Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Mata Lokal Memilih

Menakar Ambang Batas Pertarungan Pilkada Sulut di Mahkamah Konstitusi, Catatan Pengamat Hukum

Seluruh Lembaga survey sebelum Pilkada berlangsung merilis elektabilitas mereka dibawah pasangan konstentan lain, E2L-HJP dan SKDT.

Penulis: Rhendi Umar | Editor: Alpen Martinus
HO
Dr Alfian Ratu Pengamat Hukum Konsitusi 

TRIBUNMANADO.CO.ID- Menarik dan ketat itulah fakta yang terjadi pada Pilkada di Sulawesi Utara pada 27 November 2024 tersebut dengan berbagai upaya, usaha dan strategi para kontestan lewat visi, misi dan program yang ditawarkan bagi rakyat Sulawesi Utara.

Berdasarkan catatan Dr Alfian Ratu Pengamat Hukum Konstitusi, ketika beberapa Lembaga survey merilis hasil quick count (perhitungan cepat), banyak dinamika yang berkembang bahkan ada salah satu kontestan pasangan calon membuktikan kualitasnya sebagai maestro strategy yaitu Yulius Selvanus Komaling dan Victor Mailangkay.

Perpaduan TNI dan Sipil ini mampu membuat kaget konstalasi politik nyiur melambai ini.  

Baca juga: Jejak Karier Yulius Selvanus Komaling, dari Kopassus hingga Unggul Hasil Hitung Cepat Pilkada Sulut

Seluruh Lembaga survey sebelum Pilkada berlangsung merilis elektabilitas mereka dibawah pasangan konstentan lain, E2L-HJP dan SKDT.

Tapi menurut perhitungan cepat (quick count), justru mereka berada paling diatas.

Meskipun hasil akhirnya harus mengacu pada Berita Acara Hasil Rekapitulasi  Penghitungan  Suara dari KPU  Provinsi  Sulawesi  Utara, yang pada akhirnya menentukan masing-masing pasangan calon kontestan akan mengambil sikap untuk menerima atau melanjutkan babak  baru  pertarungan  pilkada  sulut di  Mahkamah Konstitusi.

Berbicara mengenai Mahkamah Konstitusi sampai saat ini tetap berwenang mengadili pemilihan kepala daerah yang didasarkan pada  Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XX/2022,  yang menyatakan frasa “sampai dibentuknya badan peradilan khusus” pada Pasal 157 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang  bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan  tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat selanjutnya menyatakan  Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang  Republik Indonesia.

Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Oleh karena itu maka penyelesaian sengketa pilkada pada tahun 2024 ini tetap berada dan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.

Disatu sisi masyarakat Sulawesi Utara  menanti  seperti  apa  pertarungan jika hasil pilkada ini sampai diselesaikan di Mahkamah Konstitusi, tetapi disatu sisi perlu juga diberikan pandangan seperti apa dan bagaimana Penyelesaian sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi, khusus mengenai Ambang Batas Pengajuan Permohonan Penyelesaian  Sengketa  Hasil di Mahkamah Konstitusi.

Paradigma penyelesaian sengketa hasil pemilihan umum  kepala  daerah menurut Alfian Ratu, dalam Disertasinya dengan Judul Paradigma Penyelesaian Sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah di Mahkamah Konstitusi, menyatakan 9 (Sembilan) alasan :

Pertama, Ketersediaan mekanisme penyelesaian sengketa dapat memberikan beberapa implikasi penting, sebagai cara untuk melegitimasi hasil pemilihan, meningkatkan kepercayaan publik pada supremasi hukum serta memberikan kontribusi pada terinstitusionalisasinya norma-norma dan praktek-praktek demokrasi.

Kedua, Kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diberikan oleh Pasal 24C  ayat (1) UUD 1945 adalah  Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang- Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Ketiga, Paradigma pengaturan mekanisme penyelesaian perselisihan hasil pemilihan  mengalami  perubahan yaitu ditangani oleh badan peradilan khusus.

Badan Peradilan Khusus dibentuk sebelum pelaksanaan Pemilihan serentak nasional, namun tidak ditegaskan  pengaturannya  sebagai  badan  peradilan  yang  berdiri sendiri, ataupun menjadi peradilan khusus dibawah lingkungan peradilan umum ataupun peradilan tata usaha negara.

Halaman
12
Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved