Bitung Sulawesi Utara
Marak Tindak Pidana di Bitung Sulawesi Utara, Akademisi Minta Reformasi Undang-Undang SPPA
"Kami sangat mengkritisi hal ini karena jika dibiarkan ketika mereka di dalam penjara diperlakukan dengan baik, maka tidak akan ada efek jera,"
Penulis: Christian_Wayongkere | Editor: Isvara Savitri
TRIBUNMANADO.CO.ID, BITUNG - Maraknya penganiayaan menggunakan senjata tajam (sajam) di Kota Bitung, Sulawesi Utara, menyita perhatian publik.
Pasalnya, pelaku ada yang masih di bawah umur.
Bahkan, beberapa sampai memakan korban jiwa.
Situasi ini mendatangkan tanggapan dari dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Petra Bitung Daysi Fikka Kelejan SE MM.
Ia meminta adanya reformasi Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
Menurutnya SPPA adalah pengadilan keadilan bukan seruan kebencian.
"Revisi bukan berarti kita tidak peduli pada anak, tetapi justru karena kita peduli pada semua anak yang jadi pelaku, dan terutama yang menjadi korban. Karena kita tidak akan tau hari ini mungkin mereka yang menjadi korban, dan hal itu bisa saja terjadi pada kita dan keluarga kita sendiri," kata Daysi Kelejan, Rabu (16/4/2025).
Sebagai akademisi dengan latar belakang Ilmu Ekonomi, Daysi mengaku tidak terlalu mendalami tentang hukum.
Namun menurut perempuan yang akrab disapa Ecy ini hukum tidak hanya bekerja sebagai alat pengendali sosial, tetapi juga sebagai cermin nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dalam praktiknya, hukum juga bisa menjadi perangkat yang timpang berpihak kepada satu sisi sembari menyingkirkan sisi lainnya.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) adalah contoh nyata yang lahir dari niat luhur, menyelamatkan masa depan anak yang bersalah dengan pendekatan pembinaan dan bukan pembalasan.
Tapi dalam penerapannya, kita menghadapi realita berbeda, yaitu korban dan keluarganya nyaris tak mendapatkan ruang dalam sistem ini.
Narasi besar tentang perlindungan anak ternyata menciptakan ketimpangan struktural baru, yakni pengabaian terhadap keadilan korban.
Apalagi kasus kejahatan dengan menggunakan sajam ini bukan hanya dilakukan oleh seseorang yang sudah mencapai umur dewasa 18 tahun ke atas, melainkan para pelaku adalah anak-anak yang masih di bawah umur, yang harusnya masih dalam pengawasan orang tua atau pihak keluarga.
Ia melihat bahwa UU SPPA terlalu berfokus pada satu sisi, yaitu pelaku yang masih di bawah umur.

Anak yang menjadi tersangka diberikan berlapis-lapis perlindungan mulai dari pengurangan hukuman maksimal menjadi setengah, hingga jaminan tempat pembinaan yang edukatif.
Namun, di mana ruang keadilan bagi korban?
Apakah nyawa yang hilang hanya direspon dengan pelatihan dan pembinaan bagi pelaku?
Undang-Undang SPPA membatasi hukuman maksimal anak yang membunuh hingga 10 tahun penjara, berarti bisa di bawah 10 tahun, bahkan untuk kasus pembunuhan berencana sekalipun.
"Dalam kasus-kasus tertentu, pelaku bahkan bisa keluar jauh lebih cepat melalui remisi, asimilasi, atau program integrasi sosial. Bagi keluarga korban, ini adalah penghinaan terhadap luka yang tidak akan pernah sembuh," jelasnya.
Dan dalam usia tersebut, pelaku pembunuhan ketika selesai menjalanai hukumannya masih dalam umur yang masih bisa melakukan sesuatu hal, baik positif atau melakukan hal yang negatif.
Mereka masih berkesempatan melakukan kembali tindak kejahatan yang sudah pernah dilakukan.
Dari perspektif manajemen keadilan, sistem peradilan sebagaimana sistem lain harus menjamin keseimbangan keadilan, bahwa semua pihak yang terdampak mendapat perhatian proporsional.
Namun dalam UU SPPA, korban dan keluarga korban justru tidak dianggap sebagai pemangku kepentingan utama.
Tidak ada pasal yang secara eksplisit menjamin hak-hak mereka, tidak ada ruang partisipasi dalam proses hukum, dan tidak ada mekanisme resmi untuk keterlibatan dalam mediasi, rekomendasi hukuman, atau program pemulihan trauma.
Ini adalah desain sistem yang cacat secara manajerial dan tidak akuntabel secara etis.
"Kritik akademis terhadap UU SPPA, empati tanpa proporsionalitas. Kami tidak menolak konsep perlindungan anak. Justru mendukung pendekatan rehabilitatif dalam konteks yang tepat," kata dia.
Beberapa hal mendasar yang perlu dikaji ulang antara lain:
- Batasan hukuman yang tidak kontekstual, misalnya pembunuhan berencana oleh anak tetap dibatasi hanya 10 tahun maksimal.
- Tidak ada ruang kebijaksanaan bagi hakim untuk mempertimbangkan konteks kekejaman, pengulangan, atau dampak psikologis terhadap korban.
- Remisi dan asimilasi yang terlalu longgar, yaitu sistem pemotongan hukuman untuk anak seringkali tidak mempertimbangkan dampak emosional terhadap keluarga korban.
- Minimnya keterlibatan keluarga korban yang seharusnya diberi posisi setara dalam proses hukum, setidaknya untuk menyuarakan trauma dan harapan mereka terhadap proses pemulihan.
- Dominasi narasi perlindungan anak yang tidak seimbang. Di ruang publik, kita lebih sering membahas masa depan pelaku, sementara masa lalu dan kerusakan yang ditinggalkan kepada korban hampir tidak pernah dibicarakan.
Ecy memberikan saran konkret kepada pihak yang berwajib dan pemerintah agar lebih lebih tegas lagi untuk kasus pembunuhan.
Pihak yang berwajib harus senantiasa patroli malam dan menggunakan peralatan yang lengkap agar bisa menghindari kecelakaan dan meningkatkan kewaspasaan dan keselamatan diri ketika menjalankan tugasnya.
Baca juga: Sosok Hotma Sitompul, Pengacara Kondang Indonesia Meninggal Dunia
Baca juga: Tewas Terseret Banjir di Gorontalo, Ayah Mahasiswi Asal Mitra Menangis Peluk Nisan Anaknya: Ya Allah
"Kami sangat mengkritisi hal ini karena jika dibiarkan ketika mereka di dalam penjara diperlakukan dengan baik, maka tidak akan ada efek jera," kata dia.
Untuk pelaku anak dengan latar belakang tidak diawasi orang tua juga anak putus sekolah, mungkin akan berpikir kehidupan di dalam penjara lebih menyenangkan dari pada di luar karena diberikan fasilitas dan makan gratis, tidak perlu bersusah payah mencari nafkah untuk menghidupi kehidupan kesehariannya.
Dan ketika mereka selesai menjalani hukumannya, mereka mendapatkan identitas sebagai pembunuh dari masyarakat dan ditakuti orang.(*)
Ikuti Saluran WhatsApp Tribun Manado dan Google News Tribun Manado untuk pembaharuan lebih lanjut tentang berita populer lainnya.
AKP Ahmad Anugerah Minta Warga Bitung yang Jadi Korban Investasi Aplikasi Bodong Lapor ke Polres |
![]() |
---|
Dapat Bantuan Sembako, Warga Bitung: Terima Kasih Keluarga Besar Fakultas Hukum Unsrat dan IAFHUB |
![]() |
---|
Dahan Pohon Besar Patah dan Halangi Jalan di Winenet Dua Bitung |
![]() |
---|
Satlantas Bitung Amankan 105 Pelanggaran di Hari Perdana Operasi Patuh |
![]() |
---|
Hadiah di Tengah Razia, Warga Bitung Terharu Dapat Helm dari Polisi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.