Tajuk Tamu Tribun Manado
Fenomena Pahkampetan di Minahasa dalam Terang Iman Kristiani
Bila si pahkampetan sudah memakai Alkitab atau Kitab Suci sebagai landasan ritualnya, ini pertanda positif yang membawa kabar gembira.
Oleh:
Stefi Rengkuan
Anggota Presidium ISKA
Wakil Bendahara PIKG
Anggota Pengurus Pusat IKAL STFSP
"AKTIVITAS menghaturkan 'sajian pencuci mulut' atau "lemaen" bagi para leluhur Minahasa disebut "maweteng" (Han: ma wei teng; Manado: baator; Indonesia: mengatur), sepantasnya dimaknai sebagai ungkapan hormat dan cinta keturunan yang memiliki hubungan batin dengan arwah para leluhur (yang hebat) di masa lalu bukan malah (dianggap) meng-kultuskan mereka mereka sedemikian rupa, atau malah seolah sama atau melebihi kuasa Sang Pencipta sendiri."
Demikian penegasan Weliam H Boseke yang menanggapi mispersepsi dan bahkan cemooh terhadap tindak ritual adat yang mulai diminati kembali oleh banyak kalangan, termasuk kaum muda Minahasa, setelah sekian lama pernah tersisih di tanah leluhur sendiri, terutama sejak zaman pendidikan sekular ala Eropa dan pengaruh agama di zaman kolonial.
Sebenarnya praktik m' e' teng lemaen hanyalah upacara awal, simbol undangan pesta untuk para leluhur terutama agar mereka hadir untuk menikmati jamuan pesta dan terutama mendengarkan nyanyian pujian penuh hormat resmi (Ma le sung) bagi mereka (leluhur). Upacara baator ini adalah ritual pembukaan untuk masuk dalam upacara inti Rageshan Malesung, yakni upacara menghormati leluhur sebagai ungkapan cinta bagi mereka itu.
Di dalam buku Penguasa Dinasti Han Leluhur Minahasa (2018) dijelaskan bahwa Tuhan, Raja Alam Semesta, sudah menyediakan Tu uxin dao nai ("tempat tiba dengan tidak sengaja", dibaca: bumi Minahasa) bagi keturunan penguasa Dinasti Han, agar jauh dari kekacauan di Negeri Han sendiri pada abad ketiga di masa perang besar tiga kerajaan berkecamuk hebat.
Putra Manusia mengajarkan bahwa kebaikan yang dilakukan oleh tangan kanan tidak perlu diketahui oleh tangan kiri, karena memang demikianlah sifat Tuhan sendiri menolong manusia dengan menyembunyikan tanganNya. Tidak ada yang mustahil bagi Sang Raja Alam Semesta, yang dapat saja menolong ciptaanNya melalui para kudus, tak terkecuali roh-roh leluhur yang telah menjadi golongan penghuni surga (Sse lin nei le yuan) dan tanda alam apa saja di tanah Minahasa, dalam pelbagai cara dan bentuk, seperti nyata dalam kesaksian para penulis dalam Kitab Suci itu sendiri, dan dalam konteks sejarah dan budaya bangsa Israel dan sekitarnya.
Beberapa pengalaman fenomenal ketika Minahasa dalam ancaman bahaya, selalu didahului dengan munculnya fenomena praktik Pahkampetan = Pahtumpaan = Pahretuken ne Pahopoen, yang membekali seseorang dengan media dalam belbagai bentuk yang dipercaya memiliki daya magis. Sebagai contoh adalah sebelum terjadinya perang Permesta, demikian juga ketika ada upaya upaya infiltrasi kaum perusuh radikal yang telah berhasil di provinsi lain dan berusaha masuk ke tanah Minahasa, tiba-tiba marak lagi praktik metafisis pahkampetan atau pahtumpaan itu di tengah masyarakat Minahasa.
Praktik seperti ini tidak jarang juga dimanfaatkan oleh kuasa gelap yang justru menimbulkan kekacauan dalam masyarakat, umpamanya ketika si praktisi yang berada dalam kuasa gelap mengadu domba masyarakat, sesama sahabat bahkan sesama keluarga, dengan menuduh seseorang sebagai pelaku santet (meriara), penculik (memuis), pengkhianat, dll.
Weliam menjelaskan lebih lanjut tentang fenomena maraknya pahkampetan atau mereka yang menjalankan ritual adat. Bahwa bila si pahkampetan sudah memakai Alkitab atau Kitab Suci sebagai landasan ritualnya, ini pertanda positif yang membawa kabar gembira, di mana mereka sudah berada di jalan yang benar dan sejati.
Tak ada yang mesti dipertentangkan antara hukum Ilahi dan hukum alam dan sosial yang selaras dengan alam semesta manusia berpijak. Mereka akan berada dalam aura alam yang pada dasarnya adalah baik, yang memang dalam Alkitab ditunjukkan selalu diganggu oleh kekuatan jahat, yang memang ada bahkan dalam kasus tertentu diizinkan boleh menjalankan pencobaan kepada manusia (Bdk. kisah Ayub), namun tetap tak bisa menang atas orang beriman yang berpegang teguh dan dilindungi kuasa Tuhan sendiri. Orang beriman kristiani mengaku dan percaya Yesuslah jalan kebenaran dan kehidupan, Dialah raja semesta alam, disembah dan dimuliakan. Dalam namaNya semua penguasa bertekuk lutut. “Dalam terangMu, Tuhan, kami melihat cahaya”, demikian sabda kehidupan yang dipegang erat orang Kristen.
Maka sebaliknya, pahkampetan yang masih mencari kekuatan dari ritual adat lewat para arwah leluhur, sama saja hidup di masa lalu, mungkin dalam ungkapan seorang etnolog Minahasa keturunan Belanda, JGF Riedel: 'talus... rimbengbeng', terlalu gelap. Riedel Jr ini lahir dan besar di tanah Minahasa. Dia adalah anak dari Pendeta JF Riedel yang datang ke tanah Minahasa bersama Schwars pada tahun 1831. Etnolog Minahasa Belanda ini menulis dalam kata pendahuluan bukunya, tentang sejarah dan budaya Minahasa yang 'sinaput wo kinakelewan woh rimbengbeng', suatu keadaan manusia dalam budaya yang "terbungkus dan tertutupi serta gelap". Situasi ini bisa membuat si pahkampetan terjebak pada pengaruh kekuatan jahat dan gelap yang memang ada di dunia, seperti singa mencari mangsanya di waktu malam. Tak benar dan tak ada gunanya lagi mengandalkan kekuatan selain Tuhan sendiri, karena sudah tidak sesuai dengan iman Kristiani yang dianutnya sekarang. Di bagian akhir bagian pembukaan, Riedel yang mencintai budaya di mana dia lahir, menyebut "ada secercah cahaya" dalam diri orang Minahasa itu sendiri, yang kiranya selaras dan menjadi titik temu agama dan nilai kekristenan.
Bagi pemeluk agama lain tentu punya penjelasan tersendiri. Tentu lebih menarik lagi kalau kita bertanya pendapat dari para penganut kepercayaan masyarakat yang disebut Shemalesung (dibedakan dengan Malesung secara geografi) yang mengaku sebagai agama asli Minahasa. Setahu saya yang terbatas, kepercayaan Minahasa kuno yang pernah dipresentasikan di hadapan pejabat negara yang mengatur aliran kepercayaan asli Nusantara adalah oleh Tonaas Walian Hendrik Boseke (ayah dari Tonaas Walian Silvester Boseke, yang adalah paman dari Weliam Boseke) asal Woloan. Ada dokumen tanda daftar dengan segala capnya dan pengakuan resmi dari pemerintah waktu itu, antara 1985/1986, dan sampai dua kali mempresentasikan kepercayaan ini di Villa Presiden Suharto di Gadok-Bogor, yang sempat menggemparkan karena sang tonaas bisa memanggil burung Manguni dalam ritual waktu itu.
Menurut info sang ponakan, hanya ada dua di Nusantara yang dipersamakan dengan aliran kepercayaan seperti yang berkembang di tanah Jawa. Salah satunya adalah kepercayaan para tonaas walian: Shemalesung itu.
Namun sayang kelompok ini tak berlanjut seiring meninggalnya sang tonaas, apalagi beliau sudah memeluk ajaran kekristenan selama menghayati ajaran leluhur ini. Namun patut disyukuri bahwa beberapa tahun terakhir ini ada yang menggiatkan kepercayaan Shemalesung sebagai agama alam yang percaya pada Sang Pencipta yang telah bersemayam dalam hati manusia yang merindu mewujudkan keutuhan dan kedamaian sejati dalam hubungan horisontal tata semesta batin individual dan sosial serta vertikal semesta alam.
"Pada saat manusia berbicara yang harmonis selaras dengan diri terdalamnya dan dengan sesama serta lingkungan sekitarnya, maka orang itu sudah menghayati agama Malesung." Kira-kira demikian jawaban tokoh dan praktisi bila ditanya apa inti kepercayaan mereka. Mohon dikoreksi bila keliru. Tampaknya ada banyak titik temu ya, bila kita kembali ke alam dan Tuhan penciptanya, apapun namanya. Bila sekarang ada aliran kepercayaan yang memilih menggunakan nama Agama Malesung, tentunya mempunyai tujuan luhur mulia untuk melestarikan nilai-nilai "Malesung", sebuah nama Minahasa lama secara geo-spasial wilayah (mawanua) dan sosio-kultural masyarakatnya (mahkaria).
Orang adat tak jarang masih salah paham dan karena itu dicurigai kaum agamawan (Kristiani), terkait penghormatan kepada arwah leluhur ini dalam tradisi ritual adat. Penghormatan arwah bukan berarti mesti mengandalkan dan menggantungkan kehidupan kita kepada para arwah leluhur lagi, apalagi pada kekuatan kegelapan.
Yang masih sesuai ajaran kristiani dan realistis adalah meneladani segala nilai kebaikan yang pernah mereka tunjukkan, berupa norma adat istiadat yang luhur mulia, karena itu kita sebut dengan hormat sebagai leluhur. Seperti tertulis: "Semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu." (Flp. 4:8) Dengan cara mengenang akan segala warisan dan kebaikan itulah kita menghormati bahkan memuji para leluhur, sebagaimana hormat kita kepada para pahlawan dan orang tua kita yang semasa hidup mereka memang pantas diteladani.
"Berbahagialah mereka yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah." (Mat. 5:8) Tidak ada manusia yang sempurna, karena itu kita hanya bisa berharap dalam kasih setia Tuhan semoga semua leluhur kita sudah dibebaskan dari kuasa dosa oleh rahmat Tuhan semata sehingga layak pantas melihat Allah kelak, dan generasi-generasi selanjutnya selalu berusaha dengan tulus murni menjadi pelaku Firman dan menyenangkan hati Allah sendiri dengan berusaha hidup suci.
Dengan cara penghormatan dalam terang iman dan Firman sendiri inilah, kita bukan saja terhindar dari kultus individu dan komunal leluhur, melainkan makin terjalin hubungan batin penuh kasih dengan "persekutuan para kudus" laksana malaikat pelindung bagi manusia menuju "kehidupan kekal" surgawi, dan sekaligus juga terbantu untuk tidak jatuh pada kekuatan kegelapan di luar manusia sendiri, dan bisa menghadapi segala kekuatan alam dan segala kuasa duniawi dengan sikap yang benar dan tepat, menjadi citra dan co-creator Allah sendiri, sebagai manusia ciptaan luhur yang sudah dibaharui dalam kuasa kemenangan jaya Yesus Kristus, sang Alfa dan Omega.
Kita bisa saja mendapat dorongan dan aspirasi yang kuat, yang melampaui kemampuan dan realitas inderawi biasa. Bukankah peradaban mulia justru berkembang dari sejumlah nilai tradisional yang menghormati orang tua dan generasi sebelumnya? Ada banyak kisah dan wejangan serta teladan yang diwariskan leluhur yang masih terus mendorong dan menarik masyarakat untuk terus bergerak ke arah yang lebih baik dan benar. Bahkan dalam banyak peradaban kuno, warisan yang dianggap bernilai ini mendapatkan bentuk yang disakralkan karena dianggap suci dan mulia, sebagai perwujudan dari sifat Sang Pencipta penguasa yang senantiasa memelihara.
"Bisa saja ada praktik adat yang mengandung sesuatu yang bertentangan dengan norma yang universal, seharusnya dikritisi, dan dikonstruksi dengan cara baru supaya nilai yang ada di dalamnya tetap lestari, dan kalau tidak punya nilai, harusnya ditinggalkan."
Demikian penegasan normatif Boseke menanggapi fenomena orang mengaku sebagai praktisi pahkampetan dalam ritual budaya Minahasa, sambil mengembalikan praktik ini kepada kebijakan dan kehendak baik para praktisi dan tokoh adat demi pelestarian budaya dari sisi nilai-nilai agung mulia para leluhur Minahasa.
I Yayat U Leos. (*)
Baca juga: Massa Tolak UU Omnibus Law Bentrok dengan Warga, Ambulans Dibakar hingga Kantor Partai Nasdem Rusak
Baca juga: Satu Dokter dan 3 ASN Ditangkap karena Lakukan Praktik Pungli Rapid Test
Baca juga: Pesantren Dapat Bantuan Rp 2,6 Triliun