Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Polisi Tangani 239 Kasus Buzzer: Sebar Cuitan Twitter via Facebook dan IG

Kementerian Komunikasi dan Informartika melihat fenomena buzzer pada tahun politik dalam sudut pandang yang sah-sah saja.

Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
facebook
ilustrasi facebook 

TRIBUNMANADO.CO.ID, JAKARTA - Kementerian Komunikasi dan Informartika melihat fenomena buzzer pada tahun politik dalam sudut pandang yang sah-sah saja. Artinya, buzzer ada sebagai pihak yang ikut meramaikan keriuhan tahun politik.

"Tapi kalau cara bekerjanya dengan cara black campaign, menciptakan hoaks menjelek-jelekkan orang lain, itu yang kami harus peringatkan bahwa pihak tersebut bakal terjerat UU ITE," kata Pelaksana Tugas Kabiro Humas Kemekominfo, Ferdinandus Setu kepada Tribun.

Seperti diketahui, pada tahun 2018, Mabes Polri mencatat kejahatan di dunia maya atau siber yang erat kaitannya dengan profesi buzzer ini berjumlah cukup banyak.

"Sejak 2018, kejahatan dunia maya terutama kasus hoaks dan pencemaran nama baik di seluruh Polda di Indonesia mencapai 239 kasus," kata Karopenmas Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Dedi Prasetyo.

Angka 239 tersebut, merupakan angka akumulasi yang terdiri atas 220 kasus pencemaran nama baik dan 19 kasus hoaks. "Setelah kami melakukan berbagai penangkapan, ada kecenderungan trennya memang agak menurun. Namun jika dibandingkan di bulan yang sama antara tahun 2018 dan tahun ini, tetap lebih tinggi kasusnya pada tahun ini," kata Dedi.

Para buzzer yang ditangkap kepolisian, bermacam-macam dalam hal struktur dan juga latar belakang.  Periwira tinggi bintang satu itu pun mengambil contoh dua kasus kejahatan siber yang sudah ditangani Dirtipid Siber Polri, yakni Saracen dan Suara Rakyat23.

"Saracen itu kan terstruktur. Kalau yang Suara Rakyat 23 ini individu. Buzzer-buzzer itu ada kreatornya. Kreator ini, bisa merangkap buzzer dalam memviralkan beberapa konten, dan narasi, atau gambar, dan kemudian diproduksi dan disebarkan lagi oleh buzzer-buzzer yang lain," kata Dedi.

Buzzer-buzzer yang kasusnya ditangani kepolisian memiliki latar belakang pendidikan yang rendah dengan rentang usia banyak di atas 40 tahun. Karena tingkat pendidikan rendah itulah, waktu bermain atau memproduksi konten hoaks sangatlah banyak

Admin Suara Rakyat23 berinisial JK yang pada 2018 lalu ditangkap Tim Siber Polri, misalnya, dikatakan Dedi, merupakan orang yang pendidikannya bahkan tak mencapai sarjana. "Tapi dia ini juga hebat, bisa bikin desain dan narasi. Dia membohongi sekian banyak orang, menghasilkan uang jutaan, meskipun tingkat pendidikannya rendah," kata Dedi.

Akan tetapi, di Pemilu 2019 kali ini yang penyumbang suara juga diwakili oleh generasi milenial, konten-konten hoaks yang disebar buzzer tak mempan bagi mereka.

"Mereka ini sebagian besar tidak terkontaminasi oleh hoaks atau konten-konten asal. Apalagi mahasiswa-mahasiswa, jarang sekali yang terpapar berita bohong atau hoaks," ujar Dedi.

Sebar Cuitan Twitter via Facebook dan IG

Andi, buzzer, mengungkapkan, dalam praktiknya, buzzer memainkan semua jenis lini masa media sosial saat beraksi. Twitter misalnya digunakan untuk membuat konten baru. Sementara untuk penyebaran, menggunakan platform Facebook lebih diutamakan.

"Kalau Pilkada, Twitter masih oke. Tapi ini Pilpres, ya pakai Facebook yang jangkauannya lebih luas," jelas Andi, seorang Buzzer yang sudah berkutat di dunia maya sejak 2011 itu kepada Tribun, pekan lalu.

Dia menjabarkan, pengguna Twitter memiliki kecenderungan lebih memahami konteks, dan biasanya mereka terpelajar. Konten baru akan disebar di platform berlogo burung tersebut. Sementara platform Instagram, pengguna adalah anak muda dan kekuatan hashtag (#) memiliki pengaruh signifikan. Tetapi, buzzer memiliki kesulitan sendiri menyebar info melalui IG, karena harus memakai Meme yang disertakan.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved