Tajuk Tamu
dr Ardiansa Tucunan : ‘Germas’ Sebuah Retorika atau Fakta Kesehatan?
Jika negara ingin menyehatkan masyarakatnya dengan berbagai program yang dicanangkannya, maka negara harus menyiapkan infrastruktur pendukung.
Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Fransiska_Noel
Sebuah retorika hanya akan berefek jika dia difaktualkan, bukan dipertahankan tetap menjadi retorika belaka. Kita berharap para stakeholder kesehatan yang harus memulai proyek besar dan jangka panjang ini.
Program ini hanya bisa diseriusi oleh mereka yang juga dalam kehidupan sehari-harinya melakukannya. Seorang kepala daerah atau kepala dinas kesehatan yang gaya hidupnya tidak mencerminkan Germas adalah batu sandungan bagi kebijakan itu sendiri, karena saya yakin dia tidak akan bisa mensukseskan gerakan moral ini karena dia sendiri tidak mampu melakukannya.
Demikian pula, dengan orang-orang yang bekerja di bidang kesehatan, yang tidak mampu menjalankan program ini, diyakini pula tidak akan bisa mendidik, mengajak dan menjalankan program ini dengan serius karena dia sendiri tidak bisa melakukannya.
Kita tidak bisa berharap banyak dari para pelaku kesehatan untuk melaksanakan program Germas ini jika mereka sendiri tidak bisa melakukannya.
Berapa banyak orang yang bekerja dalam bidang kesehatan, yang tidak terbiasa berolahraga dan beraktivitas fisik dengan memadai? Berapa banyak di antara kita para pelaku kesehatan yang jarang mengonsumsi sayur dan buah tapi sebaliknya makanan cepat saji?
Berapa sering para pelaku kesehatan menjadi alkoholik dan perokok berat? Itu semua akan menjadi batu sandungan buat kita dalam membantu program ini.
Efek dari ketidakmampuan kita mendukung program Germas dengan serius dalam beberapa tahun ke depan, adalah gerakan ini akan digagalkan oleh kita sendiri baik sebagai Pemerintah, Swasta maupun masyarakat.
Kita sudah terbiasa lama membuat program dan menggagalkannya. Ada ungkapan di Indonesia bahwa kita senang melanggar aturan dan regulasi yang kita buat sendiri, dan memang itu fakta di negeri ini. Kita terbiasa dengan beretorika tanpa mengaktualisasikannya.
Kita harus segera mengubah mindset ini kalau memang kita benar-benar ingin menjadi bangsa yang sehat.
Bangsa yang beradab, membuat satu kata dan perbuatan itu menyatu. Kita tidak ingin lagi merasakan dampak dari ketidakberdayaan kita sebagai pemerintah dan masyarakat yang tidak menyatu dalam satu tekad untuk memberdayakan diri sendiri melakukan yang terbaik demi kualitas hidup manusia kita.
Negeri ini harus melahirkan orang-orang cerdas dalam perbuatan dan pengetahuannya, bukan hanya sekedar pengetahuan saja.
Tidak perlu menerima pendidik dalam institusi kesehatan yang suka merokok seperti yang dilakukan di beberapa universitas di Jepang; tidak perlu memilih kepala daerah yang alkoholik karena dia adalah contoh dan teladan publik; tidak perlu menerima mahasiswa kesehatan yang masih suka hidup tidak sehat dengan merokok, alkoholik, tidak suka olahraga karena mereka adalah para pelaku dunia kesehatan yang akan mengajar dan mengedukasi publik; dan masih banyak rule of game yang boleh kita lakukan kepada instansi-instansi untuk mendorong mereka hidup sehat. Karena tanpa itu semua, kita tidak akan memperoleh para pekerja, pemerintah dan masyarakat yang sehat dalam semua aspek bukan hanya fisik.
Seruan moralnya adalah kita tidak boleh lagi menjadi bangsa yang sakit-sakitan karena saat ini kita berhadapan dengan Triple Burden Disease dan penyakit katastrofik yang menuntut negara menguras banyak energi akibat kita selalu menjadikan program hanya sebuah retorika belaka bukan action. Bergandeng tangan bersama menuju Indonesia yang sehat adalah sebuah keharusan bagi kita dan anak cucu kita. (*)