Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Jokowi Dituduh Uraikan Data Salah Saat Debat Capres, Simak Kebenarannya

Presiden Joko Widodo (Jokowi) jadi ramai diperbincangkan akibat kesalahan data yang ia sampaikan dalam debat capres kedua Pilpres 2019

Editor: Rhendi Umar
KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG
Pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 1, Joko Widodo dan Maruf Amin memberikan penjelasan saat debat pilpres pertama di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Kamis (17/1/2019). Tema debat pilpres pertama yaitu mengangkat isu Hukum, HAM, Korupsi, dan Terorisme. 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Presiden Joko Widodo (Jokowi) jadi ramai diperbincangkan akibat kesalahan data yang ia sampaikan dalam debat capres kedua Pilpres 2019 pada Minggu (17/2/2019).

Bahkan akibat hal tersebut tagar #JokowiBohongLagi bergema di jagat media sosial.

Ada ada beberapa data yang dianggap salah disampaikan oleh Jokowi dalam debat capres.

Pertama, bapak dari Kaesang dan Gibran itu dianggap salah terkait tak adanya kasus kebakaran hutan dalam 3 tahun terakhir.

Kedua, suami dari Iriana Jokowi itu dianggap salah ketika menyampaikan bahwa tak ada sengketa pembebasan lahan dalam pembangunan infrastruktur.

Hal ini pun kemudian dibahas di acara Indonesia Lawyers Club Terbaru (ILC Terbaru) edisi 19 Februari 2019, tadi malam.

Baca: Plafon Gedung RSUD Sengaja Dilubangi

Baca: Jokowi Tengah Malam Kunjungi Nelayan, Fadli: Kalau Cuma Datang Doang Sih Gampang Aja

Dalam acara itu pengamat Kebijakan Fiskal, Yustinus Prastowo, membahas terkait data yang disampaikan Jokowi.

Yustinus menyampaikan alasan bahwa data yang disampaikan Jokowi bukan salah, tetapi hanya keliru.

Yustinus memulai dengan menyampaikan bahwa apa yang disampaikan Jokowi dalam debat adalah data yang sifatnya eksplanasi, atau penjelasan.

"Jadi ada klaim kebijakan, ada klaim capaian, lalu diberikan data sebagai suplemen," kata Yustinus dalam acara ILC terbaru.

"Jadi data yang disampaikan Pak Jokowi bukan sebagai data basis material analisis," ujar Yustinus.

"Akan menjadi keliru dan merugikan ketika Pak Jokowi mengatakan data soal kemiskinan, ketimpangan, dan itu keliru," ujar Yustinus.

Komentar Yustinus sempat dipotong Fadli Zon yang menganggap ucapan Yustinus sama saja membolehkan sebuah data disampaikan dengan salah.

"Saya jelaskan perbedaan data dulu. Ini data keliru, bukan data bohong," kata Yustinus kepada Fadli Zon.

"Kalau soal data salah, Pak Rizal Ramli juga pernah salah saat twit soal kemenkeu akan keluarkan bon di bulan maret. Lalu salah. Twitnya kemudian dihapus oleh beliau sendiri," ujar Yustinus.

"Pak Prabowo juga pernah salah soal selang di RSCM. Itu juga tidak tepat. Artinya kita harus letakkan pada porsi sebenarnya," ujar Yustinus.

Kemudian Yustinus menjelaskan dari konteks ilmu ekonomi dimana data tidak dapat dipotong 1 tahun saja.

"Kalau klaimnya tidak ada itu menjadi tidak tepat. Tapi kalau klaimnya menurun itu tepat,"ujar Yustinus.

"Lalu komparebility. Menilai itu membandingkan. Dibandingkan dengan data sebelumnya, dengan negara lain, da nbenchmark. Itu untuk menilai sebuah klaim atau data. Jadi masih bisa dipahami sebagai explainatory," kata Yustinus.

Masalah Prabowo

Berikutnya terkait tuduhan Jokowi menyerang pribadi, Yustinus beranggapan hal tersebut salah.

Menurut Yustinus, para calon pemimpin di negara maju bahkan selalu membuka SPTnya ke publik.

Makanya, kata Yustinus, bagi calon pemimpin tak ada lagi kata rahasia.

"Jadi yang mau jadi pemimpin poliitk jangan bicara soal kerahasiaan lagi," ujar Yustinus.

Menurut Yustinus, masalah justru ada di pihak Prabowo lantaran klaim Prabowo.

"Yang jadi masalah adalah Pak pabowo setiap saat mengklaim bangsa ini sangat timpang, ada pemusatan kepemilikan yang luar biasa," ujar Yustinus.

"Dan jargonnya adalah keadilan sosialmewakili wong cilik. Tapi di saat bersamaan memiliki lahan yang luas," ucap Yustinus.

"Artinya sejak data ini terbuka, legitimasi pak prabowo sebagai moral unutk mengklaim ketimpangan sebagai jargon politik itu sudah gugur.

Keunggulan Jokowi di Debat Capres Kedua

Berikutnya Yustinus menyampaikan beberapa keunggulan Jokowi terhadap Prabowo di debat kedua Pilpres 2019.

Keunggulan Jokowi, antara lain :

1.Jokowi unggul dalam penguasaan panggung sekaligus menunjukkan bahwa pak prabowo ternyata banyak tak tahu apa yang telah dikerjakan pemerintah.

2. Jokowi sukses menunjukkan Prabowo pemimpin yang mungkin cocok untuk masa lalu, bukan untuk masa depan, sebab environment dan auranya tidak terlalu cocok dengan idiom-idiom dan persoalan-persoalan milenial.

Simak komentar pengamat Yustinus Prastowo selengkapnya di video ini :

Baca: Fadli Zon Minta Jokowi Meminta Maaf karena Paparkan Data Salah di Debat Capres

Baca: Polisi Gandeng FBI Ungkap Pelaku Pembunuhan Siswi SMK Bogor

Daftar Klaim Jokowi yang Dinilai Salah

Sementaraitu, dirangkum dari Kompas.Com, Ini daftar klaim dan pernyataan Jokowi saat debat Capres kedua yang tak sesuai fakta dan data.

Kebakaran Hutan dan Lahan

Calon presiden nomor urut 01 yang juga petahana, Joko Widodo, menyatakan bahwa pemerintah yang dipimpinnya berhasil mengatasi kebakaran hutan dan lahan dalam tiga tahun terakhir.

"Dalam lingkungan hidup, kebakaran lahan gambut tidak terjadi lagi dan ini sudah bisa kita atasi. Dalam tiga tahun ini tidak terjadi kebakaran, hutan, kebakaran lahan gambut. Itu adalah kerja keras kita semua," kata Jokowi, dalam debat yang berlangsung Minggu (17/2/2019).

Benarkah pernyataan itu?

Berdasarkan data Direktorat Pengendalian Kerusakan Gambut di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, memang terjadi penurunan luas wilayah kebakaran hutan dan lahan.

Menurut data Sipongo yang merupakan Karhutla Monitoring System, terdapat 14.604,84 hektar lahan yang terbakar pada 2016.

Angka ini kemudian berkurang menjadi 11.127,49 hektar pada 2017 dan 4.666,39 hektar pada 2018.

Data Kementerian LHK, pada 2015 hingga 2017 telah terjadi penurunan jumlah hotspot sebesar 93,6 persen.

Penurunan itu dari 70.961 hotspot pada 2015 menjadi 2.440 hotspot tahun 2017. Pada 2015, tercatat area terbakar seluas 2.611.411 hektar, kemudian pada 2016 seluas 438.363 hektar, dan pada 2017 seluas 165.484 hektar.

Kemudian, pada 2018 atau empat hari sebelum pelaksanaan Asian Games 2018 ditemukan titik api terbanyak di Provinsi Riau berjumlah 90 titik.

Selain itu, ada 13 titik di Sumatera Selatan, 27 titik di Bangka Belitung, 22 titik di Sumatera Utara, 10 titik di Sumatera Barat, 4 titik di Provinsi Jambi, dan 3 titik di Lampung.

Adapun, menurut data Kemudian, peneliti dari lembaga lingkungan hidup Auriga, Iqbal Damanik mengatakan bahwa tidak benar kalau tidak ada kebakaran hutan dan lahan dalam tiga tahun terakhir.

"Dalam 2 tahun terakhir terjadi kebakaran dan indikasinya dengan titik panas. Dicatat oleh KLHK, bahwa pada tahun 2017 saja setidaknya 11 ribu hektar masih terindikasi terbakar," ucap Iqbal.

Menurut data Auriga, kebakaran hutan dari tahun ke tahun sebagai berikut: 2015-2016: 261.060 hektar 2016-2017: 14.604 hektar 2017-2018: 11.127 hektar

11 Perusahaan Tersangka

Calon presiden nomor urut 01, Joko Widodo memaparkan bahwa ada 11 perusahaan yang dijadikan tersangka dan dikenai sanksi sebesar Rp 18,3 triliun dalam tiga tahun terakhir.

"Kebakaran lahan harus diatas dengan penegakan hukum yang tegas. Ada 11 perusahaan yang dikenai sanksi Rp 18,3 triliun," ujar Jokowi dalam debat kedua Pilpres 2019 pada Minggu (17/2/2019).

Berdasarkan data dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), sejak 2015 hingga saat ini, setidaknya sudah terdapat 171 sanksi administrasi dan 11 gugatan perdata, serta 510 kasus pidana terkait kebakaran hutan.

Namun, belum ada satu pun putusan tersebut yang dieksekusi oleh pengadilan.

Dilansir dari Greenpeace, 10 dari 11 kasus gugatan perdata pemerintah terhadap perkebunan kelapa sawit terkait pembakaran, pengadilan memerintahkan ganti rugi dan pemulihan lingkungan senilai Rp 2,7 triliun.

Sementara, perkara perdata kesebelas merupakan kasus terbesar, yakni mencapai Rp 16,2 triliun terkait dengan pembalakan liar dilakukan sejak 2004 oleh Perusahaan Merbau Pelalawan Lestari.

Kesebelas perusahaan tersebut, yakni PT Kalista Alam (PT.KA), PT Bumi Mekar Hijau (PT.BMH), PT Palmina Utama (PT.PU), PT National Sago Prima (PT.NSP), PT Waringin Agro Jaya (PT.WAJ), PT Ricky Kurniawan Kertapersada (PT RKK), PT Jatim Jaya Perkasa (PT.JJP), PT Merbau Pelalawan Lestari (PT.MPL), PT Surya Panen Subur, dan PT Waimusi Agroindah (PT.WA).

Menanggapi ini, peneliti Auriga, Iqbal Damanik mengungkapkan bahwa meskipun 11 perusahaan telah dinyatakan bersalah dengan denda Rp 18,3 triliun dan telah inkrah, namun sebagian besar nilai tersebut tetap belum dieksekusi.

Selain itu, pemerintah juga masih belum dapat mengatasi perusakan lingkungan yang masih saja terjadi, terlepas dari kasus kebakaran hutan.

"Penangangan kasus pencemaran yang ditangani selama ini jauh dapat dikatakan masih sangat minim ketimbang intensitas pelanggaran hukumnya," kata Iqbal.

"Dalam 3 tahun terakhir hanya 13 kasus yang ditangani, jauh di bawah penanganan yang dilakukan terhadap kasus pembalakan liar dan kejahatan lingkungan lainnya," ujar dia.

Tak Ada Konflik Pembebasan Lahan

Calon presiden nomor urut 01 yang juga petahan, Joko Widodo menyatakan, hampir tidak ada konflik dalam pembangunan infrastruktur selama 4,5 tahun ini.

Hal itu ia sampaikan dalam debat kedua Pilpres 2019, Minggu (17/2/2019) malam saat menanggapi jawaban Prabowo saat menjawab pertanyaan mengenai infrastruktur yang tidak melibatkan masyarakat.

"Dalam 4,5 tahun ini hampir tidak ada terjadi konflik pembebasan lahan untuk infrastruktur kita. Karena apa, tidak ada ganti rugi, yang ada ganti untung," kata Jokowi.

Bagaimana fakta dari pernyataan Jokowi itu? Benarkah tak terjadi konflik dalam pembebasan lahan untuk infrastruktur?

Menurut Greenpeace, pada 2015 menunjukkan terjadinya konflik di masyarakat Batang yang terdampak pembangunan PLTU.

Sedangkan Direktur Pusat Penelitian Energi Asia, Adhityani Putri menyebut, konflik ini masih berlangsung hingga hari ini dan berujung pada gugatan bahkan pemindahpaksaan permukiman warga.

"Pembebasan lahan untuk pembangunan infrstruktur energi khususnya PLTU batubara menimbulkan konflik hebat di masyarakat. Contoh adalah kasus pembangunan PLTU Batang di Jawa Tengah yang berujung pada gugatan masyarakat," kata Dhitri.

"Sampai hari ini PLTU Batang masih menyisakan konflik pembebasan lahan. Hingga 2016, 71 orang masih menolak pindah, berakhir ‘dipindahpaksakan’," ujar dia.

Konflik lain terjadi pada proses pembangunan bandara baru Yogyakarta (New Yogyakarta Airport) di Kulon Progo.

Dalam pemberitaan Kompas.com Juli 2018, tercatat adanya warga yang tidak mengambil uang ganti rugi yang disiapkan pemerintah atas tanah mereka yang akan dibangun sebagai lahan bandara. mereka menolak penggusuran yang dilakukan.

Bahkan, warga yang sudah tidak memiliki rumah bertahan di area pembangunan bandara.

Mereka tinggal di pengungsian, baik di masjid atau tenda-tenda di dalam Izin Penetapan Lokasi (IPL).

Adapun, menurut catatan peneliti lembaga pemerhati lingkungan Auriga, Iqbal Damanik, masih banyak konflika yang terjadi.

"Sebanyak 208 konflik agraria telah terjadi di sektor ini sepanjang tahun 2017, atau 32 persen dari seluruh jumlah kejadian konflik," kata Iqbal.

Adapun, sekktor properti menempati posisi kedua dengan 199 konflik atau 30 persen. Posisi ketiga ditempati sektor infrastruktur dengan 94 konflik atau14 persen, disusul sektor pertanian dengan 78 konflik atau 12 persen.

"Dengan begitu, selama tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK (2015-2017), telah terjadi sebanyak 1.361 letusan konflik agraria. Sementara tahun 2018 konflik lahan terkait infrastrukut dicatat sejumlah 16 kasus," kata Iqbal Damanik.

Baca: Daftar Pemilih Sulut Bertambah Lagi 1.098 Orang

Baca: Bank SulutGo Datangkan Kasatker KPK, Bertekad Basmi Gratifikasi

Dana Desa

Calon presiden nomor urut 01, Joko Widodo menyampaikan klaimnya mengenai dana desa yang digelontorkan pemerintah di masa jabatannya.

Jokowi menyampaikan, selama tiga tahun, sebesar Rp 187 triliun digelontorkan untuk dana desa ini.

"Berkaitan dengan bidang infrastruktur. Kita tahu dalam tiga tahun ini, telah kita gelontorkan Rp 187 triliun dana desa ke desa-desa," kata Jokowi dalam debat yang berlangsung Minggu (17/2/2019) malam.

Benarkah pernyataan itu? Berdasarkan data dari situs resmi Kementerian Keuangan (Kemenkeu), alokasi dana desa pada tahun 2018 sebesar Rp 60 triliun.

Sementara, pada 2017, pemerintah menggelontorkan sebesar Rp 60 triliun.

Pada 2016, sebesar Rp 46,98 triliun digelontorkan untuk dana desa. Kemudian, pada 2015, pemerintah menganggarkan sebesar Rp 20,7 triliun.

Dengan demikian, total dana desa yang dialokasikan pemerintah sebesar Rp 187,68 triliun selama empat tahun. Cek Fakta Infografik: Cek Fakta Alokasi

Menurut Manajer Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Ervyn Kaffah, sejauh ini sebagian besar Dana Desa memang dibangun untuk membangun infrastruktur.

Namun, belum diketahui secara pasti apakah penggunaan dana desa itu berkontribusi besar untuk pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan.

"Banyak dari infrastruktur yang dibangun lebih berorientasi konsumtif alih-alih produktif. Pembangunan kantor desa, pagar kuburan, atau rabat gang umum ditemui," ujar Ervyn.

Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan http://wartakota.tribunnews.com/2019/02/20/ilc-terbaru-ini-penjelasan-lengkap-kenapa-data-jokowi-di-debat-capres-kedua-boleh-salah?page=all.

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved