Norma-norma lain terkait model penyelenggaraan pemilu ke depan pun harus disesuaikan dengan makna tersebut.
Pemilih Jenuh dan Tidak Fokus
Dari sisi pemilih, MK mempertimbangkan bahwa waktu penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan anggota DPRD yang berdekatan dengan waktu penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, juga berpotensi membuat pemilih jenuh dengan agenda pemilihan umum.
Bahkan, lanjut Wakil Ketua MK Saldi Isra, jika ditelusuri pada masalah yang lebih teknis dan detail, kejenuhan tersebut dipicu oleh pengalaman pemilih yang harus mencoblos dan menentukan pilihan di antara banyak calon dalam pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan anggota DPRD yang menggunakan model 5 kotak.
“Fokus pemilih terpecah pada pilihan calon yang terlampau banyak dan pada saat yang bersamaan waktu yang tersedia untuk mencoblos menjadi sangat terbatas. Kondisi ini, disadari atau tidak, bermuara pada menurunnya kualitas pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam pemilihan umum,” ujar Saldi.
Pemilu dan Pilkada Serentak
Seperti diketahui pada Pemilu dan Pilkada sebelumnya dilakukan serentak.
Soal Pemilu (Pemilihan Umum) diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, penyelenggaraan pemilihan umum baik Presiden, Wakil Presiden, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dilakukan secara serentak.
Hal ini merupakan tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14 Tahun 2013 untuk memperkuat sistem presidensial.
Pada 2024 lalu, Pilkada juga dilakukan serentak dimana pemilihan kepala daerah baik gubernur maupun wali kota dan bupati bersamaan waktunya.
Pilkada serentak 2024 lalu dilangsungkan serentak di 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com