Pelakunya bisa teman, guru, pelayan masyarakat, aparat keamanan, bahkan keluarga terdekat atau orang tua.
Tokoh agama yang mustinya melindungi yang tersisih, malah ikut - ikutan mendiskriminasi.
Baca: Akibat Pesta Miras, 4 Penyuka Sesama Jenis Diamankan Patroli Polresta Manado
Tribun Manado melakukan reportase tentang kehidupan kaum LGBT di Manado.
Terungkap kepedihan mereka yang selama ini tersembunyi rapat.
Bagaimana mereka terombang ambing antara menerima atau menolak orientasi seks yang berbeda, perasaan tertolak, minder, ingin bunuh diri dan yang paling tragis menggugat keadilan Tuhan setelah doa yang bercucuran air mata.
"Kami juga tak ingin dilegalkan, tapi mohon jangan tindas kami, kami juga manusia ciptaan Tuhan," kata
Boy - sebut saja demikian - seorang diantaranya kepada Tribun Manado di salah satu cafe, Senin (3/9/2018).
Boy bercerita mengenai perjalanan hidupnya yang penuh airmata. Kekerasan telah ia alami sejak TK.
"Saya dilecehkan, dianggap mahluk yang rendah, semua menghina saya, termasuk guru," kata dia.
Pengalaman di TK itu begitu traumatis bagi Boy. Perlu waktu dua puluh tahun baginya untuk membuka rapor TK nya.
"Guru TK saya tulis di rapor jangan banyak bermain dengan perempuan, " kata dia.
Baca: Kaka Slank Dukung Penyelamatan Pulau Bangka dari Tambang Bijih Besi, Begini Tanggapan PT MMP
Ia mengaku sudah merasakan perbedaan orientasi seksual sejak kecil.
Perbedaan itu makin terasa kala ia akil balik.
"Keluarga dan lingkungan katakan itu salah, tapi saya tak kuasa menolak orientasi itu," kata dia.
Frustasi, ia coba lari ke dunia malam. Tak ada kedamaian di sana.
Suatu hari, ia masuk ke gereja dan tersentuh dengan khotbah pendeta.