Opini
Catatan Akhir Tahun: 'Matinya Demokrasi'
Begitu banyak fenomena yang terjadi di republik ini, yang menyerap energi anak bangsa untuk terlibat memberikan perspektif
Oleh: Adi Tucunan
(Pengamat Sosial dan Kesehatan)
JUDUL tulisan ini hampir sama dengan judul buku yang ditulis oleh dua orang Profesor asal Harvard University yaitu Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt yaitu ‘How Democracies Die’, yang menggambarkan pergerakan demokrasi di seluruh dunia, dan kemudian menganalisis serta membandingkan bagaimana Amerika Serikat sebagai negara demokrasi terbesar di dunia perlahan-lahan mulai memudar demokrasinya, disebabkan praktek otoritarian oleh pemimpin negara yang dilegalkan dalam sentuhan yang terkesan lembut tapi sungguh mematikan, karena memaksa semua lembaga negara baik eksekutif, yudikatif dan legislatif mengikuti arah Sang Pemimpin.
Saya tidak ingin membahas isi buku ini, tapi lebih kepada memberikan review saya terkait kondisi bangsa Indonesia yang hari-hari ini tidak baik-baik saja, secara khusus terkait dengan masalah demokrasi yang mulai pudar bahkan mati perlahan.
Begitu banyak fenomena yang terjadi di republik ini, yang menyerap energi anak bangsa untuk terlibat memberikan perspektif mereka terkait dengan kericuhan yang disebabkan oleh pembungkaman hak-hak sipil masyarakat untuk bersuara melawan kediktatoran dan pelanggaran konstitusi secara terang benderang.
Awal terjadinya kehancuran demokrasi di suatu negara menurut Profesor Levitsky dan Ziblatt, adalah memberikan kesempatan kepada seseorang yang sebelumnya tidak diperhitungkan karena tidak memiliki suara kuat atau mayoritas tetapi menurut mereka bisa dikendalikan dari dalam dan diprediksi orang tersebut akan membawa angin segar perubahan ke arah yang lebih baik bagi suatu bangsa ke depan.
Mereka yang memberikan kesempatan itu berasumsi bahwa orang yang mereka pilih melalui sebuah proses demokrasi dan konstitusional adalah orang yang bisa mereka kendalikan dan harapkan untuk bisa berbuat banyak menciptakan demokrasi lebih kuat dan mapan.
Jadilah mereka dengan legalitas formalnya mampu mencapai puncak kekuasaan secara demokratis. Tapi, dalam perjalanannya kemudian mulai tampak ‘taring otoritarian’ dalam dirinya untuk berkuasa lebih lama, sehingga dia menggunakan semua sumberdaya yang dimilikinya untuk mencoba mengontrol kekuasaannya lebih lama lagi.
Dan yang paling mengesankan adalah mereka didukung oleh mayoritas masyarakat yang mendambakan kesejahteraan dari pemimpin seperti itu sehingga mereka mulai menjadikannya Idola, bahkan mengarah kepada upaya mengkultuskan pemimpin tersebut.
Kasus terbesar di negeri ini saat ini yaitu dibajaknya lembaga negara sekelas Mahkamah Konstitusi untuk meloloskan kandidat capres/cawapres, yang memang terbukti dalam prosesnya melanggar etika berat, tapi tetap diizinkan menjalani kontestasi tanpa rasa bersalah dan malu.
Ini sebuah aib dan noda bagi catatan demokrasi bangsa kita yang pasti akan tercatat dalam sejarah sebagai upaya mengkonfrontir nilai-nilai dan etika yang tinggi dengan paham dinasti politik atau nepotisme. Kita seperti kehilangan pedoman dan arah, jika lembaga negara digunakan untuk memanipulasi dan memuaskan dahaga untuk berkuasa dengan mempermainkan hukum karena konflik kepentingan yang terlalu kuat.
Walaupun ada begitu banyak elemen masyarakat sipil termasuk cendekiawan para ilmuwan, budayawan, pegiat sosial dan hak asasi serta semua yang tergerak menolong negeri ini, mengkritisi dengan keras, mencoba mengingatkan anak-anak bangsa untuk tidak mendestruksi demokrasi yang selama ini dibangun dengan perjuangan dan darah agar Indonesia bisa menjadi masyarakat yang lebih sejahtera dan makmur dengan instrumen demokrasi.
Tapi nampaknya penguasa negeri tidak bergeming dan seolah tutup mata terhadap pelanggaran yang terjadi. Kita nampaknya mencoba untuk diingatkan akan kondisi di era Orde Baru yang sungguh mencekam, hidup dalam sangkar yang memberangus suara-suara kritis terhadap pemerintah saat itu. Dan rasanya ini mulai dihidupkan kembali oleh kekuasaan.
Fenomena ini bukan sesuatu yang kasuistik, tetapi ternyata sudah mulai menginvasi ke sebagian besar elemen bangsa dengan tangan-tangan birokrasi yang digunakan untuk kepentingan tertentu penguasa, memberikan udara segar bagi mereka untuk menguasai kehidupan orang lain dengan cara yang tidak wajar.
Penggunaan alat negara untuk menekan kelompok tertentu agar tidak menang dalam demokrasi, adalah kekejian terhadap demokrasi itu sendiri. Penguasa cenderung tidak menyukai kritik terhadap kenikmatan mereka dalam mengambil keuntungan untuk berkuasa lebih lama.
Sepertinya kita mulai diingatkan terus oleh kata-kata Lord Acton bahwa ‘Power tend to corrupt, absolute power absolutely corrupt’ (kekuasaan itu cenderung korup, kekuasaan absolut korupsi secara absolut). Orang yang berkuasa cenderung awalnya adalah mereka yang dipilih oleh banyak orang dengan tangan terbuka dan menyenangi orang tersebut karena kebaikan hatinya, kecakapan dia dan sebagainya.
Di awal kampanye mereka menjanjikan sorga di bumi bagi rakyat pemilihnya dengan semua dalil dan tesis membangun negara lebih baik, tapi kemudian mereka berubah dengan cepat saat menjadi penguasa. Mungkin awalnya para penguasa itu orang baik, tapi mereka tergoda menikmati lingkaran kekuasaan secara buta sehingga mencoba untuk menjadikan dirinya raja dalam sistem monarki yang sebenarnya adalah republik.
Nampaknya kekuasaan itu membutakan orang yang paling baik sekalipun. Ataukah jangan-jangan kita tidak punya kemampuan tajam melihat kebaikan orang lain sebagai musang berbulu domba? Cara memandang masyarakat Indonesia yang terbatas dengan mengangkat orang yang menjanjikan dan memberinya sesuatu dalam bentuk money politic, menganggap dia sebagai orang baik, justru itu mendatangkan malapetaka yang besar di kemudian hari. ternyata orang yang kita pilih bukan mewakili kita tapi dirinya sendiri.
Penguasa yang otoriter mulai kehilangan integritas dan etika dia saat berkuasa, walaupun dia mendapat persetujuan dari sebagian besar masyarakat. Tapi kita bertanya-tanya, masyarakat seperti apa yang memberikan hak pilih bagi penguasa yang tidak berkarakter seperti ini dan masih terus menganggap dia sebagai dewa? Itu mengapa di banyak negara demokrasi di dunia, masyarakat cenderung memilih orang yang mereka sukai dan pada akhirnya mereka kecewa karena warisan yang ditinggalkan ternyata penuh dengan cacat politik dan kemanusiaan.
Dan akhirnya pula, masyarakat itu sendirilah yang berbalik menghancurkan penguasa yang mereka pilih. Hari ini kita membutuhkan rakyat yang cerdas bisa melihat siapa yang akan mereka pilih. Tapi nampaknya kecerdasan itu mulai menjauh dari masyarakat kita sehingga sulit membedakan mana yang baik dan tidak baik.
Bahkan di lembaga sekelas perguruan tinggi saja, para civitas akademika dan mereka yang dianggap terpelajar, ternyata tidak punya kemampuan intelektual yang cukup untuk membangun perspektif kuat terhadap demokrasi itu sendiri.
Mereka cenderung melawan konstitusi atau statuta di dalam kampus itu sendiri yang sebenarnya dibuat untuk membangun peradaban dunia pendidikan yang lebih baik. Kerakusan akan kekuasaan cenderung membutakan mata orang-orang terbaik di negeri ini dan ini menyulitkan kita mencari para pemimpin yang bisa melakukan sesuatu lebih dari sekedar bagi-bagi jabatan dan memperkaya diri sendiri.
Mereka yang kritis akan segera dibungkam oleh penguasa karena alergi dengan kritikan itu, walaupun mereka terkesan dan menjawab tidak apa-apa dengan kritikan tapi mereka menggunakan tangan-tangan kekuasaan untuk meredam suara-suara kritis itu dengan intimidasi baik verbal maupun non verbal. Terlalu banyak orang baik di negeri ini yang diam, membiarkan mereka yang berkuasa mencoba mendikte dan membungkam kritik.
Kasus intimidasi para petinggi mahasiswa di beberapa universitas yang mengkritik pemerintah, dengan semua cara sampai mengancam dan mengintimidasi keluarga mereka, adalah sebuah syarat bagi matinya demokrasi di Indonesia. Penguasa hari ini, yang diharapkan menjadi tumpuan dan rujukan rakyat untuk mensejahterakan mereka, ternyata memiliki niat yang tidak baik sehingga tata Kelola pemerintahan di negeri ini menjadi tidak kondusif dan menjauh dari good governance yang diidam-idamkan.
Kita masih memulai perjalanan demokrasi yang panjang, tapi upaya-upaya itu terus mendapat rintangan dari dalam diri penguasa itu sendiri. Memilih pemimpin tidak sesederhana kita ke TPS untuk mencoblos, tapi kita dituntut memiliki kapasitas berpikir jernih melihat pribadi calon pemimpin, walaupun diakui kadang kita salah dalam memilih jalan dan berpikir tentang orang yang kita pilih.
Ini sebuah ironi, kita memberikan suara kepada mereka yang diyakini merepresentasikan kita tapi ternyata kita yang ditinggalkan dan negeri ini dicabik-cabik dan membahayakan demokrasi untuk kembali ke titik nol lagi. Kita tidak ingin negara ini dipimpin oleh pemimpin seperti Benito Mussolini, Adolf Hitler, Hugo Chaves, Pinochet, yang dalam buku ‘how democracies die’ dikatakan mereka didukung oleh demokrasi karena dianggap orang yang baik dan membawa harapan, tapi kenyataannya mereka menjadi monster di negaranya masing-masing, ini sungguh menakutkan dan mengkuatirkan.
Para koruptor di negara inilah yang bersenang-senang jika demokrasi kita mati, karena keuntungan buat mereka untuk terus berkuasa mempertahankan jabatan, melegalkan segala cara bahkan yang paling kriminal sekalipun. Mereka akan menggunakan tangan-tangan kekuasaan dan instrumen negara untuk mengendalikan kita semua, dan akhirnya negara akan lumpuh, jika kita salah langkah dalam memilih mereka.
Tahun depan katanya adalah pesta demokrasi, semua pemilihan serentak akan dilakukan pada hari valentine, dan sebagian besar calon yang akan dipilih melakukan berbagai upaya pra-pencoblosan, sering dengan memanipulasi pikiran rakyat. Mereka tiba-tiba muncul sebagai orang baik di siang bolong berbagi sembako, uang dan semua kebaikan lain.
Hal ini tentu saja sangat disukai oleh masyarakat yang masih berada di kelas menengah ke bawah dan ekonominya pas-pasan. Mereka sangat tahu betul hal ini bahwa masyakarat akan menyukai mereka karena sudah memberi sesuatu. Pendidikan politik sangat minim di negara seperti Indonesia, tidak ada edukasi tentang keberpihakan kepada hak asasi manusia, mereka hanya menganggap masyarakat butuh makan dan uang untuk dihabiskan sehari saja, dan akhirnya mereka bisa berkuasa selama 5 tahun.
Ini sungguh memprihatinkan karena kita belum menuju pendewasaan politik para pemilih kita. Produk gagal dalam kontestasi pemilu akan berwujud pada otoritarianisme saat menjadi penguasa. Para penguasa hari ini, tidak menggunakan sistem meritokrasi untuk menempatkan orang-orang terbaik membangun bangsa, tapi mereka menunjuk orang yang bisa dikendalikan saja dan terus tunduk dan patuh mengikuti arah dan kebijakan penguasa bahkan yang sudah jahat sekalipun.
Itu sebabnya mengapa korupsi di negeri ini sulit diberantas, karena demokrasi tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan tapi lebih cenderung melayani penguasa.
Kita semua tentu saja berharap kekuatiran ada tren demokrasi kita akan kembali ke titik nol dan entah kapan dimulai lagi tidak benar-benar terjadi, asal saja semua orang di negeri ini bisa berpikir dengan baik, mengedepankan rasionalitas bukan emosional dalam memilih penguasanya. Kita sudah menuai konsekuensi karena nalar tidak berjalan, tapi karena money politic lebih dominan, maka kita sendirilah yang membangun para monster di negeri ini yang menghabisi semua uang rakyat dan membiarkan rakyatnya perlahan mati menggenaskan.
Pelajaran pentingnya, jangan pernah mendewakan pemimpin sebaik apapun dia, karena ada kemungkinan dia berubah mengikuti irama sejarah yang berulang. Dan kita perlu membaca ritme sejarah di banyak negara yang demokrasinya sudah mati dan akhirnya masyakatnya melarat dan terus bodoh karena tidak ada lagi orang yang berpikir kritis karena semuanya dibungkam dan ditinggalkan nelangsa.
Demokrasi harus terus dijaga agar masyarakat kita tetap sehat menjalankan panggilannya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Jangan halangi matahari yang bersinar karena ada kemungkinan kita akan terbakar kalau menghalanginya. Demokrasi adalah pilihan karena kita sudah memilih dan sepakat mendirikan bangsa ini. yang harus kita lawan adalah mereka yang menghancurkan demokrasi atas nama demokrasi. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.