Tajuk Tamu Tribun Manado
Fenomena Pahkampetan di Minahasa dalam Terang Iman Kristiani
Bila si pahkampetan sudah memakai Alkitab atau Kitab Suci sebagai landasan ritualnya, ini pertanda positif yang membawa kabar gembira.
Orang adat tak jarang masih salah paham dan karena itu dicurigai kaum agamawan (Kristiani), terkait penghormatan kepada arwah leluhur ini dalam tradisi ritual adat. Penghormatan arwah bukan berarti mesti mengandalkan dan menggantungkan kehidupan kita kepada para arwah leluhur lagi, apalagi pada kekuatan kegelapan.
Yang masih sesuai ajaran kristiani dan realistis adalah meneladani segala nilai kebaikan yang pernah mereka tunjukkan, berupa norma adat istiadat yang luhur mulia, karena itu kita sebut dengan hormat sebagai leluhur. Seperti tertulis: "Semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu." (Flp. 4:8) Dengan cara mengenang akan segala warisan dan kebaikan itulah kita menghormati bahkan memuji para leluhur, sebagaimana hormat kita kepada para pahlawan dan orang tua kita yang semasa hidup mereka memang pantas diteladani.
"Berbahagialah mereka yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah." (Mat. 5:8) Tidak ada manusia yang sempurna, karena itu kita hanya bisa berharap dalam kasih setia Tuhan semoga semua leluhur kita sudah dibebaskan dari kuasa dosa oleh rahmat Tuhan semata sehingga layak pantas melihat Allah kelak, dan generasi-generasi selanjutnya selalu berusaha dengan tulus murni menjadi pelaku Firman dan menyenangkan hati Allah sendiri dengan berusaha hidup suci.
Dengan cara penghormatan dalam terang iman dan Firman sendiri inilah, kita bukan saja terhindar dari kultus individu dan komunal leluhur, melainkan makin terjalin hubungan batin penuh kasih dengan "persekutuan para kudus" laksana malaikat pelindung bagi manusia menuju "kehidupan kekal" surgawi, dan sekaligus juga terbantu untuk tidak jatuh pada kekuatan kegelapan di luar manusia sendiri, dan bisa menghadapi segala kekuatan alam dan segala kuasa duniawi dengan sikap yang benar dan tepat, menjadi citra dan co-creator Allah sendiri, sebagai manusia ciptaan luhur yang sudah dibaharui dalam kuasa kemenangan jaya Yesus Kristus, sang Alfa dan Omega.
Kita bisa saja mendapat dorongan dan aspirasi yang kuat, yang melampaui kemampuan dan realitas inderawi biasa. Bukankah peradaban mulia justru berkembang dari sejumlah nilai tradisional yang menghormati orang tua dan generasi sebelumnya? Ada banyak kisah dan wejangan serta teladan yang diwariskan leluhur yang masih terus mendorong dan menarik masyarakat untuk terus bergerak ke arah yang lebih baik dan benar. Bahkan dalam banyak peradaban kuno, warisan yang dianggap bernilai ini mendapatkan bentuk yang disakralkan karena dianggap suci dan mulia, sebagai perwujudan dari sifat Sang Pencipta penguasa yang senantiasa memelihara.
"Bisa saja ada praktik adat yang mengandung sesuatu yang bertentangan dengan norma yang universal, seharusnya dikritisi, dan dikonstruksi dengan cara baru supaya nilai yang ada di dalamnya tetap lestari, dan kalau tidak punya nilai, harusnya ditinggalkan."
Demikian penegasan normatif Boseke menanggapi fenomena orang mengaku sebagai praktisi pahkampetan dalam ritual budaya Minahasa, sambil mengembalikan praktik ini kepada kebijakan dan kehendak baik para praktisi dan tokoh adat demi pelestarian budaya dari sisi nilai-nilai agung mulia para leluhur Minahasa.
I Yayat U Leos. (*)
Baca juga: Massa Tolak UU Omnibus Law Bentrok dengan Warga, Ambulans Dibakar hingga Kantor Partai Nasdem Rusak
Baca juga: Satu Dokter dan 3 ASN Ditangkap karena Lakukan Praktik Pungli Rapid Test
Baca juga: Pesantren Dapat Bantuan Rp 2,6 Triliun