TRIBUNMANADO.CO.ID - Aturan Pemilu dan Pilkada kini berubah lagi.
Namun lebih fokus pada waktu pelaksanaan.
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mulai 2029, Pemilu dan Pilkada kini tak lagi berlangsung serentak.
Baca juga: Akhirnya Terungkap Alasan KPU RI Gunakan Jet Pribadi Saat Pemilu 2024, Dibeber Ketua Moch Afifuddin
Artinya banyak kekurangan yang ditemui saat pelaksanaan Pilkada Serentak.
Kini semuanya akan dipisah pelaksanaannya, agar tidak mengganggu satu sama lain.
Masih banyak pertimbangan lain, hingga MK memutuskan hal tersebut.
Pelaksanannya harus ada jeda maksimal 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan.
Hal itu diputuskan oleh MK dalam sidang pembacaan putusan pada Kamis (26/6/2025) hari ini.
Berkaca dari pengalaman Pemilu dan Pilkada 2024, masih banyak masalah yang timbul akibat pelaksanaan yang serentak.
Seperti halnya tumpukan beban kerja penyelenggara pemilu hingga ancaman terhadap kualitas penyelenggaraan pemilu.
Selain itu, pelaksanaan yang berhimpitan juga berimplikasi pada partai politik.
"Terutama berkaitan dengan kemampuan untuk mempersiapkan kader partai politik dalam kontestasi pemilihan umum," kata Hakim Arief Hidayat.
Kini, MK menyatakan norma Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, serta Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai bahwa:
"Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi/kabupaten/kota serta gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota."
Dengan pemaknaan tersebut, MK menegaskan pelaksanaan Pemilu dan Pilkada secara serentak tidak bisa lagi dilakukan dalam satu waktu bersamaan.
Norma-norma lain terkait model penyelenggaraan pemilu ke depan pun harus disesuaikan dengan makna tersebut.
Pemilih Jenuh dan Tidak Fokus
Dari sisi pemilih, MK mempertimbangkan bahwa waktu penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan anggota DPRD yang berdekatan dengan waktu penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, juga berpotensi membuat pemilih jenuh dengan agenda pemilihan umum.
Bahkan, lanjut Wakil Ketua MK Saldi Isra, jika ditelusuri pada masalah yang lebih teknis dan detail, kejenuhan tersebut dipicu oleh pengalaman pemilih yang harus mencoblos dan menentukan pilihan di antara banyak calon dalam pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan anggota DPRD yang menggunakan model 5 kotak.
“Fokus pemilih terpecah pada pilihan calon yang terlampau banyak dan pada saat yang bersamaan waktu yang tersedia untuk mencoblos menjadi sangat terbatas. Kondisi ini, disadari atau tidak, bermuara pada menurunnya kualitas pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam pemilihan umum,” ujar Saldi.
Pemilu dan Pilkada Serentak
Seperti diketahui pada Pemilu dan Pilkada sebelumnya dilakukan serentak.
Soal Pemilu (Pemilihan Umum) diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, penyelenggaraan pemilihan umum baik Presiden, Wakil Presiden, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dilakukan secara serentak.
Hal ini merupakan tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14 Tahun 2013 untuk memperkuat sistem presidensial.
Pada 2024 lalu, Pilkada juga dilakukan serentak dimana pemilihan kepala daerah baik gubernur maupun wali kota dan bupati bersamaan waktunya.
Pilkada serentak 2024 lalu dilangsungkan serentak di 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com