Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Tajuk Tamu Tribun Manado

Pengaduan Masyarakat “Koentji” Berantas Korupsi

Masyarakat adalah mitra sejajar yang menjadi mata dan telinga dalam upaya memberantas korupsi.

ISTIMEWA
Moh Anshari Auditor Itjen Kemenag RI 

Oleh:
Moh Anshari
Auditor Itjen Kemenag RI

DALAM sebuah kesempatan, mantan Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah, membeberkan fakta, selama ini agenda pemberantasan korupsi berlangsung gencar lantaran sikap proaktif masyarakat memberikan pengaduan kepada lembaga penegak hukum. Pengaduan masyarakat (dumas) menjadi “koentji” (baca: kunci) pemberantasan korupsi. Tanpa partisipasi publik itu, menurutnya, pemberantasan korupsi bakal mandek total. Sejauh ini, keberhasilan pemberantasan korupsi sangat dominan atas hasil dari peran serta dan kepedulian masyarakat dalam melaporkan kasus korupsi.

Memang mesti diakui bahwa hampir semua kesuksesan aparat penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), misalnya, dalam proses penegakan tindak pidana korupsi (tipikor) bermula dari laporan masyarakat. Lantas lembaga atirasuah itu cekatan menindaklanjuti pengaduan yang masuk, bila bukti awal tindak pidana korupsi sudah cukup kuat.

Sebagaimana kita ketahui, pemberantasan korupsi menjadi agenda seksi di setiap era pemerintahan dari waktu ke waktu. Dalam pelaksanaan tugasnya, pemerintah membutuhkan peran serta warga negara untuk memberikan input dan feedback untuk kesuksesan program pemerintah. Geliat partisipasi publik ini mulai nyata pasca era reformasi yang menandai era keterbukaan. Di era keterbukaan ini, publik memiliki hak untuk melakukan koreksi dan pengawasan terhadap praktik-praktik kepemerintahan. Ini merupakan wujud nyata dari model pemerintahan yang transparan dan partisipatif.

Undang-Undang Dasar 1945 dengan tegas memberi garansi bagi partisipasi publik, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28C ayat (2): “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat bangsa dan negara”. Sementara, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2000 BAB II, diatur tentang hak dan tanggung jawab masyarakat dalam mencari, memperoleh, memberi informasi, saran, dan pendapat. Di antaranya dijelaskan, setiap orang, organisasi kemasyarakatan atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) berhak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi Tipikor serta menyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum dan atau KPK mengenai perkara Tipikor. Dengan dasar PP ini, masyarakat umum baik secara pribadi atau atas nama ormas/LSM bisa menyampaikan berbagai dugaan adanya tipikor.

Dalam peran menyampaikan informasi, saran, dan pendapat, sebagaimana dijelaskan pada ayat , harus dilakukan secara bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, norma agama, kesusilaan, dan kesopanan. Sementara mengenai mekanisme, sesuai Pasal 3, informasi, saran, dan pendapat atau permintaan informasi sebagaimana dimaksud Pasal 2, harus disampaikan secara tertulis dan disertai dengan data-data. Artinya tidak bisa surat kaleng. Surat tanpa identitas. Yang disertakan dalam laporan tersebut, tidak banyak. Cukup data mengenai nama dan alamat pelapor, pimpinan ormas, atau pimpinan LSM dengan melampirkan foto kopi KTP atau identitas diri lain. Berikutnya, pelapor membuat tambah keterangan mengenai dugaan pelaku tipikor dilengkapi dengan bukti-bukti permulaan. Setiap informasi, saran, dan pendapat dari masyarakat juga harus terlebih dahulu diklarifikasi dengan gelar perkara oleh penegak hukum. Ini beberapa dasar hukum mengenai pelaporan masyarakat.

Dumas Tipikor di KPK

Bagaimana peran serta atau partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi? Dalam konteks ini kita bisa melihat bentuk partisipasi publik dalam hal pengaduan atau laporan tipikor yang dicatat oleh KPK. Sejak KPK berdiri, jumlah pengaduan masyarakat mengalami pasang surut. Tahun pertama berdiri KPK, 2004, Saat infrastruktur di KPK juga belum mapan jumlah pelapor tidak sampai 3.000 pengaduan masyarakat selama setahun. Tahun 2005-2007 cukup melonjak hingga di angkat 7.000 pengaduan. Berikutnya tahun 2008 menyundul angka 9.000 pengaduan.

Dari pengalaman Direktorat Pengaduan Masyarakat, setidaknya ada beberapa faktor yang mendorong masyarakat antusias ataupun tidak dalam mengirim pengaduan. Pertama, masyarakat ingin mengadukan bila persoalan korupsi itu merugikan kepentingan politik pribadi, kelompok ataupun organisasinya. Ini termasuk pendorong yang besar. Misalnya, di saat terjadi pemilihan kepala daerah, maka pengaduan kasus korupsi akan muncul. Motivasinya bisa karena ingin untuk menjegal lawan politik, atau sekadar untuk membuat “noda hitam” dalam citra lawan politik.

Kedua, masyarakat melaporkan kasus korupsi karena faktor bisnis. Di saat ada tender pengerjaan proyek pemerintah, sangat mungkin ada pihak-pihak yang merasa dirugikan. Entah itu merasa dikalahkan, padahal sudah mengeluarkan biaya ataupun karena semata-mata agar jangan sampai pihak lain mengerjakan proyek tersebut. Persaingan bisnis semacam ini, sangat mungkin mendorong pihak-pihak yang terancam kepentingan untuk membuat laporan ke KPK.

Ketiga, persaingan karier di dalam tubuh birokrasi pemerintah. Bukan rahasia lagi, pejabat-pejabat pemerintah pun tidak sedikit yang bersaing untuk mendapatkan jabatan tertentu. Jabatan yang “basah”, paling banyak proyek, maka akan menjadi rebutan para birokrat. Nah, di sini sering kali mendorong salah satu pihak untuk melaporkan kolega karir mereka ke KPK. Tidak sedikit sesama birokrat yang ingin menjatuhkan, dan salah satunya dengan malaporkan tindak pidana korupsi. Persiangan di antara birokrat ini juga bisa membuat laporan ke KPK bisa agak detil. Tidak hanya nama dan jabatan yang dilaporkan, tetapi juga sampai angka nominal yang dicolong.

Keempat, niat tulus untuk mengoreksi praktik korupsi. Meski birokrasi sering disebut banyak yang korupsi, tidak sedikit juga yang masih berhati mulia. Para bawahan yang merasa tertekan dengan tindak tanduk atasan, tak jarang mendorong mereka melaporkan ke KPK. Ya, pada dasarnya korupsi tidak bisa dilakukan seorang diri. Para pejabat memerlukan banyak “aktor” untuk mengakali nilai proyek, perlu banyak pihak untuk membantu merapikan administrasi. Di saat inilah, tidak semua orang bisa dengan suka rela membantu koruptor.

Kelima, antusias masyarakat melaporkan korupsi juga ada faktor pendorong yang berupa kinerja lembaga. Ya, LSM-LSM yang bergerak di bidang antikorupsi tidak mungkin berdiam diri. Mereka memasang jaring di beberapa lembaga lain untuk mengendus dugaan tindak korupsi. Mereka memiliki informan, dan bahkan sering kerja sama dengan birokrat yang masih bersih atau juga yang sakit hati. LSM-LSM ini yang aktif mengirimkan data-data ke KPK. Meski tidak semua LSM memberikan data yang akurat, tetapi harus diakui ada beberapa LSM yang kredibel setiap memberikan data kasus dugaan korupsi.

Keenam, motivasi pemerasan. Kok bisa? Tak bisa dinafikan memang ada juga laporan dugaan tindak pidana korupsi yang sampai ke KPK semata-mata untuk memeras para pelaku. Mereka sengaja melaporkan ke KPK, tetapi setelah itu menemui para “tersangka” itu dan meminta sejumlah uang agar laporan tidak ditindaklanjuti oleh KPK. Tim Pengaduan Masyarakat bahkan pernah menerima orang yang sengaja datang ke KPK hanya untuk memeras. Mereka datang, berbincang-bincang dengan Tim Pengaduan Masyarakat dan merekamnya, kemudian bukti pertemuan itu dipakai untuk memeras. Praktik seperti ini terbongkar, karena pihak KPK curiga dengan tindak-tanduk si pelapor dan akhirnya menyadap telepon si pelapor.

Perlindungan Hukum

Masyarakat adalah mitra sejajar yang menjadi mata dan telinga dalam upaya memberantas korupsi. Peran masyarakat begitu vital dalam pemberantasan korupsi sehingga negara memberikan status perlindungan status hukum maupun juga perlindungan keamanan bagi mereka yang melaporkan tindak pidana korupsi. Perlindungan tersebut diberikan berdasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000, yakni pada Pasal 5. Pasal 5 ayat 1 menyebutkan, bahwa setiap orang, organisasi masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) berhak atas perlindungan hukum baik mengenai status hukum maupun rasa aman.

Lebih jauh pada Pasal 6 ayat (1) dijelaskan, penegak hukum atau komisi wajib merahasiakan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor atau isi infromasi, saran, atau pendapat yang disampaikan. Tak hanya itu, dalam ayat (2) juga dikemukakan, apabila diperlukan, atas permintaan pelapor, penegak hukum atau komisi dapat memberikan perlindungan fisik terhadap pelapor maupun keluarganya. (*)

Baca juga: Wakil Ketua KPK Apresiasi Kinerja Kajati Sulut Andi Muh.Iqbal Arief

Baca juga: Kontak Senjata di Intan Jaya Hari Ini, Bocah 6 Tahun Kena Tembak, Satu Anggota TNI dan KKB Tewas

Baca juga: 6 Komponen yang Wajib Diperiksa saat Tune Up Mobil Menurut Pakar Teknis, Kembalikan Performa Mesin

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Relawan Palsu dan Politik Rente

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved