Pilpres 2019
Bukan Perwakilan Seluruh Ulama Indonesia, Sikapi Hasil Ijtima Ulama III, MUI: Menentang UU
Yusnar Yusuf menjelaskan, setiap warga negara Indonesia harus mematuhi peraturan perundang-undangan.
Slamet Maarif yang memegang jabatan Organizing Committee (OC) Ijtima Ulama dan Tokoh III, menjabat wakil ketua di BPN.
Sedangkan Yusuf Martak yang merupakan Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama sekaligus ketua panitia Ijtima Ulama dan Tokoh III, menjabat sebagai anggota dewan pengarah di BPN.
Hasil Ijtima Ulama jilid tiga yang mendesak Bawaslu dan KPU mendiskualifikasi Jokowi-Maruf Amin, sesungguhnya bukan hal baru.
Pada kontestasi Pilpres 2014 silam, Prabowo Subianto yang saat itu berpasangan dengan Hatta Rajasa, pun melakukan hal yang sama.
Kala itu, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) mendiskualifikasi pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Permintaan itu disampaikan melalui Mahkamah Konstitusi dalam sidang kedua Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (8/8/2014).
"Pasangan ini (Prabowo-Hatta) meminta MK memutus dengan amar memerintahkan termohon (KPU) untuk mendiskualifikasi pasangan calon nomor urut dua (Jokowi-JK)," kata Maqdir Ismail, yang saat itu menjadi kuasa hukum Prabowo-Hatta, dikutip Wartakotalive.com dari berita Kompas.com berjudul Prabowo-Hatta Minta Jokowi-JK Didiskualifikasi tanggal 8 Agustus 2014.
Dalam permohonannya, tim hukum Prabowo-Hatta menyampaikan pendapatnya bahwa penetapan rekapitulasi hasil penghitungan suara Pilpres 2014 tidak sah menurut hukum.
Alasannya, suara Jokowi-JK dianggap diperoleh melalui cara-cara yang melawan hukum atau setidak-tidaknya disertai dengan tindakan penyalahgunaan kewenangan oleh KPU.
Selanjutnya, dalam perbaikan permohonan setebal 197 halaman yang diserahkan pada Kamis (7/8/2014) siang, tim hukum Prabowo-Hatta mendalilkan bahwa Pilpres 2014 cacat hukum karena berbagai alasan.
Salah satunya, perbedaan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) faktual sebagaimana hasil rekapitulasi KPU pada 22 Juli 2014 dengan SK KPU No 477/Kpts/KPU/13 Juni 2014.
Selain itu, kuasa hukum Prabowo-Hatta menduga KPU beserta jajarannya melanggar peraturan perundang-undangan terkait pilpres, di antaranya UU Nomor 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dan UU Nomor 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu.
Juga, Peraturan KPU Nomor 5, Nomor 18, Nomor 19, dan Nomor 20, serta Peraturan KPU Nomor 21/2014 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara dan Penetapan Hasil Serta Penetapan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden.
Prabowo-Hatta meminta MK menyatakan batal dan tidak sah keputusan KPU Nomor 535/Kpts/KPU/2014 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara dan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2014.
Setelah itu, Prabowo-Hatta meminta MK menyatakan perolehan suara yang benar adalah yang dicantumkan dalam berkas gugatan, yakni pasangan Prabowo-Hatta dengan 67.139.153 suara dan pasangan Jokowi-JK dengan 66.435.124 suara.