Tajuk Tamu
'Gereja Rumah', Konstruksi Eklesiologi Hadapi Pandemi Covid-19
Dalam pengamatan Sovian rupanya ada fenomena elitisme tertentu dalam persekutuan gerejawi.
Salah satu kisah pengalamannya di wilayah Ternate Maluku Utara (mungkin dalam rangka penulisan novel sejarah, "Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa", 1983), budayawan ini menyaksikan bagaimana sebuah keluarga (ibu asal Manado) warga Gereja Protestan Maluku berdoa dalam rumah, setiap hari saat makan bersama dan ibadah bersama di rumah. Ini sangat menyentuh hati Romo Mangun dan menjadi salah satu pengalamannya yang bagus sehingga diangkat sebagai contoh praktik ideal dalam sebuah Gereja yang selalu dalam status diaspora (berziarah di dunia ini), dan dalam konteks Indonesia yang luas dan dalam banyak wilayah, kekristenan itu minoritas.
Bro Sovian kembali mengingatkan kita untuk melihat Gereja Keluarga dan bagaimana itu bisa diperkuat sebagai bagian utama yang strategis menyikapi sikon pandemi COVID-19 dan segala "virus" lainnya yang memaksa orang untuk kembali ke rumah, dalam keluarga, persekutuan terkecil dan terdepan, sel dan benteng terakhir Gereja dalam situasi tidak normal ini.
Walau memakai sub judul wacana dekonstruktif, tapi tentu bung Sovian tidak sedang mendikotomikan Gereja domestik itu dengan Gereja Persekutuan, malah tetap memandang penting dan strategis peranan Institusi dan struktur yang selama ini telah menjadi tiang penopang yang sah dan berwibawa karena tugas pokok dan peranan khas mereka.
Pasalnya, istilah dekontruksi itu sendiri dalam wacana filsafat mengandung dua aspek yakni destruksi dan konstruksi. Kita tentu tidak sembarang medestruksi sebuah praktik yang punya dasar yang sudah mentradisi dan sangat alkitabiah! Rekonstruksi yang benar dan berguna tentu tak bisa dibuat bila kita tinggal pada upaya destruksi. Destruksi pun tak mesti dengan menghancurkan total, walau sudah pasti ada yang dihancurkan tak terhindarkan.
Dan pada akhirnya Sovian mengajak kita berefleksi sejauh mana Gereja benar itu secara mendasar adalah persekutuan beriman yang dibangun oleh ikatan sebagai satu tubuh, satu baptisan, satu iman, satu Roh, satu Tuhan... (surat Efesus), bukan pertama soal yang lain, apalagi elitisme atau hirarkisme, synodeisme dan komunitarianisme yang justru dalam kecenderungan ekstrimnnya akan membelenggu dan menyesakkan jiwa orang beriman sendiri, bahkan menjadi sebuah hujat pada Roh Kudus.
Mungkin ini semangat konstruksi yang hendak ditawarkan Sovian, bukan hendak menyudutkan institusi dan pemimpin resmi tertahbis, dan tentu siapapun bisa menerima dengan damai, tanpa peperangan wacana teologi yang tak berguna, malah mungkin hanya menunjukkan ego pribadi untuk sekedar keluar dari masalah.
Mungkin ungkapan bahasa bung Benni E. Matindas - - yang mendalami dokumen tebal Vatikan II - - dalam satu status di dunia maya belum lama ini, bahwa banyak orang gemar membuat tautologi atau pengulangan yang tak perlu dengan teodisea sendiri yang justru makin menyudutkan Allah sendiri. Sovian Lawendatu tentu jauh dari maksud hati dan pikiran semacam itu. Justru beliau menyentak kita untuk memakai iman dan rasio sekaligus, untuk mencari dan menegaskan identitas dan habitus baru, dari apa yang sudah ada tertulis dan tersirat dalam Alkitab sendiri.
Dalam dunia teologi bahkan bahkan kita menemukan ada banyak pemikiran dan mashab, yang masing-masing punya kecenderungan dan perspektif yang berbeda, tapi sesungguhnya hanya menunjuk pada totalitas yang satu dan sama tentang kristianitas itu sendiri yang berakar dalam tradisi bangsa Israel yang menjadi locus sejarah keselamatan (agama wahyu atau abrahamic tradition); Allah menyatakan diri untuk pertama kalinya dalam dan melalui sebuah bangsa dengan identitas dan sejarah kehidupannya.
Konsep Gereja Rumah bukan segalanya, walau menjadi semakin terasa relevansi dan kemendesakannya menghadapi situasi pandemi 3-4 bulan terakhir ini entah sampai kapan.
Dalam sejarah kita bisa belajar membaca tanda zaman, misalnya silih berganti konsep dan praktik menghadapi masalah bahkan yang berpretensi sebagai satu-satunya yang benar dan mendapat legitimasi Ilahi...
Pada akhirnya kita mesti tunduk hanya pada Dia yang telah berfirman dan memberikan kasih karuniaNya yang tak terbatas waktu dan tempat, tak terbatas bidang dan level, tak dibatasi oleh apapun termasuk oleh pandemi dan virus yang tak kasar mata ini. Ada tertulis, Roh Allah berhembus kemana saja Dia mau.
Para ilmuwan dengan tradisi berpikir rasional obyektif sedang berlomba mencari obat dan cara menyembuhkan atau menghindar dari serangan menyakitkan dan mematikan ini.
Semoga para agamawan yang mengaku dan percaya pada Tuhan tentu saja sudah jelas apa yang mesti dibuat sesuai Firman Tuhan sendiri yang sudah selalu direnungkan dan menggerakkan serta menghasilkan banyak tindakan kesalehan dan cinta kasih termasuk dalam menyikapi sikon seperti ini, yang ditunjukkan oleh para ilmuwan kristiani dalam banyak tradisi. Bahkan banyak ilmuwan yang ateis dan agnostik berbalik kepada teologi (refleksi iman bersumberkan Firman) untuk menjelaskan konsep teoritis dan praktis secara kreatif untuk menghadapi problematikanya di dunia yang satu dan sama ini.
Misalnya filsuf aliran Marxis, Slavoj Zizek, yang membuat refleksi filosofis berdasarkan kata-kata dalam peristiwa paskah, Yesus kepada Maria Magdalena: "Jangan Sentuh Aku!"... Rupanya menjadi judul bukunya: Noli Me Tangere, Touch Me Not. Bahkan info refleksi menarik ini pertama kali saya dapatkan dari budayawan penulis Reiner Emyot Ointoe, saudara Muslim yang tergabung dalam WAG PIKG, Perhimpunan Intelektual Kawanua Global baru-baru ini.
Solo Dios basta (Tuhan saja cukup)
I Yayat U Leos wo Lenas (tebarkan kebaikan dan kesucian)
/stefir
(Tribunmanado.co.id/rilis)
BERITA TERPOPULER :
• Mantan Jubir SBY Andi Mallarangeng Tertawa Singgung Jokowi Turun Langsung ke Mal, Sindir Jubirnya
• Kabar Baik Bagi Masyarakat, Pihak Pemerintah Berikan Kemudahan Ini Menjelang Penerapan New Normal
• Sebut SBY Tanpa Jubir Lancar Jaya Atasi Krisis, M Qodari: Pak Jokowi Tanpa Jubir Jadi Masalah Besar
TONTON JUGA :