Editorial
Perusak Sepak Bola Sulut
Apa yang begitu merusak sepak bola? Politik, itulah jawabannya.
TRIBUNMANADO.CO.ID - Apa yang begitu merusak sepak bola? Politik, itulah jawabannya. Itulah mengapa regulasi federasi sepak bola dunia atau FIFA yang diturunkan dalam aturan sepak bola tiap asosiasi atau nasional tidak mengizinkan campur tangan lebih jauh pemerintah yang notabene di dalamnya bercokol orang-orang politik. PSSI sebagai lembaga resmi sepak bola Indonesia tak lepas dari aturan ketat itu, bahkan hingga ke asosiasi-asosiasi tingkat provinsi.
Namun, politisi memang sering lihai. Ia pintar menyusup ke lembaga sepak bola nasional dan lokal hingga ke klub-klub bukan untuk sepak bola dan kemajuannya melainkan untuk kekuasaan. Politisi memanfaatkan olahraga populer tanpa batas-batas primordialisme itu untuk pencitraan dan popularitas dirinya.
Sepak bola Sulawesi Utara, seperti diberitakan Tribun Manado edisi Senin, 13 Oktober 2014, menghadapi gejolak. Ternyata ada dua kompetisi Liga Nusantara yang bergulir yang digelar oleh dua kelompok yang saling berlawanan. Saat kepengurusan Asosiasi PSSI Provinsi Sulut (Asprov) terbentuk, keduanya ada dalam satu rumah. Mereka bertekad dan penuh keyakinan menjalankan organisasi demi kemajuan sepak bola Sulut yang masih timbul-hilang.
Namun, belum setahun membina 'biduk rumah tangga' mereka bertengkar. Antarpengurus saling pecat dan tak mengakui; mereka cerai. Tak ada konsensus setelah itu hingga bergulirlah dua kompetisi Liga Nusantara Zona Sulut. Mereka saling klaim mendapat restu PSSI pusat. "Kami benar, mereka salah," begitulah isi hatinya.
Mereka tahu dan sadar konflik itu merugikan klub, kompetisi, pembinaan, dan pemain. Tapi mereka tak tahu dan tak jua sadar sepak bola Sulawesi Utara dan publiknya terpuruk. Bahkan tak ada niat untuk mereka menyudahi kisruh itu.
Kita belum lama mengalami prahara sepak bola nasional. FIFA bahkan nyaris menjatuhkan sanksi pembekuan terhadap PSSI dan sepak bola Indonesia. Saat itu kita melihat kentalnya permainan politisi yang bercokol di kepengurusan PSSI. Apakah hal yang sama terjadi di Asosiasi PSSI Provinsi Sulut?
Albert Mangantar, pemerhati dan praktisi olahraga di Sulut, menyebut konflik antarpengurus PSSI Sulut dasarnya adalah imbas dari kentalnya kepentingan pencitraan yang sebetulnya tak ada hubungan dengan sepak bola. "Memang cukup memiriskan ketika yang menempati posisi pengurus memiki agenda kepentingan di luar kepentingan sepak bola," ujarnya.
Menurut dosen Fakultas Ilmu Olahraga dan Kesehatan Unima ini, posisi pengurus sepak bola adalah magnet yang luar biasa bagi sebagian orang yang berorientasi di luar kepentingan sepak bola. Karena pada dasarnya cabang olah raga satu ini paling universal, yang memiliki penggemar terbanyak, sehingga ruang untuk kepentingan pencitraan sangat besar. "Akhirnya kepentingan sepak bola pun tidak lagi menjadi yang utama," ulas dia.
Kita bersyukur PSSI pusat masih memberi ruang bagi kedua kubu bertemu dan menyudahi kisruh ini. PSSI tak mau menjadikan pengurus Asprov Sulut seperti anak-anak yang harus diajarkan bagaimana memecahkan masalah.
Jika mereka tak berniat dan tak mau, merekalah perusak sepak bola Sulut.(*)