Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Bumi Karema: Sebuah Resensi atas Karya Rose Kampoong

Rose Kampoong memilih judul buku "Bumi Karema". Dan mengapa memilih judul ini, karena dikatakan Karema adalah ‘yang membuat bumi’.

ISTIMEWA
Rose Kampoong diabadikan bersama para penari. 

Oleh:
Ambrosius M Loho M.Fil
Dosen LB Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sam Ratulangi Manado
Pegiat Filsafat-Estetika

“@Bumi Karema” adalah tajuk utama peluncuran buku (foto) karya Rose Kampoong yang diselenggarakan di Ballroom Flores Hotel Borobudur Jakarta, Rabu 27 Maret 2019. Berjubelnya undangan pada acara ini menunjukkan bahwa karya ini menarik untuk disimak. Banyaknya undangan yang hadir menunjukkan pula bahwa ada sesuatu yang fenomenal yang dihadirkan pada waktu itu.

Demikian juga para ‘performer’ yang didatangkan secara khusus dari Tanah Nyiur Melambai Sulawesi Utara, yakni Grup Kolintang Fantastic Prima Vista, pimpinan ‘Master’ Stave Tuwaidan, tampil memukau ketika mengantar para tamu-undangan memasuki ballroom. Selanjutnya mereka juga tampil penuh atraktif dalam kemasan yang kolaboratif dengan piano (keyboard), mengiringi lagu pembuka "Opo Wana Natase" yang dibawakan oleh Rose Kampoong, sang penulis buku.

Ketika mencoba ‘mengutak-atik’ lebih dalam isi buku, buku ini memang sebuah kumpulan foto dengan narasi-narasi yang minim. Namun dari foto-foto ini, tampak sekali makna penting di dalamnya, bahwa kekayaan Tanah Nyiur Melambai tidak bisa dipandang sebelah mata. Dari foto ini membuktikan bahwa Tanah Nyiur Melambai mengandung sekian banyak kekayaan, di darat (gunung) bahkan di dasar laut. Termasuk sekian banyak seni dan budaya: Musik, tarian, adat kebiasan, dlsb. Semua diuraikan dalam buku yang didesain dengan amat menarik. Atas hal ini kami perlu memberi apresiasi setinggi-tingginya kepada penulis buku, Rose Kampoong.

Beberapa poin perlu diuraikan di sini, dan menjadi perhatian penting kita pembaca/pengamat buku ini. Pertama, ‘prolog’. Prolog buku ini bertolak dari mahakarya N Graafland, berjudul “Minahasa: Negeri, Rakyat dan Budayanya”. Dari mahakarya inilah, Rose Kampoong memilih judul buku "Bumi Karema". Dan mengapa memilih judul ini, karena dikatakan Karema adalah ‘yang membuat bumi’ (Graafland 1991:84).

Kedua, kami melihat penulisan buku ini sangat memanfaatkan teknologi yang canggih, terutama bidang teknologi pengambilan gambar. Dan dengan ditunjang oleh teknologi yang tinggi ini, Rose Kampoong, mampu mewujudkan dengan baik hasil karyanya. Tak bisa dielakkan, majunya teknologi pengambilan gambar yang tampak dari buku foto ini menegaskan eksistensi dari Rose Kampoong. Saya menyebutnya karya yang ‘fenomenal’ dari seorang ‘insider’.

Dalam pengembangan kebudayaan, teknologi sangat berpengaruh. Teknologi juga menjadi unsur universal, karena mampu meningkatkan semangat untuk hidup, terlebih mempermudah manusia dalam menghidupi dunianya. (Sihotang 2018: 155). Penegasan ini bermaksud bahwa dalam pengembangan kebudayaan (sekurang-kurangnya model pengembangan kebudayaan seorang Rose Kampoong), teknologi menjadi asupan energi penting, terutama berkaitan dengan proses sosialisasi tentang kekayaan budaya termasuk alam yang ada di tanah Nyiur Melambai.

Bahkan jauh sebelumnya, tujuan teknologi menurut Aristoteles adalah digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan menghadirkan sesuatu yang praktis, yakni dapat diterapkan untuk mengolah alam dan lingkungan demi kemajuan hidup manusia secara pribadi dan kelompok. (Ibid, hlm.157).

Seiring dengan itu, ada pula sains yang seiring sejalan dan bergerak bersama teknologi. Kehadiran teknologi yang berdasar pada teknik (Yunani: techne-keterampilan, seni, dll.), mempermudah hidup manusia secara individu dan sosial. Kehadiran teknik juga selalu memberi warna baru bagi kehidupan individu dan masyarakat. Dengan fungsi inilah teknik hadir sebagai bentuk spiritual, karena menjadi penggerak bagi pribadi dan masyarakat pada umumnya. (Ibid.)

Maka dalam konteks ulasan buku ini, kami melihat bahwa penggunaan teknologi dan sains amat kental dalam karya Rose Kampoong, karena di dalamnya ditampilkan teknik yang menyatu dengan sains, serta keterampilan seorang penulis, dalam pengambilan gambar-‘capture’ (tangkapan). Maka di dalamnya saya dapat mengatakan Rose Kampoong telah menunjuk dan membuka kepada dunia kekayaan sumber daya alam dan sumber daya manusia Tanah Nyur Melambai-Sulawesi Utara, dengan menarik. Sebut saja capture foto seputar Minahasa, Bolaang Mongondow, Nusa Utara.

Di sisi lain, hemat kami, Rose Kampoong juga mencoba mengomunikasikan sebuah pesan terdalam dari apa yang dia temukan ketika berada dalam peziarahan pengalamannya selama di Tanah Nyiur Melambai. Tentang komunikasi lewat gambar, sebagaimana diketahui, dalam penelitian sebelumnya, media sejenis gambar, foto atau lukisan, mempunyai fungsi menyampaikan pesan. Sebuah komunikasi tidak akan berjalan tanpa bantuan sarana penyampai pesan atau media. Dengan bantuan sarana penyampai pesan itu, realita dalam bentuk gambar, bisa kita ketahui.

C Leslie Martin (1968) mengatakan bahwa: “One picture is better than a thousand words”. Bahasa lisan dan tulisan memiliki keterbatasan di samping kelebihan-kelebihan yang dimilikinya. Bahasa lisan dan tulisan mengundang imajinasi dengan perbedaan-perbedaan interpretasi visual. Rentang interpretasi sangat tergantung pada intelegensia dan latar belakang, serta pendidikan seseorang saat menerima informasi tersebut. Gambar melengkapi bahasa lisan dan tulisan, dalam kaitan menjelaskan keberadaan suatu obyek. Gambar memiliki kemampuan memaparkan lebih rinci dan membatasi rentang interpretasi. (http://puslit.petra.ac.id/journals/design/).

Dalam dunia modern, gambar memiliki peran yang sangat besar, gambar membantu peran seorang desainer komunikasi visual, ahli-ahli keteknikan, juga setiap orang dalam masyarakat yang sangat kompleks seperti sekarang ini. Menggambar merupakan upaya mengkomunikasikan isi pikiran. Ide atau gagasan yang diwujudkan dalam diagram dan gambar akan memudahkan orang untuk menguraikan, menjelaskan, dan memaparkan gagasannya. Sajian visual yang demikian, adalah representasi informasi melalui ekspresi visual. Informasi yang biasanya berupa kata dan karakternya diwujudkan secara konkrit melalui obyek dan rupa (shape). Suasana, atmosfer, dan skala suatu konsep atau ide yang sulit dikomunikasikan dalam bentuk kata akan lebih jelas jika dipaparkan dalam bentuk gambar. Bentuk komunikasi dan penyajian semacam ini dapat menghilangkan celah terjadinya miskomunikasi. (Ibid.)

Dari paparan tentang komunikasi visual ini, dapat dikatakan peran besar dari Rose Kampoong, adalah memberi pembelajaran penting bahwa setiap gambar mampu mengubah persepsi kita tentang Tanah Nyiur Melambai-Sulawesi Utara, melalui gambar-foto. Lewat buku foto ini, ketersembunyian kekayaan Tanah Nyiur Melambai bisa diekspose dan bahkan dikomunikasikan oleh Rose Kampoong. Inilah sumbangsih terbesar dari Rose Kampoong.

Catatan penting dan perlu untuk menjadi catatan kita bersama adalah bahwa hal itu akan semakin menarik, jika narasi atas gambar atau foto ini sama dominannya. Penerima informasi, pengamat, bahkan dunia luar butuh narasi yang lebih panjang yang, pada saat yang sama menegaskan arti dan makna gambar-foto tersebut. Karya fenomenal dari seorang ‘insider’. Selamat Rose Kampoong.

Rose Kampoong adalah nama lain dari Deonisya Ruthy Bambang Waskito, mantan Ketua Bhayangkari Sulawesi Utara, Istri Irjen Bambang Waskito. (*)

Baca: Kisah Barista Pembuat Kopi Jokowi di Jarod: Bangga Lihat Presiden Minum Kopi Sambil Tersenyum

Baca: Cagar Alam Tangkoko Rumah Bagi Yaki dan Tarsius

Baca: MUI Bantah Keluarkan Fatwa Haram, Golput di Pilpres 2019

Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Ketika Penegak Jadi Pemeras

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved