Opini
Moderasi Beragama dan Tantangan Artifisial Intelegensi atau AI
Hal ini dapat menimbulkan masalah privasi yang serius, terutama jika data tersebut disalahgunakan atau tidak dilindungi dengan baik.
Oleh:
Muis Daeng Pawero
Dosen FTIK IAIN Manado
SAYA diberikan kesempatan mengikuti sosialisasi moderasi beragama yang diselenggarakan oleh Rumah Moderasi Beragama (RMB) IAIN Manado pada Sabtu 18 Mei 2024.
Sebanyak 75 ASN di lingkungan IAIN Manado turut hadir dalam kegiatan tersebut. Dalam kegiatan tersebut, akademisi IAIN Manado dan IAKN Manado Turut menjadi narasumber.
Materi yang disajikan oleh para narasumber merupakan materi mutakhir metode seminar yang dimulai dengan pembagian kelompok serta pertanyaan untuk masing-masing kelompok sebagai pemantik diskusi.
Prof. Delmus P. Salim, Ph.D sebagai narasumber pertama membagi kami dalam 17 kelompok dan masing-masing kelompok diberikan satu pertanyaan untuk didiskusikan bersama.
Saya tergabung dalam kelompok sembilan bersama Mas Rusdianto, M.Hum selaku kaprodi SPI FUAD dan Syahrul Mubarak Subeitan, M.H dari prodi Hukum Keluarga Fakultas Syariah.
Kelompok kami mendapatkan pertanyaan terkait "apakah jika peran negara tidak ada, masa depan masyarakat inklusif akan terancam". Sedangkan kelompok lainnya mendapatkan pertanyaan tentang contoh sikap intoleran, contoh sikap tidak menghargai budaya lokal, dan seterusnya.
Meskipun pertanyaannya sebatas contoh, akan tetapi tidak sedikit juga gagasan yang muncul dari kelompok diskusi yang menunjukkan antusiasme para peserta untuk sama-sama berdiskusi terkait moderasi beragama.
Metode diskusi yang sama juga dilakukan oleh Prof. Dr. Ahmad Rajafi, M.H.I, selaku akademisi sekaligus Rektor IAIN Manado dan Dr. Anita Inggrit Tuela, M.Th selaku akademisi IAKN Manado.
Namun, di sela-sela antusiasme menyimak materi, saya yang duduk persis bersebelahan dengan Rusdiyanto, M.Hum selaku kaprodi SPI, berdiskusi tentang suatu teknologi yang saat ini menjadi perbincangan banyak kalangaan, ialah teknologi Artificial Intelegence (AI).
Diskusi panjang kami dimulai saat muncul semacam ide untuk melihat penjelasan dari pertanyaan masing-masing kelompok dengan meminta bantuan teknologi AI yang bernama ChatGPT.
Setelah coba kami praktekkan, kontan saja jawaban AI dalam tiga detik jauh lebih akurat dan mutakhir dari apa yang kelompok kami diskusikan selama 15 menit.
Praktik ini kemudian memantik saya dan Rusdiyanto untuk berdiskusi lebih jauh. Dahulu, para seniman musik membutuhkan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk menciptakan sebuah lagu.
Saat ini dengan bantuan AI, manusia dapat membuat satu buah lagu orisinal dalam waktu satu menit. Hal tersebut telah saya praktikkan bersama mas Rusdianto di sela-sela kegiatan.
Dengan hanya bermodalkan judul lagu saja, dengan melibatkan AI, kami dapat menciptakan satu lagu pop indie lengkap dengan aransemennya dalam dalam satu menit.
Selain itu, pertanyaan-pertanyaan psikologi seperti stress kerja, beban kerja dan lain-lain coba kami tanyakan melalui AI. Kami mendapatkan jawaban yang serba lengkap, bahkan sangat sesuai dengan tipikal kepribadian saya.
Perlu dicatat, AI adalah algoritma dan Big Data yang merekam segenap rekam jejak digital kita selama berselancar di internet maupun media sosial; Film yang kita tonton, tulisan-tulisan yang kita baca, akun yang kita ikuti, konten-konten medsos yang kita gemari, dan seterusnya.
Sehingga melalui data tersebut, AI dapat menentukan dengan akurat tipikal kepribadian kita. Apakah kita seorang introvert atau ekstrovert, dan seterusnya. Sehingga pertanyaan-pertanyaan bahkan terkait masalah pribadi, dapat dijawab oleh AI dengan akurat sesuai kepribadian kita.
Selain itu, semua pertanyaan terkait pengetahuan manusia dapat dijawab oleh AI. Mungkin inilah bagian dari apa yang dikhawatirkan Tom Nicols yang telah dibahas secara tajam dalam bukunya "Matinya Kepakaran". Bahwa suatu saat nanti, manusia tidak lagi memerlukan pakar, psikolog, dokter, bahkan guru dalam menjalani kehidupannya.
Karena segala kebutuhannya, termasuk kebutuhan pengetahuan, bahkan pengetahuan agama sekalipun, telah disediakan oleh Artificial Intelegensi (AI).
Dalam konteks sosialisasi moderasi Beragama, pertanyaan yang muncul namun tidak kami sampaikan dalam kegiatan sosialisasi tersebut adalah "bagaimana Agama-agama besar yang di akui di Indonesia menyikapi tantangan Artificial Intelegensi?"
Tulisan ini mencoba memberikan sedikit pandangan sekaligus semacam kontribusi sebagai peserta sambil merancang program pendidikan, penelitian maupun pengabdian sebagai output yang akan dilakukan pasca mengikuti kegiatan Sosialisasi Moderasi Beragama.
Tentang Artificial Intelegensi
Terkait Definisi AI, dapat diakses dalam berbagai platform aplikasi pencari dalam sekali "klik", yang pada prinsipnya merupakan cabang dari ilmu komputer yang berfokus pada pembuatan sistem yang dapat menjalankan tugas yang biasanya memerlukan kecerdasan manusia.
AI mencakup berbagai teknologi dan pendekatan yang memungkinkan mesin untuk: Belajar dari data (machine learning), Mengenali pola (pattern recognition), Mengambil keputusan (decision-making), Beradaptasi terhadap situasi (adaptive systems)
Sebagai contoh, AI telah diterapkan di beberapa rumah sakit di Indonesia misalnya Diagnosis Medis, analisis gambar medis, personalisasi pengobatan, dan manajemen data pasien.
Saya juga mendapat informasi bahwa perbankan saat ini telah memanfaatkan AI untuk melakukan analisis pasar dan deteksi penipuan.
Dalam pemberitaan, kita sering melihat TV One, CNN News hingga MNC Group yang menggunakan AI sebagai asisten untuk menyampaikan berita terkini (breaking news)
Kedepan, bukan tidak mungkin jika AI merupakan pilihan untuk dijadikan sebagai asisten guru maupun Dosen untuk melakukan proses pembelajaran di tengah kesibukan melakukan penelitian dan pengabdian.
Tantangan Artifisial Intelegensi
Namun AI juga merupakan teknologi yang mengkhawatirkan. AI memiliki sejumlah potensi dampak negatif yang perlu diperhatikan dan dikelola dengan hati-hati.
AI sering kali membutuhkan data dalam jumlah besar untuk berfungsi dengan baik. Semakin sering manusia berselancar di internet maupun media sosial, maka akan semakin besar kekuatan algoritma dan Big Data AI dalam merekam dan melakukan pengambilan keputusan.
Hal ini dapat menimbulkan masalah privasi yang serius, terutama jika data tersebut disalahgunakan atau tidak dilindungi dengan baik.
Teknologi AI dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan pengawasan oleh pemerintah atau perusahaan, yang dapat mengancam kebebasan dan privasi individu.
Selanjutnya, AI dapat mengurangi interaksi manusia dan menyebabkan dehumanisasi. Ini dapat berdampak dalam layanan pelanggan, perawatan kesehatan, dan pendidikan.
Masyarakat yang terlalu bergantung pada AI dapat kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis dan kemampuan membuat keputusan secara mandiri.
Dan yang paling mengkhawatirkan, biar bagaimanapun, AI hanyalah benda tak berjiwa. Ia adalah kecerdasan buatan yang tak memiliki emosi.
Dengan kata lain AI juga memiliki implikasi negatif secara filosofis maupun eksistensial.
Penggunaan AI dalam kehidupan sehari-hari dapat mempengaruhi cara manusia memandang makna hidup, identitas, dan tujuan eksistensial mereka.
Selain itu, peningkatan interaksi dengan AI dapat mengubah cara manusia berinteraksi satu sama lain dan mempengaruhi hubungan sosial dan emosional.
Dengan kata lain, akan datang suatu pandangan bahwa AI jauh lebih baik dijadikan teman dari pada berteman dengan manusia "nyata" yang ada disekelilingnya.
Bagaimana peran Agama menghadapi AI?
Pertanyaan turunannya adalah "Mungkinkah manusia sebagai Khalifah di muka bumi, serta ciptaan paling mulia dibanding makhluk lainnya, dapat terdegradasi oleh Artificial Intelegensi?"
Pertanyaan tersebut sebenarnya yang hendak saya tanyakan dan ingin didiskusikan dalam sosialisasi moderasi beragama. Namun tidak disampaikan karena keterbatasan waktu.
Akan tetapi, beberapa pandangan penulis sebagai peserta, mungkin dapat memantik dan mudah-mudahan ada ulasan lebih lanjut dari para pakar maupun diskusi dalam kegiatan moderasi beragama selanjutnya.
Al-Qur'an seringkali menggunakan istilah ulul albab untuk menyiraktan agar manusia memiliki ilmu pengetahuan sehingga dengan pengatehuan, manusia dapat melihat kekuasaan Tuhan.
Dalam membumikan Al-Qur'an, Prof. Quraisy Shihab mengemukakan bahwa ayat Al-Qur'an pertama yang memerintahkan untuk membaca (Iqra') pada prinsipnya memiliki makna yang lebih dalam. Iqra bukan hanya bermakna membaca, melainkan mengkaji, meneliti, dan sebagainya, yang pada intinya menganjurkan manusia agar selalu meningkatkan pengetahuan agar dapat menyaksikan kekuasaan Allah sehingga semakin taat kepada-Nya.
Dalam Islam, ilmu pengetahuan dan teknologi sering kali dianggap sebagai cara untuk memahami ciptaan Allah lebih baik dan meningkatkan kesejahteraan umat manusia.
Prinsip-prinsip seperti keadilan, kehati-hatian, dan tanggung jawab sosial sangat penting dalam penerapan teknologi. Teknologi harus digunakan untuk mendukung nilai-nilai Islam dan mematuhi syariat.
Pandangan Kristen terhadap teknologi bervariasi di antara denominasi dan individu.
Secara umum, teknologi dapat dilihat sebagai alat yang diberikan oleh Tuhan untuk meningkatkan kehidupan manusia, selama digunakan dengan cara yang etis dan moral.
Gereja sering kali mendorong penggunaan teknologi untuk kebaikan, seperti dalam pendidikan dan pelayanan kesehatan.
Hindu memandang teknologi sebagai bagian dari perkembangan dharma, atau jalan kebenaran. Teknologi yang memajukan kehidupan tanpa mengorbankan moralitas dan harmoni dengan alam biasanya diterima. Namun, ada juga peringatan terhadap ketergantungan berlebihan pada teknologi yang dapat mengganggu keseimbangan spiritual.
Buddhisme cenderung menekankan keseimbangan dan kesadaran dalam penggunaan teknologi. Teknologi dapat menjadi alat untuk mengurangi penderitaan dan meningkatkan kebahagiaan jika digunakan dengan kebijaksanaan dan welas asih.
Namun, ada juga perhatian terhadap bagaimana teknologi dapat mempengaruhi pikiran dan interaksi sosial.
Banyak agama mengajarkan bahwa manusia diciptakan dengan kemampuan kreatif yang mencerminkan pencipta mereka. Oleh karena itu, inovasi dan teknologi sering dilihat sebagai ekspresi dari kemampuan ilahi ini, asalkan digunakan untuk tujuan yang baik.
Namun demikian, ada fokus kuat pada tanggung jawab moral dalam penggunaan teknologi. Misalnya, pengembangan dan penggunaan AI harus memperhatikan dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan serta memastikan bahwa teknologi tidak melanggar prinsip-prinsip moral dan etika agama.
Banyak tradisi agama menekankan penggunaan teknologi untuk mempromosikan kesejahteraan dan keadilan sosial. Teknologi harus digunakan untuk mengatasi ketidakadilan, mengurangi kemiskinan, dan meningkatkan kualitas hidup bagi semua orang.
Tantangan dan Kekhawatiran dari Perspektif Agama
Dehumanisasi: Kekhawatiran bahwa teknologi, khususnya AI, dapat mengurangi nilai dan martabat manusia, misalnya melalui otomatisasi pekerjaan yang dapat menggantikan peran manusia. Manusia sebagai khalifah di muka bumi, serta ciptaan Tuhan paling mulia di banding makhluk lainnya, akan terdegradasi oleh AI.
Privasi dan Pengawasan: Teknologi yang memungkinkan pengawasan dan pengumpulan data secara luas dapat menimbulkan masalah privasi dan kebebasan individu, yang sangat dijaga dalam tradisi agama.
Bias dan Diskriminasi: Algoritma AI yang bias dapat memperburuk ketidakadilan sosial dan diskriminasi, yang bertentangan dengan ajaran agama yang menekankan keadilan
Pergeseran Nilai-nilai: Adanya kekhawatiran bahwa teknologi dapat menggeser nilai-nilai spiritual dan moral, menyebabkan masyarakat lebih materialistis dan kurang memperhatikan aspek-aspek kehidupan yang lebih dalam dan bermakna.
Tulisan ini, sekali lagi hanya pemantik. Masih banyak dinamika perkembangan AI yang tidak terekam. Namun sebagai penutup, saya ingin mengutip penjelasan Harari dalam 21 Lessons.
"Ribuan tahun lalu, siapa yang memiliki alat berburu, maka akan berkuasa (revolusi kognitif). Lalu, siapa yang memiliki tanah akan berkuasa (revolusi agrikultur). Memasuki abad 20, siapa yang menguasai teknologi industri, maka dia yang akan berkuasa (revolusi Industri). Namun saat ini, barangsiapa yang menguasai algoritma, big data, dan Artificial Intelegensi, maka dialah yang paling berkuasa". (*)
Ikuti Saluran WhatsApp Tribun Manado dan Google News Tribun Manado untuk pembaharuan lebih lanjut tentang berita populer lainnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.