Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Manado Sulawesi Utara

Profil MTs Muhammadiyah Manado, Madrasah yang Terima Ikra Siswa SMP Viral Tak Beroleh Sekolah Negeri

Kehadiran Ikra disambut hangat oleh pihak MTs Muhammadiyah, sekolah yang dikenal dengan semangat inklusif dan misi kemanusiaan dalam dunia pendidikan.

Penulis: Indry Panigoro | Editor: Indry Panigoro
Kolase Tribun Manado/Dokumen Pribadi
SEKOLAH: Potret Ikra berpose di MTs Muhammadiyah Manado Kamis 17 Juli 2025. Ikra adalah siswa SMP yang viral tak beroleh sekolah negeri di Manado. 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Ikra, salah satu siswa yang sempat viral karena belum mendapatkan sekolah negeri setelah kelulusan SD, kini telah resmi bersekolah di MTs Muhammadiyah Manado

Meski sempat tertinggal di hari-hari awal Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS), Ikra akhirnya bisa memulai proses belajar di hari ke-4 MPLS, Kamis 17 Juli 2025.

Kehadiran Ikra disambut hangat oleh pihak sekolah yang dikenal dengan semangat inklusif dan misi kemanusiaan dalam dunia pendidikan.

MTs Muhammadiyah Manado adalah sekolah yang berada di Kelurahan Kombos Barat (Tuna), Jalan Kali Progo, Manado, Sulut yang berbeda dari sekolah lain.

Sekolah ini menggabungkan pendidikan akademik berkualitas dengan pendidikan karakter Islami yang kuat.

Dengan pendekatan spiritual dan pembinaan karakter, sekolah ini mendorong siswanya menjadi pribadi yang mandiri, percaya diri, dan bertanggung jawab.

“Kami percaya bahwa setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Keputusan menerima Ikra adalah bentuk komitmen kami terhadap misi kemanusiaan dan keadilan sosial dalam pendidikan,” kata Kepala Madrasah MTs Muhammadiyah Tuna Djumak Nauwa, S.Sos kepada Tribunmanado.co.id Kamis siang.

SEKOLAH: Potret Ikra berpose di MTs Muhammadiyah Manado Kamis 17 Juli 2025. Ikra adalah siswa SMP yang viral tak beroleh sekolah negeri di Manado.
SEKOLAH: Potret Ikra berpose di MTs Muhammadiyah Manado Kamis 17 Juli 2025. Ikra adalah siswa SMP yang viral tak beroleh sekolah negeri di Manado. (Kolase Tribun Manado/Dokumen Pribadi)

Program Unggulan: Pemberantasan Buta Al-Qur'an

Salah satu program unggulan sekolah ini adalah pemberantasan buta Al-Qur'an. Sekolah ini juga memiliki fasilitas yang memadai, seperti ruang kelas nyaman, perpustakaan, laboratorium IPA sederhana, ruang UKS, serta area terbuka untuk kegiatan luar ruangan.

Pihak sekolah menyiapkan pendampingan khusus bagi Ikra, baik dari sisi akademik maupun emosional. Dukungan ini diyakini penting untuk membantu Ikra mengejar ketertinggalan dan tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik.

Pendaftaran dan Biaya Terjangkau

MTs Muhammadiyah Tuna Manado hanya melayani jenjang pendidikan MTs (setara SMP) dan memiliki proses pendaftaran yang mudah dan tidak dipungut biaya.

Sekolah ini juga menawarkan biaya yang terjangkau, dengan infak Rp 25.000 per bulan yang dapat dibayar secara online.

Jaringan Luas dengan Sekolah Mitra

Meskipun hanya menyediakan jenjang MTs, sekolah ini memiliki jaringan luas dengan SMA Muhammadiyah dan sekolah mitra lain di bawah naungan organisasi Muhammadiyah. Ini memastikan transisi siswa dari MTs ke SMA tetap terfasilitasi dengan baik.

Dengan demikian, MTs Muhammadiyah Tuna Manado adalah sekolah yang memberikan kesempatan bagi semua siswa untuk berkembang dan mencapai potensi mereka.

Kehadiran Ikra di sekolah ini adalah contoh nyata dari komitmen sekolah untuk memberikan pendidikan yang layak bagi semua siswa.

Dari foto yang didapat Tribunmanado.co,id, senyum bahagia akhirnya terpancar dari wajah Ikra, siswa penerima Program Indonesia Pintar (PIP) asal Kecamatan Singkil ini mengaku senang sudah bisa bersekolah.

"Alhamdulilah, Ikra sampaikan terima kasih untuk semua orang yang sudah membantunya hingga akhirnya bisa sekolah. Di sekolah itu juga nanti Ikra akan lebih giat mengaji dan belajar," kata Iyam orangtua Ikra.

ANAK SEKOLAH - Ikra dan Raisa tak bisa masuk di SMP Negeri 1 Manado.
ANAK SEKOLAH - Ikra dan Raisa tak bisa masuk di SMP Negeri 1 Manado. (Tribun Manado/Istimewa)

Diberitakan sebelumnya hingga hari ke-2 MPLS, Ikra dan Raisa ditolak disejumlah sekolah negeri di Manado dengan alasan kuota penuh.

Ikra, dan RPM, adalah dua anak dari Kecamatan Singkil, Kota Manado.

Mereka bukan anak-anak biasa. Keduanya tumbuh dalam keluarga yang berjuang keras di bawah bayang-bayang kemiskinan.

