Oleh:
Herkulaus Mety, S.Fils, M.Pd
Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng (STFSP) dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Manado
SAYA mencintai, maka saya ada.
Rasio yang Membeku
“Cogito, ergo sum” — Aku berpikir maka aku ada. Kalimat singkat René Descartes (1637) ini begitu mewarnai sejarah modernitas. Rasionalitas dijadikan dasar bagi identitas manusia, ilmu pengetahuan, hingga pembangunan peradaban.
Namun, warisan ini kini berbalik arah. Dunia digital yang lahir dari logika rasional berubah menjadi mesin besar yang mengekang manusia. Identitas kita dipersempit menjadi data: jumlah likes, algoritma preferensi, atau rekam jejak digital. Eksistensi direduksi menjadi angka, sementara relasi kemanusiaan tergerus.
Di tengah kekakuan ini, muncul koreksi filosofis yang subversif: “Amo, ergo sum” — Saya mencintai, maka saya ada. Sebuah ungkapan sederhana, namun menjadi revolusi etis di era digital.
Dari Cogito ke Amo
Jika berpikir adalah dasar eksistensi, apa jadinya saat mesin lebih mampu berpikir daripada manusia? Kecerdasan buatan (AI) sudah mengalahkan manusia dalam logika, analisis, bahkan kreativitas teknis.
Eksistensi manusia tidak bisa hanya diukur dari kemampuan berpikir. Mesin bisa berpikir, tetapi ia tidak bisa mencinta. Cinta adalah wilayah manusiawi yang tak tergantikan.
Martin Buber dalam I and Thou (1923) mengingatkan: relasi autentik manusia bukanlah “Aku-Itu” yang objektif, tetapi “Aku-Engkau” yang penuh keintiman. Dengan mencintai, manusia sungguh-sungguh hadir — tidak sebagai data, melainkan sebagai pribadi.
Kritik Etis terhadap Dunia Digital
Era digital melahirkan logika efisiensi yang dingin. Manusia dipandang terutama sebagai konsumen atau target pasar. Nilai kemanusiaan diukur dari produktivitas dan profit.
Logika ini berbahaya. Martha Nussbaum (2001) menegaskan bahwa pembangunan harus berorientasi pada kapabilitas manusia untuk hidup bermartabat, bukan sekadar efisiensi ekonomi.
Amo, ergo sum menjadi kritik etis: cinta melampaui kalkulasi. Seorang ibu tidak merawat anak karena efisien. Seorang relawan tidak menolong korban bencana karena menguntungkan. Mereka melakukannya karena cinta.
Narasi Humanis: Penawar Alienasi