Allah, bersukacita dalam berkat-Nya, bahwa manusia akan berlipat ganda dan memenuhi bumi (ayat 7).

Selanjutnya Allah memberikan perjanjian-Nya kepada Nuh dan keluarganya serta segala makhluk hidup (ayat 8-17). Bagian ini sejajar dengan janji Allah dalam pasal 8:21-22 yang berisi suatu janji biasa. Sementara penulis dan para imam mengangkatnya menjadi penetapan dan penegak kedaulatan Allah yang bersifat hukum kekal (ayat 16). Istilah “perjanjian” (Ibrani: berit) sampai 7 kali disebut (ayat 9,11,12,13,15,16,17) dapat disamakan dengan “sumpah”, “ikrar”, keputusan agung”, penetapan yang merdeka dan berdaulat”.

Dengan mengeluarkan keputusan agung yang demikian itu maka Allah mengikat diri, Ia membatasi murka-Nya. Ayat 9-10:“Sesungguhnya Aku mengadakan perjanjian-Ku dengan kamu dan keturunanmu, dan segala makhluk hidup yang bersama-sama dengan kamu…”.Kalimat ini memberikan penegasan bahwa Allah sendiri membuat perjanjian dan bukan manusia. Dengan kata lain Allah sebagai satu-satunya pembuat undang-undang di zaman itu. Dia berinisiatif untuk member-lakukannya bagi manusia dan keturunannya serta semua makhluk hidup di dunia.

Dalam ayat 11 dikatakan: “Maka Kuadakan perjanjian-Ku dengan kamu…”, hal ini bukan berarti bahwa Tuhan Allah baru pertama kali membuat perjanjian dengan manusia melainkan Ia memantapkan perjanjian ini secara permanen demi keseim-bangan bumi dan keselamatan manusia. Maka Tuhan Allah menegaskan,”…bahwa sejak saat ini tidak ada yang hidup yang akan dilenyapkan oleh air bah lagi, dan tidak akan ada lagi air bah untuk memusnahkan bumi.”Dalam Kej. 6:5-7:10 tampak bahwa kejahatan dan dosa manusia mendatangkan hukuman. Hubungan antara dosa dan hukuman yang demikian sudah berubah, bahkan dihancurkan. Malapetaka dan kehancuran barangkali tetap akan ada, tetapi tidak berakar pada kemarahan atau penolakan Allah dan bukan merupakan hukuman atas dosa dan kejahatan.

Ayat 12-13, Allah mengadakan perjanjian dengan penuh kesungguhan itu diwujudkan dengan tanda perjanjian dise-butkanlah tanda itu, yaitu “busur” (Ibr.:qosy). Di dalam Septuaginta dipakai terjemahan gausos yang boleh diartikan sebagai ‘busur’ atau ‘lengkungan’. Sebutan “busur-Ku” (Ibr.:qasyti) menunjuk pada busur dari Allah sendiri yang ditempatkan di awan, karena disadari bahwa ada busur lain yang bukan busur dari Allah.
Busur dalam kenyataan hidup bangsa-bangsa di sekitar Israel adalah alat perang yang dipakai dalam menghadapi musuh. Jadi busur adalah simbol permusuhan dan peperangan. Jika di sini busur itu disebut “busur-Ku”, itu menandakan hubungan khusus antara busur itu dengan Allah.

Dalam konteks umat Yehuda ketika bangsa-bangsa besar di sekitarnya dilanda permusuhan dan peperangan, pada waktu itu Allah datang dengan damai dan mengampuni umat-Nya yang telah terhukum karena dosa umat itu. Terhadap kerajaan atau kuasa-kuasa politik itu Allah menegaskan kehadiran-Nya dalam tanda perjanjian, yaitu “busur di awan”. Busur Allah bukan busur biasa, melainkan busur warna-warni yang menimbulkan rasa indah, agung, dan sukacita.

Busur itu menjadi petunjuk untuk mengingatkan manusia tentang kemurahan dan kemuliaan Allah, Sang Penyelamat dan Pelindung. Juga mengingatkan tentang keperkasaan Tuhan dalam mengalahkan kuasa-kuasa yang memporak-porandakan umat-Nya dan menjamin kelangsungan umat yang telah dibebaskan-Nya. Busur itu ialah jaminan yang berlaku tidak hanya sesaat yaitu untuk Nuh dan keturunannya, melainkan untuk seluruh makhluk selamanya.

Pada ayat 14-17, berisi penegasan tentang janji yang diberikan Allah kepada seluruh umat di segala zaman. Allah akan selalu mengingat janji yang Dia buat. Penunjukan “busur itu di langit”, menunjukkan fungsi dari penegasan Tuhan untuk menyatakan janji pemeliharaan-Nya. Ia membatasi murka-Nya sedemikian rupa untuk tidak lagi menghukum manusia. Ketegasan sikap itu bukan penyesalan biasa, melainkan martabat dari keputusan-Nya yang tidak dapat diubah. Martabat dari keputusan untuk tidak menghukum dan membinasakan umat adalah kehormatan-Nya yang penuh kasih. Umat memang berdosa dan mereka harus dihukum, tapi umat diselamatkan-Nya. Sesudah itu Tuhan mengikatkan diri-Nya dengan umat kepunyaan-Nya.

Makna dan Implikasi Firman
Kehadiran Allah dalam kehidupan manusia dan makhluk hidup ciptaan-Nya mendatangkan keselamatan. Ketika kejahatan merajalela di bumi dan segala isinya, maka Allah menghukum bumi dengan air bah. Namun Allah adalah Penyelamat yang tidak terhentikan oleh kejahatan dan dosa manusia. Ia menyelamatkan Nuh dan keluarganya serta makhluk hidup lainnya.

Halaman
12
Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved