Opini
Universitas dan Jebakan Konflik Kepentingan
Perguruan tinggi di Indonesia beberapa waktu ini dikejutkan dengan temuan hasil riset yang menyatakan ada 13 kampus yang diragukan integritasnya
Penulis : Adi Tucunan (Staf Pengajar FKM Unsrat)
PERGURUAN tinggi di Indonesia beberapa waktu ini dikejutkan dengan temuan hasil riset dari Profesor Lokman Meho dari American University of Beirut yang menyatakan ada 13 kampus ternama di Indonesia yang diragukan integritasnya.
Temuan ini bagian dari telaah terhadap jurnal yang ditarik dari publikasi global karena tidak memenuhi standar kualitas yang diharapkan. Artinya ada pelanggaran terhadap metodologi, etika atau penulisan yang serius di sini. Bagaimana ini bisa terjadi? Pertanyaan ini sudah menjadi bahan diskusi panjang dan kritik mereka yang terlibat dalam upaya meluruskan fraud dan kekeliruan sistematis di banyak perguruan tinggi kita di Indonesia.
Permasalahan mendasar secara filosofis dari persoalan ini adalah karena sebagai bangsa dan institut pendidikan tinggi, kita cenderung terjebak dengan niat mengagungkan reputasi institusi dengan tidak memberikan keseimbangan yang adekuat bagi kualitas itu sendiri.
Artinya, banyak Lembaga perguruan tinggi atau universitas menghendaki rangking universitas jempolan tapi tidak menjalankan kualitas secara sistemik, hanya kuantitas yang diutamakan. Paradigma dan visi menjalankan universitas itu penting, bukan sekedar mencetak sebanyak mungkin prestasi, tapi membangun kerangka berpikir yang lebih filosofis, bermartabat, penuh kejujuran dan kepatutan dalam banyak hal.
Kegagalan kita meletakkan fondasi maha penting dari mengapa universitas itu dijalankan atau mungkin karena gagalnya kita menjaga marwah universitas yang dibangun oleh para pendiri pendidikan di republic ini membuat kita kalah dalam menentukan dan memutuskan nasib kita sendiri dalam pendidikan tinggi.
Era industri dan konflik kepentingan yang terlalu luas memberikan celah bagi universitas menjauh dari ‘roh’ dan akar panggilannya menuju pada peradaban baru yang mengubah prinsip-prinsip dasar universitas yang berdiri di atas kejujuran dan integritas.
Hari ini boleh dibilang bahwa sebagian besar universitas kita kehilangan nilai integritas dan kejujuran itu. Karena mereka terjebak terlalu dalam dengan kepentingannya masing-masing. Ada yang berbisnis dan menjadikan lahan pendidikan itu sebagai wadah baru tempat bertransaksi dengan model ekonomi; ada yang mendekati penguasa untuk memperoleh jabatan dengan mengkhianati nilai-nilai etika dan moral sehingga memperdagangkan pengaruh keilmuannya dan menjadikan mereka ilmuwan kelas kambing dalam istilah Romo Magnis.
Kasus yang sangat banyak melibatkan alumnus dan civitas universitas memperlihatkan universitas gagal melindungi manusia di dalamnya yang implikasinya tentu saja sangat luas. Tidak heran data ICW menunjukkan lulusan perguruan tinggi terbanyak melakukan tindakan korupsi di Indonesia.
Rendahnya gaji dosen di Universitas membuat banyak pengajar perguruan tinggi itu tidak menjalankan prinsip dan nilai pendidikan yang dihormati karena mereka cenderung berupaya mencukupi kebutuhan hidup mereka secara layak dengan cara yang tidak pantas.
Untuk mendapatkan gaji lebih, harus ada kenaikan jabatan fungsional atau akademik dan juga pangkat. Ini menjadi celah untuk memanipulasi semua dokumen yang ada termasuk tulisan ilmiah yang harus menggunakan orang lain dalam pembuatannya serta mengirim ke jurnal abal-abal dan sangat bangga harus mengirim artikel begitu banyak ke jurnal yang kredibilitasnya tidak bagus dan akhirnya tidak diakui sah. Tidak heran hasil temuan BRIN 80 persen guru besar di Indonesia mempunyai skandal akademik termasuk dengan jurnal predator.
Kejayaan yang dipercepat dan kebanggaan semu dengan memanipulasi kejujuran selalu akan dibayar mahal oleh para ilmuwan di universitas. Sebaiknya tidak memiliki karya sama sekali daripada memiliki karya dengan hasil yang tidak jujur. Perlawanan terhadap nilai dan integritas keilmuan ini mengancam kredibilitas negara ini karena para lulusan perguruan tinggi bekerja sebagai abdi negara.
Dan jika dalam proses pendidikan sudah tidak jujur, maka kita pasti akan menuai badai kekacauan birokrasi. Di dalam universitas sendiri, kompetisi yang tidak sehat sering terjadi di mana ada upaya menyingkirkan orang-orang potensial karena ketidaksukaan dengan tidak menaikkan pangkat atau mencari alasan menghadang semua kompetensi yang dimiliki individu karena latar belakang yang berbeda, intoleransi yang kuat juga menggerogoti kaum ilmuwan di mana ada persaingan tidak sehat antara sesama ilmuwan dan mereka yang berurusan dengan manajemen mengurus pangkat cenderung melakukan blokade secara sepihak.
Ilmuwan di universitas juga manusia yang perlu diapresiasi dan mendapatkan kelayakan untuk hidup sejahtera, tapi jika negara mengabaikan kesejahteraan ini maka para ilmuwan di universitas akan berlomba mencari kesejahteraannya sendiri tanpa memikirkan nasib orang lain sehingga universitas menjadi seperti wilayah barbar yang tersaji dengan sekumpulan para pengagum ‘homo homini lupus’ yang sering tidak kelihatan karena dibungkus dengan rapih oleh tradisi ilmiah dan dokumen resmi yang dilegalkan.
Dalam dunia birokrasi, orang universitas lebih cenderung senang melompat ke birokrasi untuk mendapat jabatan dan tentu saja keuntungan finansial dari kedudukannya baik itu menjadi birokrat atau staf ahli/staf khusus. Di negara yang sudah lebih maju, para birokrat lebih suka menjadi akademisi atau ilmuwan karena lebih bereputasi dibanding menjadi orang pemerintah; tapi di Indonesia sebaliknya.
Pemahaman yang salah ini bisa ditelusuri dengan mudah karena mereka berasumsi kalau menjadi orang pemerintahan dekat dengan kekuasaan dan uang mengalir lebih banyak sedangkan di universitas kurang dimanjakan dengan kesejahteraan.
Perbedaan perspektif ini turut mempengaruhi para akademisi di universitas mencoba mendekati kekuasaan bahkan sekalipun dia tidak punya kompetensi yang kuat. Selain dari itu, pemerintah kita tidak cukup menghargai jasa dan keahlian para ilmuwan, sehingga mereka hanya dijadikan pajangan tanpa meminta kajian akademik yang kuat dan bisa mempengaruhi semua kebijakan pemerintah.
Mungkin saja karena kepala pemerintahan baik di pusat maupun daerah tidak paham alur pengetahuan yang kuat sehingga kaum intelektual tidak cukup mendapat tempat yang semestinya dan pengaruh mereka tidak terlihat.
Banyak universitas hari ini mengejar akreditasi untuk kepentingan reputasi yang baik dan dibanggakan bukan karena kualitas ilmu pengetahuan dan sumberdaya manusianya yang unggul. Ini terlihat dari semua aturan yang diberlakukan oleh negara bahwa universitas harus diakreditasi baik nasional maupun internasional.
Padahal, kalau dilihat secara detil dan mendalam sebagian besar universitas kita tidak memiliki kelayakan untuk mendapat akreditasi yang baik tapi dipaksakan dengan cara ‘menyogok’ dalam berbagai bentuk kepada tim asesor, sehingga menimbulkan istilah akreditasi abal-abal seperti yang ditulis Prof. Hasbullah Thabarany dalam bukunya Jaminan Kesehatan Nasional.
Ini tentu saja sangat memalukan. Buat apa akreditasi bagus tapi tidak sesuai fakta yang sebenarnya. Dokumennya lengkap tapi kualitas yang ditunjukkan pas-pasan. Kita menginginkan nilai bagus lalu kita menyogok berarti menjadikan universitas tidak jujur.
Kita mendapat rangking global tapi kemudian dinilai tidak memiliki integritas, untuk apa semua itu? Kita harus jujur ke diri sendiri jika universitas mau melangkah maju dan mencatatkan dirinya dalam sejarah sebagai penegak kedaulatan ilmu pengetahuan dan sejarah peradaban umat manusia; maka universitas perlu melakukan kontemplasi lebih mendalam secara filosofis tentang arti kehadiran dia di tengah-tengah masyarakat, bukan hanya bertengger di menara gading menggunakan gelar guru besar atau professor tapi tanpa karya nyata dengan pemikiran brilian dan kompetitif serta original dalam tulisan serta karya yang dijadikan monumen pergerakan moral dan etika serta keilmuan yang kuat. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.