Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Ronny Sompie Calon Kuat Pjs Gubernur: Onibala hingga Liow Masuk Bursa

Lima kursi bupati dan wali kota di Sulawesi Utara akan lowong. Penghuninya mengikuti Pilkada Serentak 2020.

Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie Tombeg
TRIBUN MANADO/NIELTON DURADO
Ronny Sompie 

Memang birokrasi di daerah itu menjadi daya tarik bagi setiap calon apalagi incumbent untuk memanfaatkannya sebagai "mesin" untuk sosialisasi, kampanye supaya memperoleh suara sebanyak mungkin.

Hal ini dimungkinkan karena birokrasi ini memiliki struktur yang rapih sampai ke kelurahan dan lingkungan dan mudah untuk dikerahkan. Karena itu, pejabat harus netral dalam menjalankan kewenangan supaya juga pilkada dapat berjalan dengan baik.

Salah satu tugas yang terpenting bagi Pjs adalah kesuksesan pelaksanaan pilkada. Kesuksesan pilkada ini juga menjadi catatan penting atau track record bagi pejabat tersebut untuk karier ke depan. 

Pengamat politik Yossi Kairupan
Pengamat politik Yossi Kairupan (Istimewa/Internet)

Kairupan: Tugas Pejabat Sukseskan Pilkada

Pejabat Sementara (Pjs) Gubernur Sulawesi Utara dan lima bupati serta wali kota dipastikan segera mengisi kekosongan. Sebab, baik gubernur dan kepala daerah di Bolsel, Boltim, Minsel, Minut, Bitung diipastikan akan bertarung di Pilkada 9 Desember.

Pengamat politik Josef Kairupan menilai siapa yang bakal mengisi posisi Pjs harus berkompoten. Dikarenakan Pjs ada dasarnya memiliki tupoksi hampir sama dengan penjabat definitif. "Sebut saja dalam fungsi sehari-hari penyelenggaraan pemerintahan akan dipimpin Pjs hingga usai masa kampanye gubernur dan bupati wali kota selesai. Terlebih dalam menjalankan pengaturan/regulasi, pelayanan pada masyarakat, dan pembangunan," katanya, Senin (21/9/2020).

Akademisi Unsrat ini menyebut posisi Pjs tidak pernah sama persis dengan pejabat definitif. Dikarenakan untuk kewenangannya lebih terbatas, baik dalam ruang lingkup maupun keleluasaan. Namun sekalipun begitu posisi Pjs menjadi strategis terutama dalam kepentingan politik guna suksesnya penyelenggaraan pesta demokrasi.

"Hal tersebut tidak serta merta posisi strategis ini akan pula berimbas pada kepentingan politik salah satu kandidat. Karena sangat jelas regulasinya, seperti Undang-undang No 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP) batasan-batasan ini diatur, seperti dalam Pasal 34 ayat 2," terangnya.

Untuk itu, lanjut Kairupan, penunjukan Pjs harus murni demi kelangsungan kepemimpinan pemerintahan selama menghadapi pilkada. Menjadi kepanjangan tangan dari pemerintah pusat di daerah karena adanya prinsip tugas pembantuan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

"Penunjukan harus murni agar proses pemerintahan berjalan baik. Terlebih saat menghadapi pilkada," tukasnya. Kata dia, apakah lantas menjadi kepanjangan tangan untuk politik, perlu diterjemahkan terlebih dahulu, kepentingan politik dalam hal apa.

Karena, menurut Kairupan, jika kepentingan politik untuk mengawal dan menciptakan suasana demokrasi yang baik melalui pilkada jurdil, aman, tertib dan damai, pastinya menjadi keharusan bagi kepentingan politik Pjs.

"Namun sebaliknya jika nantinya ada keberpihakkan dari Pjs tersebut, apalagi sengaja ditunjuk dan ditempatkan sebagai Pjs untuk kepentingan politik tertentu seperti mengawal kemenangan salah satu paslon, dia bisa saja mengkhianati proses demokrasi,” ujarnya.

"Dimana dengan adanya keterlibatan langsung secara politis dari lembaga pemerintah mempengaruhi kredibilitas dan kewibaan pemerintah serta kepercayaan rakyat. Seharusnya hal ini tidak boleh terjadi, mengingat Pjs tersebut hakekatnya adalah ASN, sehingga terbebas dari warna politik tertentu," ujarnya. (ryo/dru/nie/crz/drp/mjr/hem)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved