Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Pelanggaran Pemilu di Bitung

Ini Kata Pengamat Hukum Terkait Kasus yang Menjerat Wali Kota Bitung Maurits Mantiri

Praktisi dan ilmuwan hukum Michael Remizaldy Jacobus angkat bicara soal kasus hukum, yang menjerat Wali Kota Bitung Maurits Mantiri

|
IST
Pengamat Hukum Michael Jacobus 

Sedangkan ancaman kekerasan adalah “penyampaian tindakan kekerasan yang akan dilakukan terhadap sesuatu atau seseorang”. 

Akan tetapi menurut saya kata-kata “berbuat sesuatu” atau “penyampaian tentang tindakan kekerasan” harusnya merupakan hal yang sangat clear atau terang benderang sebagai perbuatan yang negatif dan tidak multitafsir. 

"Artinya, jika yang disampaikan sebatas kata-kata: “seruduk, ratakan, bakar” namun tidak jelas dengan sasaran berupa objek atau subyeknya, maka menurut Saya itu bukan merupakan tindak pidana melainkan perbuatan yang melanggar etika," papar Jacobus.

Jika seseorang mengatakan didepan umum seruduk, ratakan, dan bakar namun tidak menyebutkan siapa subyek yang akan diseruduk dan dibakar, dan tidak jelas apa yang akan diseruduk, dibakar, dan diratakan, maka orang-orang yang mendengar tidak akan menjadi terhasut tetapi justeru akan menjadi bingung dan bertanya-tanya siapa dan apa yang akan diseruduk, dibakar dan diratakan?

Pemaknaan kata-kata seruduk, ratakan dan bakar akan menjadi negatif atau akan menjadi perbuatan yang dilarang jika sasarannya jelas. 

“Karena kata-kata seruduk, ratakan dan bakar baru akan memiliki makna negatif atau positif tidak bisa hanya dilihat dalam bentuk gestur tubuh dan nada suara saat mengucapkan tetapi harus dengan sasaran yang clearly (jelas) dan tidak implisit (terselubung) atau abstrak serta tidak multitafsir. 

Sebab jika seseorang menyebutkan secara eksplisi “seruduk pohon”, “ratakan tanah” dan “bakar rumput” sekalipun dengan gestur dan nada suara yang emosional, maka itu bukan tindak pidana. 

"Tapi jika menyebutkan seruduk si A, bakar Gedung B, dan ratakan rumah si C, maka jelas-jelas merupakan tindak pidana," ungkap Jacobus kepada sejumlah awak media.

Advokat yang sementara mempersiapkan ujian promosi doktor hukum di Fakultas Hukum Universitas Trisaksi ini menegaskan ada perbedaan yang jelas antara etika dan pidana, karena etika itu berputar pada persoalan prilaku yang patut dan tidak yang biasanya dampaknya abstrak, sedangkan pidana adalah kejahatan yang harus sesuatu yang dampaknya terang-benderang dan memenuhi syarat asas legalitas. 

Artinya, sesuatu akan dikualifisir sebagai perbuatan pidana ketika memenuhi prinsip hukum yakni harus tertulis (lex scripta), harus ditafsirkan seperti yang dibaca (lex stricta), dan tidak multitafsir (lex certa). 

Dikaitkan dengan hasutan atau ancaman kekerasan, undang-undang sudah jelas, akan tetapi perbuatan materiilnya secara kasuistis harus diperjelas juga apakah memenuhi unsur sebagai kejahatan artinya ada kerusakan-kerusakan atau ada akibat-akibat negatif yang disasar atau tidak. 

“Kalau tidak jelas sasaran perbuatannya baik objek maupun subyek, maka itu sekali lagi pelanggaran etika, dan terlalu ceroboh Gakkumdu jika menetapkan sosok Walikota sebagai tersangka atas dasar pelanggaran etika”, kata dia.

Jacobus juga seseorang ditetapkan sebagai tersangka itu karena adanya “keadaan” atau “perbuatan” pidana yang dijustifikasi atau dibenarkan oleh minimal 2 alat bukti. 

Jika perbuatannya hanya menyebutkan kata-kata seruduk, ratakan, bakar tanpa ada objek dan subyek jelas, maka alat bukti apa yang membuktikan kalau itu perbuatan pidana? 

Ia malah penasaran, ahli bahasa atau ahli pidana siapa yang keterangannya bisa dijadikan alat bukti dalam penetapan tersangka Pak Maurits yang memastikan kalau kata-kata seruduk, bakar dan ratakan tanpa ada objek dan subyek yang disasar kemudian disimpulkan sebagai perbuatan pidana?.

Halaman
123
Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved