Opini

Hilirisasi dan Kuasa Simbolik Bahasa

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

OPINI - Tulisan opini oleh Dosen IAIN Manado/Pragmalinguis, Ardianto Tola.

Oleh :
Ardianto Tola
(Dosen IAIN Manado/Pragmalinguis)  

Ditengah ramainya wacana pembangunan nasional, satu kata yang semakin akrab di telinga publik adalah “hilirisasi”. Dalam debat Capres dan Cawapres pada momentum pemilu lalu, kata ini muncul nyaris di setiap ivent debat.

Kini, kata ini akrab terucap pada pidato pejabat negara khususnya bertema ekonomi, laporan media, hingga dokumen kebijakan. 

Hilirisasi bukan hanya menggambarkan proses ekonomi, yakni memaksimalkan nilai tambah dari sumber daya alam, tetapi juga memperlihatkan bagaimana bahasa, dalam diam-diam, bekerja sebagai instrumen ideologi dan kekuasaan.

Kata-kata seperti hilirisasi menyiratkan bahwa bahasa bukanlah sistem yang netral atau murni teknis. Sebaliknya, ia adalah produk sosial dan politik, yang terbentuk dan dibentuk oleh kekuatan-kekuatan hegemonik dalam masyarakat. 

Dalam hal ini, bahasa berfungsi sebagai representasi realitas yang dikonstruksi, bukan sekadar mencerminkannya (baca: Norman Fairclough, 2010). 

Bahasa digunakan untuk mengarahkan persepsi, membingkai realitas, dan bahkan membatasi cara berpikir masyarakat.

Konsep ini sejalan dengan pandangan Pierre Bourdieu (1991) tentang language as symbolic power, yaitu bahwa bahasa mengandung nilai-nilai sosial tertentu, dan penggunaannya dipengaruhi oleh distribusi kekuasaan dalam masyarakat. 

Ketika sebuah kata seperti “hilirisasi” didukung oleh institusi formal dan elite politik, kata tersebut memperoleh otoritas simbolik yang menjadikannya tampak wajar, sah, dan tak terbantahkan.

Dalam era digital seperti sekarang ini, bahasa dapat menjadi arena perjuangan makna, tempat di mana istilah-istilah tertentu diberi muatan ideologis sesuai kepentingan aktor dominan (baca: Jan Blommaert, 2005). 

Maka dari itu, mengkaji bentuk seperti hilirisasi bukan hanya soal morfologi, tetapi soal memahami bagaimana mekanisme kekuasaan bekerja melalui bahasa.

Bahasa Tidak Pernah Netral

Bagi sebagian orang, membahas bentuk kata seperti hilirisasi barangkali tampak sepele atau sekadar urusan linguistik. Namun, sosiolinguistik, ilmu yang mempelajari hubungan antara bahasa dan masyarakat, mengajarkan kita bahwa setiap bentuk bahasa adalah hasil negosiasi kekuasaan, ideologi, dan identitas. 

Bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga alat kontrol simbolik yang dapat membentuk cara berpikir kolektif (Norman Fairclough, 2010).

Hilirisasi berasal dari kata dasar hilir yang diberi akhiran -isasi, serapan dari bahasa Latin -ization. Secara morfologis, bentuk ini sah dan mengikuti pola afiksasi baku dalam bahasa Indonesia. 

Halaman
1234

Berita Terkini