Tajuk Tamu
dr Ardiansa Tucunan : ‘Germas’ Sebuah Retorika atau Fakta Kesehatan?
Jika negara ingin menyehatkan masyarakatnya dengan berbagai program yang dicanangkannya, maka negara harus menyiapkan infrastruktur pendukung.
Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Fransiska_Noel
Oleh:
dr Ardiansa Tucunan MKes
Staf Pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat Unsrat Manado
TRIBUNMANADO.CO.ID - Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) yang dicanangkan pemerintah pusat lewat Kementerian Kesehatan tahun 2016 lalu, yang harus ditindaklanjuti oleh setiap daerah di Indonesia untuk dijalankan adalah sebuah gerakan moral dari perspektif kesehatan yang bertujuan untuk membangun kesadaran berperilaku hidup sehat untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang dimulai dari dalam keluarga.
Germas ini adalah suatu gerakan massal yang terdiri dari komponen-komponen antara lain melakukan aktivitas fisik, mengonsumsi sayur dan buah, tidak merokok, tidak mengonsumsi alkohol, memeriksa kesehatan secara rutin, membersihkan lingkungan dan menggunakan jamban.
Fokusnya ada pada 3 kegiatan utama yaitu melakukan aktivitas fisik 30 menit per hari, mengkonsumsi buah dan sayur, dan memeriksa kesehatan secara rutin.
Semua upaya kesehatan ini hanya bisa terlaksana dan didukung oleh masyarakat jika ada kolaborasi yang baik antara para stakeholder yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat.
Jika negara ingin menyehatkan masyarakatnya dengan berbagai program yang dicanangkannya, maka negara harus menyiapkan infrastruktur pendukung.
Sebagai contoh, jika fokus pada 3 program utama yaitu kegiatan seperti aktivitas fisik, maka pemerintah perlu menyiapkan tempat-tempat representative untuk olahraga dan berkumpulnya masyarakat; jika pemerintah menganjurkan konsumsi sayur dan buah, maka dinas dan swasta terkait perlu melakukan pengadaan secara kontinuitas sayur dan buah sehat yang hendak dikonsumsi publik; dan jika pemerintah menginginkan ada upaya secara rutin publik memeriksa kesehatannya, hendaknya pemeriksaan itu tidak menjadi mahal bagi mereka dan aksesibilitasnya perlu mendapat perhatian.
Artinya, program-program dalam Germas itu hanya bisa dilakukan jika ditopang dengan semua upaya yang difaktualkan, bukan hanya dengan masuk pada ruang publik lewat selebaran dan kampanye serta pemasangan baliho dan seremoni yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah.
Berkaca dari beberapa tahun lalu, setiap pencanangan yang dilakukan pemerintah seperti Indonesia Sehat 2010 yang dinyatakan gagal dicapai, MDG’s 2015 yang juga tidak mampu dicapai; maka penting sekali bagi pemerintah untuk kembali membuat terobosan, tidak hanya bermain pada level retorika yang menghipnotis masyarakat seolah program ini adalah program spektakuler, tapi membuatnya menjadi sebuah fakta konkret, dengan betul-betul menyeriusi ini pada level yang berbeda dengan melibatkan lintas sektor.
Saya pikir, jika program pemerintah ingin menyehatkan masyarakat hanya menggunakan pola pikir kesehatan, maka kita akan menuai kegagalan dalam implementasinya.
Sebaiknya dan memang sudah seharusnya, kita perlu melibatkan semua komponen lintas sektor untuk sama-sama mengatasi persoalan ini.
Dan program yang dicanangkan, bukan hanya dibatasi pada periode waktu tertentu tapi sepanjang waktu dan seumur hidup. Jangan ada lagi kebiasaan, menggantikan program yang baik jika pemerintahannya berganti.
Karena kita terkenal dengan sindrom ganti pemerintah ganti kebijakan, sehingga kebijakan baik yang sudah ada tidak bisa dipertahankan hanya karena egosentrisme dari pengambil kebijakan.
Setiap kepala daerah di Indonesia didesak untuk menjalankan program Germas yang ambisius ini dalam rangka meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia.
Jika masyarakatnya sakit-sakitan, tentu saja akan berdampak tidak baik bagi kualitas pembangunan Indonesia di semua sektor, sehingga Germas ini menjadi sebuah keharusan untuk dijiwai dan diaplikasikan, karena ini adalah bagian dari Revolusi Mental yang dicanangkan Pemerintahan Joko Widodo.
Sebuah retorika hanya akan berefek jika dia difaktualkan, bukan dipertahankan tetap menjadi retorika belaka. Kita berharap para stakeholder kesehatan yang harus memulai proyek besar dan jangka panjang ini.
Program ini hanya bisa diseriusi oleh mereka yang juga dalam kehidupan sehari-harinya melakukannya. Seorang kepala daerah atau kepala dinas kesehatan yang gaya hidupnya tidak mencerminkan Germas adalah batu sandungan bagi kebijakan itu sendiri, karena saya yakin dia tidak akan bisa mensukseskan gerakan moral ini karena dia sendiri tidak mampu melakukannya.
Demikian pula, dengan orang-orang yang bekerja di bidang kesehatan, yang tidak mampu menjalankan program ini, diyakini pula tidak akan bisa mendidik, mengajak dan menjalankan program ini dengan serius karena dia sendiri tidak bisa melakukannya.
Kita tidak bisa berharap banyak dari para pelaku kesehatan untuk melaksanakan program Germas ini jika mereka sendiri tidak bisa melakukannya.
Berapa banyak orang yang bekerja dalam bidang kesehatan, yang tidak terbiasa berolahraga dan beraktivitas fisik dengan memadai? Berapa banyak di antara kita para pelaku kesehatan yang jarang mengonsumsi sayur dan buah tapi sebaliknya makanan cepat saji?
Berapa sering para pelaku kesehatan menjadi alkoholik dan perokok berat? Itu semua akan menjadi batu sandungan buat kita dalam membantu program ini.
Efek dari ketidakmampuan kita mendukung program Germas dengan serius dalam beberapa tahun ke depan, adalah gerakan ini akan digagalkan oleh kita sendiri baik sebagai Pemerintah, Swasta maupun masyarakat.
Kita sudah terbiasa lama membuat program dan menggagalkannya. Ada ungkapan di Indonesia bahwa kita senang melanggar aturan dan regulasi yang kita buat sendiri, dan memang itu fakta di negeri ini. Kita terbiasa dengan beretorika tanpa mengaktualisasikannya.
Kita harus segera mengubah mindset ini kalau memang kita benar-benar ingin menjadi bangsa yang sehat.
Bangsa yang beradab, membuat satu kata dan perbuatan itu menyatu. Kita tidak ingin lagi merasakan dampak dari ketidakberdayaan kita sebagai pemerintah dan masyarakat yang tidak menyatu dalam satu tekad untuk memberdayakan diri sendiri melakukan yang terbaik demi kualitas hidup manusia kita.
Negeri ini harus melahirkan orang-orang cerdas dalam perbuatan dan pengetahuannya, bukan hanya sekedar pengetahuan saja.
Tidak perlu menerima pendidik dalam institusi kesehatan yang suka merokok seperti yang dilakukan di beberapa universitas di Jepang; tidak perlu memilih kepala daerah yang alkoholik karena dia adalah contoh dan teladan publik; tidak perlu menerima mahasiswa kesehatan yang masih suka hidup tidak sehat dengan merokok, alkoholik, tidak suka olahraga karena mereka adalah para pelaku dunia kesehatan yang akan mengajar dan mengedukasi publik; dan masih banyak rule of game yang boleh kita lakukan kepada instansi-instansi untuk mendorong mereka hidup sehat. Karena tanpa itu semua, kita tidak akan memperoleh para pekerja, pemerintah dan masyarakat yang sehat dalam semua aspek bukan hanya fisik.
Seruan moralnya adalah kita tidak boleh lagi menjadi bangsa yang sakit-sakitan karena saat ini kita berhadapan dengan Triple Burden Disease dan penyakit katastrofik yang menuntut negara menguras banyak energi akibat kita selalu menjadikan program hanya sebuah retorika belaka bukan action. Bergandeng tangan bersama menuju Indonesia yang sehat adalah sebuah keharusan bagi kita dan anak cucu kita. (*)