Tajuk Tamu
Satrio Wahono: Pemerintah dan Rakyat Tak Berwajah
Melihat tindak-tanduk pemerintah saat ini, banyak masyarakat tak habis pikir. Tadinya harapan masyarakat sempat melambung tinggi.
Rakyat sebagai masyarakat sipil pun dalam tataran filosofis sulit menampilkan wajah-nya sebagai persona liyan kepada presiden mengingat dalam tataran sosiologi rakyat kian tak berdaya apabila berhadapan vis-à-vis (frontal) dengan penguasa.
Mengapa demikian? Sebab, mekanisme saling memeriksa dan menyeimbangkan (checks and balances) seolah-olah terjadi antara pilar-pilar demokrasi, tapi secara hasil ternyata tidak banyak membawa manfaat bagi rakyat.
Kita sedang melihat lemahnya relasi antara pusat kekuasaan dan masyarakat sipil (civil society).
Sedikit sekali kekuatan alternatif yang berusaha membangun hubungan langsung antara negara dan rakyat.
Di tengah lowongnya kekuatan kewargaan alternatif itu, merujuk Olle Tornquist, hubungan antara negara dan rakyat akhirnya terjadi lewat mediasi kelompok-kelompok yang amat berkaitan dengan pasar dan kekuatan komunal. (Usman Hamid & AE Priyono, “Indonesia pasca-Reformasi” dalam Memperbaiki Mutu Demokrasi di Indonesia: Sebuah perdebatan, PUSAD Paramadina, 2012, hlm. 88).
Terciptalah kemudian segitiga aliansi kokoh antara negara, kekuatan komunal (SARA), dan pasar.
Ini menjadi kombinasi mengerikan yang terlihat dalam menguatnya penggunaan isu identitas di politik, bermainnya modal dalam segala kontestasi politik, dan kian perkasanya negara dalam berhadapan dengan rakyat.
Rakyat hanya menjadi jargon pemanis untuk melegitimasi kekuasaan dan segera ditinggalkan ketika legitimasi itu sudah diraih. Kembali, rakyat menjadi sosok anonim tanpa wajah yang dengan mudah ditinggalkan rezim pemerintah tanpa banyak rasa bersalah.
Karena itu, presiden sebagai etalase terdepan pemerintah yang punya tugas konstitusional untuk mensejahterakan rakyat seyogianya mampu menyalurkan kondisi tanpa beban elektabilitas masa depannya menjadi energi yang mampu mendobrak segala hambatan dalam upaya memperhatikan kepentingan rakyat.
Tanpa itu, Presiden sejatinya sedang menafikan makna eksistensial rakyat, sehingga rezim pemerintahnya di masa depan boleh jadi akan gagal menorehkan warisan (legacy) positif di masa mendatang. Semoga itu tidak terjadi! (banjarmasin.tribunnews.com)