Mereka penerima Program Keluarga Harapan (PKH dan PIP, bukti nyata bahwa negara tahu, mereka butuh uluran tangan. Tapi tangan itu kini terasa hilang entah ke mana.

Awalnya keduanya sudah mendaftar ke SMP Negeri 1 Manado, salah satu sekolah unggulan di kota Manado.

Menurut aturan, dari 480 kuota siswa baru SMPN 1 Manado, 40 persen atau 192 siswa diisi oleh siswa yang dekat domisili, 35 persen atau 168 siswa untuk anak-anak berprestasi, 20 persen atau 96 siswa untuk jalur afirmasi, dan 5 perseb atau 24 siswa untuk jalur mutasi.

Namun, ketika Raisa dan Ikra mendaftar melalui jalur afirmasi, sistem hanya menampilkan kata: "mengusul." dan ditolak.

Saat dicek di sistem, yang lolos jalur afirmasi hanya 1 orang, nama keduanya tak muncul.

Padahal, keduanya seharusnya berhak mendapatkan kuota di jalur afirmasi.

Beberapa sekolah negeri yang tidak jauh dari domisili mereka telah didatangi.

Semua menjawab sama: kuota penuh. Tak ada tempat. Tak ada ruang. Tak ada harapan.

"Kasiang ya Allah, baru mo sekolah di mana dang kasiang Ikra," ujar Iyam, ibu dari Ikra dengan suara bergetar, matanya sembab, Selasa 15 Juli 2025.

"Ikra ingat baik-baik dek, susah sekali mau sekolah, kalau sudah sekolah dengar-dengaran ke guru supaya Ikra mo sukses," ucap Iyam yang dijawab dengan pelukan erat dari Ikra.

Perjuangan mereka sampai ke telinga wakil rakyat. Komisi IV DPRD Kota Manado memanggil mereka. Dalam ruangan ber-AC, mereka duduk gelisah depan Ketua Komisi 4 Jimy Gosal dan anggota Nur Amali, Sri Nanda Lamadau, dan Moh. Iqbal Ansari.

Tangan Raisa menggenggam ujung baju ibunya. Harapan kembali tumbuh ketika rapat memutuskan Ikra dan Raisa boleh masuk SMP Negeri 16 Manado.

Setelah rapat usai, mereka berlari kecil menuju sepeda motor usang yang terparkir di halaman DPRD.

Ayah Ikra segera menyalakan mesin, dan dengan tergesa-gesa mereka melaju ke SMP 16 Manado.

"Kami ingin cepat-cepat daftar, supaya besok bisa ikut sekolah," kata Raisa, matanya berbinar.

Namun harapan itu hanya sebentar. Sesampainya di sana, yang mereka temukan bukan pintu yang terbuka, tapi lagi-lagi penolakan.

Dari pihak sekolah mengatakan kalau kuota memang sudah penuh.

Saat dikonfirmasi Tribun Manado via WhatsApp, Kepala SMP Negeri 16 Manado, Dolvie Singal menjelaskan sekolah tak bisa menerima mereka karena kuota penuh dan nama mereka tidak tercatat dalam sistem Dapodik.

Bila dipaksakan masuk, justru akan merugikan mereka karena tidak akan bisa tercatat sebagai siswa resmi.

"Semua kepala sekolah pasti ingin semua siswa yang mendaftar dapat ditampung di sekolah masing-masing. Masalahnya, kedua siswa tersebut tidak mendaftar di SMP 16 Manado, tapi orang tua mereka mendaftarkan anak mereka di SMP Negeri 1 Manado," tulis Dolvie melalui pesan teks.

Kata dia lagi, Sistem aplikasi Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) tidak di bawah kendali kepala sekolah.

Untuk SMP 16 Manado, kuota sudah terpenuhi pada tahap 1 SPMB.

Pihaknya tidak mendapat kesempatan untuk membuka tahap 2 karena kuota yang ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan hanya 6 rombel.

"Mungkin lebih berkompeten untuk menangani masalah ini adalah kepala SMP Negeri 1 Manado, karena orang tua yang mendaftarkan anak mereka di SMP 1, bukan di SMP 16,"

"Jika dipaksakan, saya boleh menampung siswa tersebut, tapi saya tidak menjamin mereka masuk dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik), karena mereka tidak ada nama di daftar SPMB SMP Negeri 16 Manado," tulis Dolvie.

Padahal, anak-anak ini sekarang bukan sedang memilih sekolah favorit. 

Mereka hanya ingin sekolah. Titik. Tapi sistem seperti menutup semua celah bagi mereka. 

Celah yang seharusnya diberikan justru menjadi tembok tak kasat mata yang berdiri kokoh didukung data, angka, dan aturan yang kaku.

Akademisi Prof. Dr. Ferdinand Kerebungu, dari Universitas Negeri Manado, menyesalkan situasi ini. Menurutnya, sistem PPDB saat ini sering mengabaikan prinsip keadilan sosial dalam pendidikan.

"Apa arti konstitusi, apa arti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, jika dua anak miskin bahkan tidak bisa masuk SMP di kotanya sendiri?," tegasnya.

Dalam konstitusi, dalam undang-undang, bahkan dalam hati nurani bangsa, pendidikan adalah hak, bukan kemewahan. Tapi hari ini, di Manado, dua anak bangsa terdiam di ambang pintu sekolah yang tidak pernah terbuka. (Tribun Manado/Indri Panigoro)

Ikuti Saluran WhatsApp Tribun Manado, Trheads Tribun Manado dan Google News Tribun Manado untuk pembaharuan lebih lanjut tentang berita populer lainnya.

 

Sumber: Tribun Manado
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved