Ancaman Zoonosis di Sulut
Minahasa Berpotensi Jadi Daerah Penyebar Penyakit, Minum Saguer, Jual dan Makan Paniki Jadi Pemicu
Hal itu mengingat kebiasaan masyarakatnya yang menjual dan suka mengonsumsi satwa liar, salah satunya kelelawar dan juga minum nira mentah (saguer).
Penulis: Indry Panigoro | Editor: Indry Panigoro
TRIBUNMANADO.CO.ID - WHO (World Health Organization), organisasi kesehatan dunia, melaporkan ada belasan jenis virus dalam famili coronavirus yang ditemukan pada kelelawar buah di Sulawesi, meski sejauh ini, virus-virus tersebut tidak menyebabkan penyakit pada manusia.
Pun diketahui kalau kelelawar di Sulawesi Utara berpotensi mendatangkan penyakit dengan varian virus corona yang baru.
Risikonya adalah zoonosis dan bisa menular, seperti halnya kejadian pertama kali virus Covid 19 yang bermula dari Wuhan, China.
Baca juga: Kisah Tini Kondoj, Penjual Hewan Ekstrim Pasar Kawangkoan Minahasa, Jarinya Sering Digigit Kelelawar
Menurut penggiat konservasi dan juga pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi, Manado, John Tasirin ada beberapa faktor yang menjadi pemicu zoonosis yakni kelelawar buah di Sulawesi Utara merupakan inang bagi belasan jenis virus dari family coronavirus.
Dan dengan melihat praktik penjualan hewan ekstrim di Sulawesi Utara selama ini, maka berpotensi sebagai pembawa virus, apalagi tanpa prosedur pencegahan penyebaran penyakit menular.
Penemuan ada 11 jenis virus dalam famili coronavirus yang ditemukan di kelelawar dan kucing di Sulawesi Utara ini merupakan hasil penelitian bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),-kini berubah menjadi BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional),-dan kerjasama dengan Pemerintah Australia.

Faktor lainnya yang bisa jadi pemicu zoonosis di Sulawesi Utara adalah pemotongan hewan dilakukan di pasar dengan darah segar yang bisa terkontiminasi kepada pedagang dan pembeli.
Faktor lainnya juga adalah didatangkannya hewan hidup dari kota lain yang jauh seperti Makassar, Palu, Mamuju, atau Gorontalo.
Jika terjadi mutasi virus di kota-kota tersebut, pasar-pasar di Sulawesi Utara yang menerima akumulasi patogen baru tersebut akan sangat berisiko datangkan zoonosis.
Baca juga: Ancaman Zoonosis di Balik Perdagangan dan Konsumsi Satwa Liar di Minahasa Sulawesi Utara
Belum lagi areal peternakan babi masyarakat tidak tertata sedemikian rupa sehingga tidak mampu mencegah kontaminasi dengan satwa liar, seperti halnya kelelawar buah.
Menurut John Tasirin, tiga jenis kelelawar yang teridentifikasi dijual di pasar-pasar Manado dan Minahasa adalah Sulawesi flying fox (Acerodon celebensis) dan Black flying fox (Pteropus alecto), dan Talaud flying fox (Acerodon humilis).
“Namun yang paling banyak dijual dan dikonsumsi oleh masyarakat Minahasa adalah black flying fox,” kata John Tasirin.
Sama halnya dengan Jhon Tasirin, dokter hewan dari FAO (Food and Agriculture Organization) Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases (ECTAD) Indonesia, drh Farida Camallia Zenal juga menyebut hal yang sama, bahwa Minahasa memiliki risiko sebagai daerah penyebar virus.
Hal itu mengingat kebiasaan masyarakatnya yang menjual dan suka mengonsumsi satwa liar, salah satunya kelelawar atau paniki sebut dan juga minum nira mentah (saguer).

“Risiko Minahasa jadi kabupaten di Indonesia yang bisa menularkan virus nipah itu ada, ” ungkap Farida kepada Tribun Manado, belum lama ini.
Ia mengatakan, di Indonesia sendiri memang belum ditemukan ada virus nipah yang menjangkit ke manusia.
Namun virus itu terdeteksi ada di populasi kelelawar kita.
Untuk merespon kejadian di India soal munculnya virus nipah, kata Farida, sebaiknya memang perlu dilakukan satu penilaian risiko kemungkinan terjadi spill over atau limpasan.
Selain kebiasaan mengonsumsi paniki atau sebutan lain dari kelelawar, hal yang dianggap mengkhawatirkan adalah proses pengangkutan dan penjualan kelelawar.
Mulai dari kelelawar yang diangkut dan dicampur bersamaan dengan hewan lainnya, dan juga bercampurnya hewan satu dengan hewan lainnya ketika dijual di pasar-pasar yang ada di Minahasa.
"Praktek menggabungkan semua hewan menjadi satu memungkinkan resiko penyebab munculnya virus itu akan menjadi besar atau tinggi," kata Farida.

Founder dan juga sebagai Direktur Konservasi Kelelawar Sulawesi (KKS), Jusuf Kalengkongan mengakui sejak 2013, pihak KKS sudah mengidentifikasi ada virus corona di kelelawar hidup.
Hanya saja belum bermutasi.
"Nanti tunggu sekian tahun baru ada kasus kan covid19. Jadi sebenarnya kalau risiko zoonosis di Sulawesi Utara khususnya Minahasa, Manado dan Bitung jika melihat konsentrasi yang mengonsumsi ini masih sangat tinggi, tentu akan sangat berisiko untuk penyakit zoonotik," kata Jusuf Kalengkongan.
Jusuf Kalengkongan juga meminta masyarakat untuk tidak menganggap remeh ancaman virus zoonosis.
"Siapa yang tahu kedepan. Setelah kita lihat pandemi yang terjadi. Everything can happen. Kalau orang Manado bilang jangan pandang enteng lagi lah," kata Jusuf.
Baca Berita Lainnya di: Google News
Penerapan Konsep One Health di Tengah Kebiasaan Masyarakat Sulut Menjual dan Mengonsumsi Satwa Liar |
![]() |
---|
Ternyata Hanya 3 Hewan ini yang Dimakan Leluhurnya Orang Minahasa, Ular dan Kelelawar Tak Termasuk |
![]() |
---|
Masyarakat Sulut Konsumsi 12 Ribu Ekor Kelelawar per Hari, Pengucapan dan Natal Capai 100 Ribu Ekor |
![]() |
---|
Kisah Tini Kondoj, Penjual Hewan Ekstrim Pasar Kawangkoan Minahasa, Jarinya Sering Digigit Kelelawar |
![]() |
---|
Ancaman Zoonosis di Balik Perdagangan dan Konsumsi Satwa Liar di Minahasa Sulawesi Utara |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.