Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Ramadan 2020

Ramadan dan Misi Kemanusiaan

Seiring berjalannya waktu, dari saat ke saat Ramadan makin memperlihatkan sifatnya yang hakiki

Penulis: Dewangga Ardhiananta | Editor: David_Kusuma
istimewa
Sudarwin Jusuf Tompunu SIP 

Penulis : Sudarwin Jusuf Tompunu SIP (Ketua Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Sulawesi Utara)

TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO - Seiring berjalannya waktu, dari saat ke saat Ramadan makin memperlihatkan sifatnya yang hakiki, bahwa bulan Ramadan adalah bulan selektivitas penghambaan.

Makin ke sini makin terukur kualitas penghambaan. Satu persatu dari kelompok yang berseteru soal salat di masjid atau di rumah mulai mendapatkan tempat berdasarkan porsi dan motif yang diperjuangkan. Semua itu bergulir begitu cepat sehingga tanpa terasa seperti ditawarkan cermin diri untuk melihat ke dalam, dan lebih ke dalam lagi.

Sejauh yang bisa dipresentasekan, kualitas seorang hamba berdasarkan sabda Nabi Muhammad, bahwa salatlah yang akan menjadi penentu di hari perhitungan, maka jelaslah duduk perkara apabila sholat baik, maka baik seluruh amal perbuatan. Apabila salat rusak, maka rusaklah seluruh amal. Terminologi kalimat ini tentu saja bukan saja didasarkan pada gerak tuma’ninah di ruang ritual.

Pemahaman semacam ini biasanya hanya akan melahirkan kontra-produktif dengan potensi insaniah yang ditetapkan sejak bermula. Sebagai akibat dari pembatasan pemaknaan semacam ini, lahirlah melankolisme agama di ruang infiradi (privat). Jejak kesalehan semcam ini biasanya hanya dirasakan oleh yang bersangkutan tanpa memberikan efek sosial.

BREAKING NEWS: Empat PDP Covid-19 Meninggal Dunia

Dari dasar pemikiran ini, para mufassir mengambil jalur radikal soal definisi salat sebagai esensi moralitas publik. Sebut saja Syaikh Muhammad Abduh, dalam tafsir al-Manar beliau mengambil posisi yang lebih menantang ketika menafsirkan al-Quran surat al-Ma’un.

Di Indonesia, Prof Hamka dan Dr M Quraish Shihab juga mengambil posisi yang sama. Keseluruhan konsep mereka tentang pendusta agama tercakup dalam kemampuan mengerjakan salat namun salatnya tidak tercermin dalam perilaku sosial. Tajam secara ritual dan tumpul dalam tataran eksekusi sosial.

Muhammad al-Ghazali dalam Nahw Tafsir Mawdhu’i li Suwar al-Qur’an al-Karim menulis: “Penganut sejati Agama sangat peka terhadap nasib sesama yang kurang beruntung, maka ia pun bangkit menolong sesamanya...”

Hal ini perlu mendapat perhatian bersama bahwa di situasi covid, perlu ada kesadaran bahwa di atas segala hal tehnis tentang bantuan-bantuan, masih ada hal lain yang lebih mendasar yaitu misi kemanusiaan.

Dengan kata lain, covid bukan sekedar tentang Rp 600 ribu per bulan, atau tentang rivalitas di atas pentas, atau soal PSBB, namun lebih dari semua itu, segala kebijakan di ruang publik hendaknya mengacu kepada kesepahaman tentang kedaulatan ekonomi dan keadilan sosial.

Ini penting untuk kita bicarakan agar antara hukum publik dan edukasi sosial hendaknya berjalan seimbang. Artinya, pemutusan mata rantai virus corona tidak boleh dilakukan dengan justeru menyambung mata rantai persekusi. Agaknya perlu dipahamkan juga bahwa ancaman sosial budaya tidak kalah berbahaya.

Medy Lensun Pimpin Rapat Paripurna Penutupan Masa Sidang Pertama dan Pembukaan Masa Sidang Kedua

Kesadaran semacam ini dipandang perlu agar gema ramadan memiliki nasab spiritual dengan kehidupan sehari-hari. Disadari atau tidak, bulan ramadan terus bergulir seiring berjalannya waktu, dan perdebatan soal salat di rumah atau di masjid dengan sendirinya akan menuntun kita kepada kesadaran kolektif bahwa agama palsu tercipta oleh keteledoran di ruang ibadah yang tidak termanifestasikan dalam gerak sosial.

Dalam uraian bebasnya kita bisa berkata bahwa masker, desinfektan, lockdown, social distancing, physcaldistancing, dan PSBB adalah sekelumit terjemahan dari makna tehnis agama di ruang publik. Hal ini selaras dengan isyarat al-Ma’un bahwa orang yang berdiri dalam sholatnya, namun hanya bermakna sahun (lalai), yura’un (riya-setoran publik), mengumpul barang berguna (bakhil) sehingga menghardik anak yatim (yadu’u), dan tidak menganjurkan memberi makan fakir miskin, inilah yang kemudian dimakna sebagai para pendusta agama.

Renungan sosiologi agama, muhasabah intelektual, atau apapun istilah yang akan kita gunakan, semua itu pada akhirnya akan mengantarkan kita hingga ke ujung Ramadhan, bulan mulia ini.

Di ujung sana, berdasarkan tuntunan agama, bahwa mereka yang berpuasa dengan penuh iman dan tanggungjawab berhak bertakbir sebagai tanda kemenangan.

Lalu untuk apa kita bertakbir jika dalam tanggungjawab sosial saja kita masih terlalu bernafsuh? Di dalam misi kemanusiaan, kita bersaudara secara biologist bahwa kita berasal dari Nabi Adam alaihisslam. Dalam situasi covid-19, kita saudara-saudara. (Ang)

Pemprov Sulut Sudah Salurkan 47.001 Paket Sembako ke Masyarakat Terdampak Covid-19

Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved