Breaking News
Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Tajuk Tamu

Satrio Wahono: Pemerintah dan Rakyat Tak Berwajah

Melihat tindak-tanduk pemerintah saat ini, banyak masyarakat tak habis pikir. Tadinya harapan masyarakat sempat melambung tinggi.

Editor: Fransiska_Noel
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Presiden Joko Widodo (kiri) didampingi Wapres Jusuf Kalla (kanan) memberikan keterangan pers terkait rencana pemindahan Ibu Kota Negara di Istana Negara, Jakarta, Senin (26/8/2019). Presiden Jokowi secara resmi mengumumkan keputusan pemerintah untuk memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan Timur. 

Oleh:
Satrio Wahono
Sosiolog dan Magister Filsafat UI

TRIBUNMANADO.CO.ID - Melihat tindak-tanduk pemerintah saat ini, banyak masyarakat tak habis pikir. Tadinya harapan masyarakat sempat melambung tinggi terhadap pemerintahan saat ini.

Sebab, ada asumsi bahwa Presiden Joko Widodo sebagai wajah utama pemerintah bisa bertindak tanpa beban mengingat ia tidak perlu lagi memikirkan masalah keterpilihan pada pemilu berikutnya.

Namun alih-alih demikian, padahal pelantikan periode keduanya juga baru akan berlangsung 20 Oktober mendatang, Presiden Joko Widodo justru menggulirkan beraneka kebijakan kontroversial, seperti: rencana memindahkan ibukota, menaikkan iuran BPJS Kesehatan, mencabut subsidi listrik bagi pelanggan 900 VA, dan kesan bahwa beliau mendukung rencana kontroversial revisi UU KPK yang ditengarai sebagian publik sebagai upaya melemahkan komisi anti rasuah tersebut.

Secara sosiologi politik, Jokowi kini bukannya lebih bebas bertindak, tapi justru tampak lebih terbelenggu.

Setidaknya, Rizal Mallarangeng mengakui bahwa sebagai Presiden, Joko Widodo tidak begitu saja bebas bergerak dalam melahirkan kebijakan, sebab ia harus mengarungi banyak kepentingan, termasuk dari kelompok pendukung sekitarnya (Rizal Mallarangeng, Dari Jokowi ke Harari, KPG, 2019, hlm. 15).

Apalagi, komposisi anggota barisan pendukung Joko Widodo saat ini berukuran kian tambun dengan banyaknya pihak yang dulu keras menentangnya kini justru menunjukkan gerak merapat.

Artinya, makin besar kemungkinan Presiden harus mengalokasikan porsi insentif yang lebih banyak bagi para penyokongnya.

Kesibukan Presiden Jokowi menengok pada kalangan elite adalah perwujudan tesis teoretis bahwa pemerintah dalam rangka mempertahankan stabilitas politik perlu melakukan pendekatan soft power, yakni dengan memasukkan kelompok-kelompok oposisi dalam infrastruktur politiknya (Marcus Mietzner, “Stagnasi Demokratik Indonesia”, dalam Merancang Arah Baru Demokrasi, KPG, 2014, hlm. 176).

Dari perspektif teori sumber kekuasaan, perilaku politik Jokowi dan pemerintah saat ini bisa digolongkan ke dalam tesis bahwa kekuasaan yang dipegang tidak selalu merupakan kekuasaan yang digunakan (Jeffrey Winters, “Oligarki dan Demokrasi di Indonesia” dalam Merancang Arah Baru Demokrasi, hlm. 203).

Banyak aktor politik yang bisa mengalangi inisiatif tindakan presiden dan actor penghambat paling utamanya adalah kaum oligark yang menjadi sangat berkuasa karena memiliki basis material berlimpah alias kekayaan.

* Rakyat tak berwajah

Tatkala Presiden terseret dalam pusaran kepentingan kaum oligark dan relasi kuasa berkisar hanya pada elit politik konservatif, wajar jika wajah terdekat yang terlihat oleh Presiden adalah wajah elit, bukan lagi wajah rakyat.

Merujuk filsafat etika Emmanuel Levinas, seorang pribadi ketika berhadapan dengan pihak liyan haruslah berperilaku seakan-akan ia menatap Wajah yang meniscayakan dirinya tunduk dan mengabdi pada Wajah tersebut (Lihat K. Bertens, Fenomenologi Eksistensial, Gramedia, 1986).

Oleh karena itu, ketika Presiden terlalu sering menatap elite oligarkis yang memiliki kepentingan menjalankan mekanisasi pertahanan aset kekayaan, maka Wajah rakyat di saat yang sama menjadi pudar sehingga kepentingan rakyat pun termarginalkan. Rakyat menjadi anonim, sehingga rakyat tidak lagi dianggap sebagai persona atau sosok yang patut diperhatikan.

Rakyat sebagai masyarakat sipil pun dalam tataran filosofis sulit menampilkan wajah-nya sebagai persona liyan kepada presiden mengingat dalam tataran sosiologi rakyat kian tak berdaya apabila berhadapan vis-à-vis (frontal) dengan penguasa.

Mengapa demikian? Sebab, mekanisme saling memeriksa dan menyeimbangkan (checks and balances) seolah-olah terjadi antara pilar-pilar demokrasi, tapi secara hasil ternyata tidak banyak membawa manfaat bagi rakyat.
Kita sedang melihat lemahnya relasi antara pusat kekuasaan dan masyarakat sipil (civil society).

Sedikit sekali kekuatan alternatif yang berusaha membangun hubungan langsung antara negara dan rakyat.

Di tengah lowongnya kekuatan kewargaan alternatif itu, merujuk Olle Tornquist, hubungan antara negara dan rakyat akhirnya terjadi lewat mediasi kelompok-kelompok yang amat berkaitan dengan pasar dan kekuatan komunal. (Usman Hamid & AE Priyono, “Indonesia pasca-Reformasi” dalam Memperbaiki Mutu Demokrasi di Indonesia: Sebuah perdebatan, PUSAD Paramadina, 2012, hlm. 88).

Terciptalah kemudian segitiga aliansi kokoh antara negara, kekuatan komunal (SARA), dan pasar.

Ini menjadi kombinasi mengerikan yang terlihat dalam menguatnya penggunaan isu identitas di politik, bermainnya modal dalam segala kontestasi politik, dan kian perkasanya negara dalam berhadapan dengan rakyat.

Rakyat hanya menjadi jargon pemanis untuk melegitimasi kekuasaan dan segera ditinggalkan ketika legitimasi itu sudah diraih. Kembali, rakyat menjadi sosok anonim tanpa wajah yang dengan mudah ditinggalkan rezim pemerintah tanpa banyak rasa bersalah.

Karena itu, presiden sebagai etalase terdepan pemerintah yang punya tugas konstitusional untuk mensejahterakan rakyat seyogianya mampu menyalurkan kondisi tanpa beban elektabilitas masa depannya menjadi energi yang mampu mendobrak segala hambatan dalam upaya memperhatikan kepentingan rakyat.

Tanpa itu, Presiden sejatinya sedang menafikan makna eksistensial rakyat, sehingga rezim pemerintahnya di masa depan boleh jadi akan gagal menorehkan warisan (legacy) positif di masa mendatang. Semoga itu tidak terjadi! (banjarmasin.tribunnews.com)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Ketika Penegak Jadi Pemeras

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved