Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Internasional

Demi Kesehatan Mental, Anak di Bawah 15 Tahun di Denmark Bakal Dilarang Main Medsos

Denmark berencana melarang anak di bawah 15 tahun memiliki akun media sosial demi kesehatan mental.

TribunManado/Yes
ANAK DILARANG MAIN MEDSOS - Ilustrasi. Pemerintah Denmark mulai menaruh fokus pada kesehatan mental anak. Denmark berencana melarang anak di bawah 15 tahun memiliki akun media sosial. 
Ringkasan Berita:
  • Denmark bakal melarang anak di bawah usia 15 tahun pakai medsos demi menjaga kesehatan mental.
  • Desember 2025, Australia akan mulai melarang anak di bawah 16 tahun memiliki akun media sosial.
  • Studi menunjukkan 85-90 persen konten medsos anak tidak edukatif; dampak negatif termasuk penurunan prestasi akademik, paparan konten tidak pantas, dan ketergantungan digital.

 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Pemerintah Denmark mulai menaruh fokus pada kesehatan mental anak.

Denmark berencana melarang anak di bawah 15 tahun memiliki akun media sosial.

Langkah ini merupakan tindak lanjut seruan Perdana Menteri Denmark, Mette Frederiksen, dalam pidatonya di parlemen bulan lalu.

Seruan itu menekankan pembatasan media sosial bagi anak-anak karena kekhawatiran terhadap kesehatan mental mereka.

"Media sosial berkembang pesat dengan mencuri waktu, masa kecil, dan kesejahteraan anak-anak kita, dan kami akan menghentikannya sekarang," ujar Menteri Digitalisasi Caroline Stage Olsen, dikutip Reuters, Kamis (13/11/2025).

Analisis otoritas persaingan dan konsumen Denmark menunjukkan, pada Februari 2025, anak muda di negara Nordik menghabiskan rata-rata 2 jam 40 menit per hari di media sosial.

Baca juga: Jangan Abaikan, Ini Penyebab Dominan Terjadinya Gangguan Kesehatan Mental

Platform yang paling banyak digunakan anak-anak di Denmark antara lain Snapchat, YouTube, Instagram, dan TikTok.

Usulan larangan ini sudah disetujui oleh mayoritas partai di parlemen dan mendapat dukungan sebelum pemungutan suara resmi.

Australia Melarang Anak di Bawah 16 Tahun Gunakan Medsos Mulai Desember 2025

Sebelumnya, Australia telah lebih dulu merencanakan larangan serupa.

Mulai Desember 2025, Australia akan menjadi negara pertama yang melarang anak di bawah 16 tahun menggunakan media sosial.

Larangan itu tertuang dalam UU Online Safety Amendment.

Perusahaan teknologi diberi waktu satu tahun untuk menyesuaikan diri, dengan tenggat 10 Desember 2025 untuk menonaktifkan akun anak di bawah umur

Perdana Menteri mengatakan, preferensi yang ia pilih adalah memblokir pengguna yang berusia di bawah 16 tahun.

“Saya ingin melihat anak-anak meninggalkan gawai mereka dan pergi ke lapangan sepak bola, kolam renang, dan lapangan tenis,” kata Albanese.

Pemimpin partai kiri-tengah itu mengatakan, pemerintah Australia ingin anak-anak benar-benar memiliki pengalaman nyata dengan orang-orang yang nyata.

"Karena kami tahu bahwa media sosial menyebabkan kerusakan sosial. Ini adalah momok. Kami tahu bahwa ada konsekuensi kesehatan mental atas apa yang harus dihadapi oleh banyak anak muda,” katanya kepada lembaga penyiaran nasional ABC.

Pemimpin oposisi konservatif Australia Peter Dutton menyatakan juga mendukung batas usia yang diusulkan Pemerintah.

“Setiap hari penundaan membuat anak-anak muda rentan terhadap bahaya media sosial dan sudah waktunya untuk mengandalkan perusahaan teknologi untuk menegakkan batas usia,” katanya.

Dampak Media Sosial dalam Kehidupan Generasi Muda

Dosen Fisipol Unhas, Aswar Hasan, mengungkap soal dampak media sosial dalam kehidupan generasi muda.

Melalui rubrik "Opini Aswar Hasan" ia mengungkap, secara umum hanya sekitar 10-15 persen isi pesan media sosial yang bersileweran di sekitar kita mengandung nilai edukasi atau tutorial.

Artinya, ada setidaknya 85-90 persen isi pesan di medsos masuk dalam kategori tidak mendidik yang banyak kita konsumsi itu.

Dengan komposisi konten seperti itu, maka menjadi sangat penting bagi kita agar lebih bijak dalam menggunakan medsos, terutama bagi generasi muda kita atau generasi alpha yang berusia di bawah 15 tahun atau yang lahir sekitar  2010 hingga 2024.

Mereka adalah generasi muda yang ditandai dengan ciri: a) sangat terhubung dengan teknologi dan terpapar layar digital sejak dini serta sangat terbiasa dengan perangkat elektronik seperti smartphone, tablet, dan komputer.

Setidaknya terdapat lima dampak negatif dari medsos terhadap kehidupan mereka,  yaitu;

Pertama, berdasarkan survei UNICEF (2020) menunjukkan bahwa satu dari lima anak mengalami tekanan mental akibat medsos di Indonesia.

Kasus kecemasan, depresi, dan gangguan kesehatan mental pada anak-anak dan remaja meningkat pesat.

Medsos terindikasi sebagai salah satu penyebab utama, dengan faktor utama adalah cyberbullying (bahwa anak-anak sering menjadi korban perundungan digital) dan perbandingan sosial: anak-anak merasa minder atau tidak percaya diri karena membandingkan diri dengan kehidupan "sempurna" yang mereka lihat di media sosial.

Fenomena kedua ini juga erat dengan istilah FOMO (fear of missing out), yakni melihat orang lain beraktivitas atau memiliki pengalaman sosial yang menyenangkan di medsos yang dapat menyebabkan perasaan ketinggalan atau terisolasi, yang memperburuk kesejahteraan emosional anak.

Kedua, terjadi penurunan prestasi akademik sebagai akibat dari tren anak-anak yang semakin banyak menghabiskan waktu di medsos, sehingga waktu belajar berkurang.

Faktor utamanya adalah kecanduan medsos, di mana anak-anak menghabiskan rata-rata 3-6 jam sehari di platform, seperti TikTok, Instagram, dan YouTube dan gangguan fokus: paparan konten singkat dan cepat membuat anak-anak lebih sulit berkonsentrasi.

Hal ini diperparah dengan kebiasaan scroll up and down yang sangat mudah dalam waktu yang sangat singkat.

Laporan KPAI (2021) menyebutkan bahwa 28 persen kasus penurunan prestasi akademis terkait penggunaan medsos secara berlebihan.

Hal ini juga didukung oleh hasil riset, yang menyatakan bahwa kita rata-rata kehilangan fokus setelah membaca 8-12 detik di media online, sebagai akibat dari medsos.

Belum lagi kebiasaan scanning di medsos, yang mendorong kebiasaan membaca sekilas (skimming) daripada memahami secara mendalam.

Semua ini akan mengakibatkan terjadinya penyakit baru, yaitu penyakit malas berpikir atau “pembusukan” otak yang sangat berbahaya untuk masa depan Indonesia.

Ketiga, eksploitasi dan paparan konten tidak pantas dan tidak bermutu (low quality) yang mengalami peningkatan signifikan dalam beberapa tahun terakhir.

Selain itu, anak-anak banyak mendapat paparan pada konten eksplisit, pornografi, dan kekerasan.

Faktor utamanya adalah algoritma medsos yang sering menyarankan konten tidak pantas dan minimnya pengawasan orang tua saat menggunakan medsos.

Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) melaporkan bahwa sebanyak 65 persen anak pernah terpapar konten negatif di medsos pada 2023.

Keempat, meningkatnya kasus cyberbullying atau perundungan digital terhadap anak-anak yang terus cenderung meningkat di Indonesia.

Faktor utamanya adalah komentar negatif atau ujaran kebencian di medsos dan penyebaran informasi pribadi tanpa izin.

Menurut laporan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2022, sebanyak 41 persen anak dan remaja pernah menjadi korban cyberbullying ini.

Kelima, menurut survei Katadata (2023), sebanyak 72 persen anak-anak Indonesia menghabiskan lebih dari empat jam sehari menggunakan medsos. Kondisi ini dapat mengakibatkan ketergantungan digital (digital addiction) yang dapat menjadi masalah serius (Yandra Arkerman dan Verry SH, Republika, 4/4/2025).

Langkah Antisipasi 

Media sosial memiliki pengaruh besar bagi generasi muda, baik positif maupun negatif. Untuk mengantisipasi dampak buruknya, diperlukan peran aktif dari berbagai pihak.

Orang tua dan guru perlu mengawasi serta membimbing anak dalam menggunakan media sosial secara bijak.

Literasi digital harus ditanamkan sejak dini agar generasi muda mampu menyaring informasi dan tidak mudah terpengaruh konten negatif.

Selain itu, pembatasan waktu penggunaan media sosial penting dilakukan untuk mencegah kecanduan.

Generasi muda juga perlu diarahkan untuk lebih aktif berinteraksi secara langsung, mengembangkan kreativitas, dan memanfaatkan media sosial sebagai sarana belajar, berbagi hal positif, serta pengembangan diri.

Setidaknya diperlukan 10 langkah dalam mengupayakan antisipasi, yaitu:

  1. Pendidikan literasi digital sejak dini.
  2. Penguatan karakter dan pengendalian diri.
  3. Pengawasan orang tua terhadap aktivitas online anak.
  4. Batasi waktu penggunaan media sosial.
  5. Dorong aktivitas positif di dunia nyata.
  6. Ajarkan berpikir kritis terhadap informasi.
  7. Bangun ruang dialog terbuka antara anak dan orang tua.
  8. Kampanye bijak bermedia sosial dari sekolah dan pemerintah.
  9. Bekali pendidikan Agama khususnya akhlak sejak dini.
  10. Terbitkan aturan terkait antisipasi dampak negatif media sosial.

(Kompas.com/Danur Lambang Pristiandaru/Sania Mashabi/Mahar Prastiwi/Tribun-Timur.com/Sudirman)

Sumber:

Ikuti Saluran WhatsApp Tribun Manado dan Google News Tribun Manado untuk pembaharuan lebih lanjut tentang berita populer lainnya.

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved