Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Editorial

Pungli dan Keserakahan

Pungutan liar atau pungli tak dapat dimungkiri masih ada bahkan dibiarkan dan "disahkan" di sejumlah instansi pemerintah di Sulawesi Utara.

Editor: Fransiska_Noel
IST
Ilustrasi pungutan liar (pungli). 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Pungutan liar atau pungli tak dapat dimungkiri masih ada bahkan dibiarkan dan "disahkan" di sejumlah instansi pemerintah di Sulawesi Utara yang melayani warga dan pengusaha. Para oknum yang melakukannya memungut biaya di luar ketentuan dengan menipu orang-orang yang berurusan dengan instansi yang bersangkutan. Mereka menganggap orang-orang yang datang kepadanya bodoh karena tidak tahu peraturan.

Kamis, 16 Oktober 2014, kemarin Tribun Manado mengangkat dua realitas praktik pungli di Sulut. Pertama di unit pelayanan jembatan timbang, lainnya di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Manado. Oknum-oknum yang melakukannya begitu leluasa meminta uang kepada orang- orang yang berurusan dengan dua instansi pelayanan itu.

Di Jembatan Timbang Wangurer, Kota Bitung, misalnya, para sopir truk tetap harus membayar biaya di loket meski kenyataannya jembatan itu rusak; alat ukur berat tak berfungsi. Lain lagi di Jembatan Timbang Kawangkoan Bawah, Amurang, Kabupaten Minahasa Selatan, unit pelayanan itu sudah ditutup sejak enam bulan lalu. Anehnya, oknum yang tak bertanggung jawab tetap saja menarik biaya kepada sopir.

Di BPN, praktik pungli berbentuk biaya aneh yang sebenarnya tak ada dalam ketentuan. Disebutkan bahwa ada warga yang hendak mengurus sertifikat kepemilikan dari tanah warisan orangtua. Ternyata ada biaya pengumuman di koran yang disebut oleh oknum. Ada lagi biaya untuk membayar para pegawai BPN untuk bersumpah. Dari kasus ini jelas sang oknum begitu leluasa membohongi warga yang tidak tahu.

Dua kasus pungli di atas harus diberantas. Tapi hal itu susah terwujud bila praktik liar dan ilegal itu disetujui oleh para pemimpin di instansi tersebut. Bila pola pikir tamak atau rakus itu masih ada di hati dan otak mereka, yakinlah praktik itu tak akan berhenti kecuali aksi mereka tertangkap basah oleh petugas hukum.

Beberapa waktu lalu Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad mengeluarkan pernyataan tentang sikap tamak seseorang yang berperilaku koruptif. Pernyataan itu keluar sebelum KPK menetapkan Jero Wacik, kini mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, sebagai tersangka korupsi.

"Kalau menurut saya sendiri, rata-rata orang ini kan punya hasrat ya, punya hasrat ingin hidup bermewah-mewah, serakah. Itu bawaan manusia sebenarnya, tidak terkontrol," ujar Abraham  pada 2 September silam.

Keserakahan memang menjadi penyakit personal orang-orang berperilaku koruptif yang bisa mewabah di lingkungan kerja dan keluarga. Keingingan hidup bermewah-mewah selalu melandasi mereka menjarah milik orang lain bahkan milik bangsa ini. Tak ada malu karena mereka tidak menyadarinya dan sudah terbiasa dengan perilaku itu.(*)

Update terus informasi terbaru di www.tribunmanado.co.id

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Supercopy

 

Menjaga Muruah DPR

 

Parkir

 

"Merah Putih dan Valentine!"

 

Harga Diri Polisi! Masihkah Elok?

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved