Media sosial menjanjikan koneksi tanpa batas, tetapi justru melahirkan kesepian. Sherry Turkle (2011) menyebut fenomena ini sebagai “alone together” — terhubung secara digital, tetapi terasing dalam kenyataan.
Narasi cinta menjadi penawar. Erich Fromm (1956) menulis: cinta adalah seni menghidupi relasi, bukan sekadar emosi sesaat. Dengan mencintai, manusia keluar dari isolasi egoistik. Ia membangun komunitas, bukan sekadar jaringan digital.
Melawan Algoritma
Algoritma kini mengatur apa yang kita baca, dengar, dan pikirkan. Ia bekerja dengan logika kalkulatif. Tetapi ia tidak bisa memahami kedalaman cinta.
Jean-Luc Marion (2007) menyebut: “Aku mencintai, maka aku ada” lebih radikal daripada “Aku berpikir, maka aku ada.” Sebab cinta adalah pemberian diri, bukan hitung-hitungan untung-rugi.
Dengan mencinta, manusia melawan logika mesin. Kita memilih mendengar sahabat meski tidak produktif. Kita menolong orang asing meski tidak menguntungkan. Inilah kebebasan yang tak bisa direduksi algoritma.
Implikasi Sosial-Etis
Menghidupi Amo, ergo sum berarti menggeser orientasi hidup:
Pendidikan harus membentuk manusia yang peduli, bukan hanya pintar berhitung.
Politik menuntut pemimpin yang mencintai rakyatnya, bukan sekadar membaca data survei.
Ekonomi menuntut perusahaan yang peduli pekerja dan lingkungan, bukan hanya laba.
Kehidupan pribadi menuntut relasi nyata, bukan sekadar interaksi virtual.
Cinta adalah fondasi baru etika sosial. Tanpa cinta, rasionalitas melahirkan ketidakadilan. Dengan cinta, rasionalitas menemukan maknanya.
Cinta sebagai Revolusi Sunyi
Di tengah dunia digital yang kaku, cinta tampak lemah: tidak efisien, sulit diukur, tidak menguntungkan. Namun justru di situlah kekuatannya.
Cinta adalah revolusi sunyi. Ia melawan tirani algoritma dengan empati. Ia mengoreksi logika mesin dengan kasih.
Amo, ergo sum mengingatkan kita: manusia sungguh ada bukan hanya karena berpikir, apalagi karena dihitung sebagai data. Kita sungguh ada karena mencintai. Dan selama masih mencintai, kita tetap manusia. (*)