Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Tajuk Tamu Tribun Manado

Ada apa dengan Mitologi Lumimuut-Toar? Tawaran Dekonstruksi ala Boseke

Boseke sampai pada kesimpulan bahwa tiga tokoh utama yang dikisahkan dalam mitologi tentang leluhur pertama Minahasa sesungguhnya ada dalam sejarah.

net/egi.data.kemdikbud.go.id
Patung Toar-Lumimuut di Komo Luar, Manado. 

Ketiga, menurut Bung Denni, mesti dibedakan antara fakta historis dan kisah mitologi itu sendiri. Semestinya kisah mitologi dimaknai sebagai sebuah kisah yang tidak sedang berbicara tentang fakta historis dan karena itu mestinya bukan gamblang tentang inses, misalnya, tapi ada sesuatu yang hendak disingkap dan ditegaskan.

Keempat, walaupun bukan kisah faktual historis, mitos itu tidak sama dengan dongeng atau legenda khayalan belaka. Mitos itu merupakan kisah sakral sepaket dengan kepercayaan dan apa yang dikultuskan dalam sebuah ritus upacara tertentu. Denni setuju dengan Bode yang menjelaskan bahwa sejarawan diajarkan bahwa mereka mesti netral menempatkan suatu persoalan secara proporsional, dan karena itu selama tidak ada referensi yang dianggap lebih sahih, maka mitologi tetap menjadi salah satu sumber yang dijadikan pegangan, tentu dengan pembacaan dan penafsiran yang kontekstual sesuai kaidah ilmiah.

Jadi, pembacaan dan penafsiran kisah ini bukan sebagai kisah dengan tujuan moral tertentu dari kacamata agama, misalnya, tapi mesti dibingkai dan dimaknai sebagai sebuah kehidupan yang hadir dalam jagad mikro dan makro kehidupan manusia itu, yang masih sangat awal dalam peradaban manusia. (bdk teori evolusi dan perkembangan manusia dari manusia peramu, nomaden, sampai menetap dalam suatu wilayah).

Bahwa mesti ada awal dari segala sesuatu yang ada, dan peranan roh empat mata angin yang dihadirkan oleh kuasa suci (otoritas) yang diperankan oleh sang Karema sebagai imam yang menjalankan ritual suci, penguhubung dengan sang pencipta. Lalu kehidupan awal itu ditempatkan dalam gambaran yang sangat dekat dalam hubungan ibu dan anak, bukan dalam arti kecenderungan seksual dan pro-natal belaka, tapi suatu hubungan intim yang intens batiniah yang tak terpisahkan.

Sangat mungkin bahwa kisah mitologis ini termasuk yang bukan asli lagi, alias termasuk dalam kisah hybrid yang sudah bercampur dengan teori atau cerita lain, yang dalam ungkapan intelektual Kawanua, Audy Wuysang, bahwa kisah ini sudah dipengaruhi oleh kisah Adam dan Hawa sebagai manusia pertama yang dikisahkan dalam kitab Kejadian, sejak orang Minahasa atau pengarang kisah-kisah ini mulai mengenal kekristenan. Hal ini masuk akal karena dokumentasi tertulis bisa sangat mungkin baru mulai dibuat pada saat tradisi tulisan mulai diajarkan pada zaman kolonial yang berbaur juga dengan pengajaran agama yang bersumber Alkitab. Pengaruh pendidikan dan agama diperkirakan juga sudah masuk dalam diri para Tonaas Walian dalam menuturkan kisah-kisah itu, apalagi karena antusiasme masyarakat pada umumnya pada dunia pendidikan sekolah yang mengharuskan mereka wajib memeluk agama Kristen.

Kembali ke pertanyaan awal, dari manakah sumber pengetahuan tentang leluhur Minahasa ini? Kalau benar memang bersumber dari pengisahan dari para Wailan dalam sebuah acara ritual kultus dalam upacara kematian, maka perubahan-perubahan termasuk penyimpangan bisa saja sudah terjadi, atau sudah ada yang hilang atau berubah ungkapan dan makna. Maka perlu penelusuran kembali tradisi lisan sejauh tertulis dan terekam, bahkan yang masih bisa ditemukan dalam upacara-upacara adat yang dibawakan tonaas Walian.

Bila perlu sebuah terobosan baru, misalnya dengan memakai teori dekonstruksi atas apa yang sudah ada karena masalah sumber dan kisah itu sendiri meninggalkan banyak pertanyaan dan kebingungan dan keengganan tertentu bahkan tuduhan dan penghakiman moral tertentu. Dekonstruksi berarti mengandaikan sebuah proses destruksi tertentu sambil kemudian membuat proses konstruksi berdasarkan apa yang masih dianggap berguna untuk menghasilkan sebuah bangunan baru tentang leluhur Minahasa itu sendiri.

Host memberikan pertanyaan kepada dua narasumber, bagaimana pendapat Anda berdua tentang temuan terbaru yang mengatakan bahwa Lumimuut dan Toar berasal dari negeri Han?

Buku Asal-usul Leluhur Minahasa Ungkap Kisah Toar-Lumimuut Bukanlah Mitos

Walau hanya disinggung sekilas dan tidak secara khusus membahas ini, namun kedua narasumber masih tetap bersifat wait and see, sebagaimana ilmuwan lainnya yang belum sependapat atau bahkan masih mempunyai banyak pertanyaan. Kiranya wajar dan proporsional saja menanggapi sesuatu yang sama sekali baru atau mengejutkan, mungkin seperti halnya banyak yang kaget karena ada seratusan versi hanya tentang satu kisah tentang leluhur Minahasa itu.

Terhadap problem sumber dan isi kisah mitologis yang ada sekarang itu, maka adalah sebuah langkah baru bahkan terobosan bila temuan terbaru oleh Weliam Boseke bisa ditawarkan sebagai salah satu upaya dekonstruksi itu.

Tapi mungkin saja Boseke kurang sependapat. Karena bagi Boseke, sependapat dengan Pinontoan dan Talumewo bahwa mitologi Toar Lumimuut adalah bagian yang tetap berguna untuk menelusuri siapa sesungguhnya leluhur Minahasa. Terkait leluhur Minahasa awal, Boseke sudah sampai pada kesimpulan bahwa tiga tokoh utama yang dikisahkan dalam mitologi tentang leluhur pertama Minahasa itu sesungguhnya ada dalam sejarah, yang bisa dilacak dan terkait dengan kisah nyata perang tiga negara di negeri Han kuno pada abad ketiga Masehi, yang berimbas pada pengungsian sebagian keluarga istana bersama dan tiba di "tuur in tana" atau pusat bumi sebagai tempat pertama bermukim (dalam bahasa Han: tu uxin dao na = tempat tiba dengan tidak sengaja), dan dibuktikan bahwa Lumimuut itu bukanlah yang melahirkan Toar. Toar adalah cucu dari kaisar besar Liu Bei dan Lumimuut adalah masih kerabat dekat Toar, yang secara level masih terhitung sebagai tante dari Toar.

Jadi tidak ada perkawinan ibu dan anak itu seperti dalam kisah mitologi. Mitologi itu bagi Boseke memang berguna walau bukan kisah persis sejarah. Dari kisah-kisah mitologi kuno yang ada dan bahasa keseharian yang masih bisa dilacak secara lisan maupun tertulis, Boseke berangkat dan tiba pada apa yang disebutnya temuan faktual tentang leluhur Minahasa, bukan teori belaka, seperti yang pernah ramai tahun 60-70-an bahkan sampai 2020 ini: dari Austronesia, Mongol, Filipina, Jepang, Yunan Selatan, bahkan sampai di Israel di Timur Tengah.

Penemuan ini diapresiasi dan didukung para ahli juga, misalnya Benni E Matindas, dalam bedah buku “Leluhur Minahasa” karya Boseke di Kalbis Institute Jakarta menjelaskan bahwa satu temuan bisa membantah seribu teori. Dan sejak dua tahun lalu tuntutan dan rekomendasi yang dihasilkan dalam bedah buku yang sama di FIB Unsrat, bahwa perlu lebih 200 kata eksis dalam perbandingan dua bahasa untuk dikatakan valid, dan itu sudah jauh dipenuhi oleh Boseke pada saat sedang menuntaskan buku keduanya yang khusus berisi sekitar 700 nama fam Minahasa yang sesungguhnya berisi bukan sekadar sinonim kata tapi ungkapan tentang sang Kaisar dan terkait kisah tentang siapa, apa, kapan, di mana, mengapa, dan bagaimana leluhur Minahasa itu sendiri. Ini termasuk temuan spektakuker karena mesti membandingkan dua bahasa dengan format yang berbeda antara monosilabel dan multisilabel, apalagi terkait sejarahnya yang sudah sangat kuno, yang butuh penelusuran yang panjang dan di sana sini ada banyak kebengkokan, keterpatahan, bahkan keterputusan, namun lagi-lagi kuncinya ada pada bahasa itu sendiri.

Dugaan saya, Weliam H Boseke akan berpegang pada apa yang sudah ada tentang bahasa itu sendiri khususnya, lalu langsung membuat rekonstruksi baru tanpa perlu melewati proses destruksi atau penghancuran pada apa yang sudah ada itu tanpa kehilangan jejak-jejak historisnya.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved