Opini
Demokrasi Perguruan Tinggi
Kaum mahasiswa tak boleh lupa bahwa mengkritisi masalah birokrasi di perguruan tinggi sendiri adalah tugas yang paling utama.
Oleh:
A.B.Rusli
Dosen IAIN Manado
MESKIPUN hak politik anak bangsa telah dibuat kian egaliter dan partisipatoris untuk menjadi calon Presiden Indonesia melalui revisi Presidensial Treshold di Mahkamah Konstitusi (MK), tapi kaum mahasiswa tak boleh lupa bahwa mengkritisi masalah birokrasi di perguruan tinggi sendiri adalah tugas yang paling utama.
Jangan sampai gajah di pelupuk mata tak tampak namun semut di seberang lautan begitu kelihatan. Sebab, masa depan ilmu pengetahuan adalah tanggung jawab rektor dan dekan bukan istana kepresidenan.
Nasaruddin Umar ‘berfatwa’ bahwa korupsi di Kementerian Agama harus disikat sampai ke akar-akarnya. Demo ASN Dikti pun berbunyi, “Institusi Negara Bukan Perusahaan Pribadi Satryo dan Istri” ! Birokrasi adalah mesin demokrasi untuk mendistribusikan keadilan terhadap kehidupan warga negara, apapun agamanya, pilihan politik dan ideologinya termasuk orientasi seksualnya.
Birokrasi perguruan tinggi tidak boleh diisi oleh seorang birokrat yang otoriter, fanatik dan gampang mengamuk. Biasanya, terdapat empat aliran birokrat. Ada birokrat akademis. Mereka lebih memilih memanjangkan akal daripada memanjangkan lidah. Ada birokrat politis. Meski sering mencuri uang negara, mereka sering lolos dari mata BPK.
Ada birokrat selebritis. Mereka sungguh modis dan narsis sampai tidak bisa membedakan mana pusat pemerintahan dan mana pusat hiburan. Terakhir, ada birokrat mistis. Kehadirannya antara ada dan tiada. Benar-benar ghaib.
Birokrasi Transaksional
Kita tak dapat menutup mata jika arah kebijakan birokrasi perguruan tinggi selalu berada di bawah kendali pengusaha. Tukar tambah keuntungan materi sudah sampai pada urusan titik dan koma. Akhirnya, motif kalkulasi dalam rekening mengalahkan pendalaman refleksi dalam reasoning.
Tradisi jual beli kursi rektor membuat mereka menjadi koruptor. Dengan wajah standar, mereka pun tak malu menatap kamera. Mereka percaya bahwa putusan hakim dapat dibatalkan dengan teori keuangan atau pertambangan. Transaksionalitas dalam birokrasi terjadi akibat buruknya pengajaran doktrin kewarganegaraan.
Sudah sejak lama, kultur pendidikan kita lupa mengabdikan diri manusia pada kehidupan publik. Kalimat “masyarakat” tidak dijelaskan sebagai tanggungjawab merawat hidup bersama di dunia. Akibatnya mereka sibuk pada urusan diri sendiri dan alergi dengan kata peduli. Maka sekarang kita mengerti mengapa human development index disetiap daerah cenderung rendah. Sebab, biaya renovasi kamar mandi pejabat lebih berguna daripada menurunkan UKT mahasiswa atau menambah tunjangan kinerja aparatur sipil negara.
Di dalam paradoks birokrasi, kekuasaan terus menerus memproduksi kepalsuan. Karena hanya penguasa yang bisa membuat hoaks secara sempurna. Dalam Social Science and Power in Indonesia (2005) Hadiz dan Dhakidae menyebut bahwa penguasa politik terbukti banyak membatasi, menekan bahkan membekukan proses kerja aktor-aktor intelektual akibat adanya residu elite Orde Baru (1966-1998) yang secara historis mengakar kuat dalam strukturisasi institusi pemerintahan maupun perguruan tinggi.
Kita tentu tidak berputus asa dengan kemaksiatan struktural ini. Kita masih punya energi untuk memperkuat demokrasi perguruan tinggi melalui diskusi, aksi dan advokasi.
Demokrasi Dari Bawah
Kita tak bisa menuntut komitmen lebih dari kampus jika para birokrat di dalamnya diam-diam masih berwatak feodal. Jika perguruan tinggi kita benar-benar mengerti demokrasi, lantas mengapa seluruh mahasiswa tak bisa memilih rektornya sendiri? Para rektor juga tampaknya hanya sibuk menumbuhkan nilai akreditasi namun suka menggulung oposisi.
Padahal, loyalitas birokrat bukanlah terhadap kekuasaan melainkan kebenaran. Krisis birokrasi publik tidak cukup jika hanya diatasi dengan reaksi moralistik karena itu tak menjernihkan persoalan. Tanpa mencintai percakapan eksistensial, maka pribadi birokrat akan menjadi asing dihati mahasiswa dan pegawainya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.